Mengenal Sosok Kyai Sodiq Hamzah : Memanfaatkan Pandemi dengan Menyelesaikan Tafsir Al-Bayan Fi Ma’rifati Ma’ani Al-Quran

Kitab Tafsir Al-Bayan Fi Ma’rifati Ma’ani al-Quran ditulis selama dua tahun, tepatnya ketika masa pandemi Covid-19 (2020-2021). Masa dimana Kyai Sodiq Hamzah tidak ada jadwal membimbing jamaah haji dan umrah kala itu, sehingga waktu luang tersebut digunakan dengan begitu produktif. Kabarnya, selama pandemi Kyai Sodiq Hamzah telah menulis 6 karya, salah satunya yaitu kitab Tafsir Al-Bayan Fi Ma’rifati Ma’ani al-Quran. Tafsir Al-Bayan karya Kyai Sodiq Hamzah dinilai memiliki peran yang sangat besar dalam melestarikan risalah Al-Qur’an dengan spirit kearifan lokal ‘kekinian’ dan ‘kedisinian’.

Menurut Kyai Sodiq Hamzah, ada tiga hal penting yang menjadi dasar pemikiran ini, yakni fleksibilitas Al-Qur’an melalui ragam lughah dan qira’at guna mengakomodir perbedaan karakteristik masyarakat, jati diri Al-Qur’an yang mudah diakses oleh berbagai kalangan serta landasan pemikiran yang perlu diperhatikan penafsir Al-Qur’an sebagai penyampai risalah agama. Dalam penjelasannya, KH Shodiq Hamzah menampaikan Allah SWT berfirman: ‘Tidaklah Kami mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya, supaya rasul tersebut menjelaskan kepada kaumnya” (Q.S. Ibrahim (14): 4). Al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir menjelaskan, ayat ini merupakan petunjuk bahwa Rasulullah SAW yang diutus kepada suatu kaum pastilah mempunyai kemampuan berbicara sesuai bahasa kaumnya guna menyampaikan risalah dakwahnya.

Hal ini tidak lain untuk memudahkan kaumnya. Tidak dapat dibayangkan betapa susahnya sebuah kaum jika rasul yang diutus tidak berbicara dengan bahasa mereka. Tentulah akan sangat menyusahkan dan membutuhkan waktu yang lama bagi kaum tersebut untuk belajar memahami ucapan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ayat ini ingin menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah  SAW diturunkan untuk semua umat manusia, bahkan untuk kalangan jin, tetapi al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Sebuah upaya mendialogkan ajaran-ajaran agama dengan kondisi lokalitas suatu masyarakat, sehingga pemahaman agama yang dilahirkan dapat diterima secara damai dengan kultur dan budaya suatu masyarakat di suatu tempat tanpa harus menghancurkan tradisi yang sudah tertata dengan baik.

Baca Juga:  Bagi-Bagi Tugas ala Gus Dur dan Gus Im

Termasuk bentuk usaha mewujudkan kedisinian dalam proses menafsirkan al-Qur’an adalah menumbuhkan kesadaran seorang mufasir, bahwa apa yang akan diungkapnya melalui ayat- ayat al-Qur’an adalah untuk kemashlahatan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Sampai saat ini banyak  kitab- kitab tafsir yang dihasilkan para ulama dengan jumlah halaman yang sangat tebal dan di dalamnya tertuang banyak wawasan dan informasi yang menunjukkan kepakaran seorang mufasir. Namun belum banyak mengandung jawaban dari masalah sederhana yang dialami masyarakatnya. Oleh karena itu, pemahaman kedisinian mengajak seseorang yang akan menafsirkan al-Qur’an mampu menghadirkan penafsiran-penafsiran yang dapat menjawab problem yang dialami masyarakat lokal tempat ia hidup dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah dimengerti (Baidowi & Ma’rufah, 2022).

Tafsir al-Bayan yang dalam penulisannya menggabungkan antara tradisi penulisan Jawa pegon dengan tulisan latin. Harapannya adalah agar siapapun masyarakat Jawa, baik yang dari kalangan pesantren ataupun tidak, tetap dapat mengambil manfaat dari kitab ini. Demikian spirit dari bilisani qaumihi, yakni penafsiran menjunjung tinggi nilai-nilai kekinian dan kedisinian. Penafsiran yang mengandung nilai-nilai kontekstual sekaligus bakal menjaga lokalitas dan memberikan solusi nyata, khususnya bagi masyarakat di mana seorang mufasir berada. Dengan demikina, keberadaan agama yang menjadi risalah nubuwwah dalam al-Qur’an sebagai sebuah solusi dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat (Ngaisah, 2023).

Corak Tafsir Al-Bayan adalah kombinasi antara historis (tarikhi), linguistik (lughawi) dan sosial-kemasyarakatan (adabi-ijtima‘i). Hal menarik lain, tafsir ini dilengkapi dengan konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat (sabab al-nuzul), kisah-kisah yang relevan (qissat), keterangan tambahan (tanbih), keterangan penting (muhimmat) dan keterangan lain sejenisnya. Tafsir Al-Bayan juga berisi mengenai temuan menarik dan penting dalam khazanah tafsir Nusantara (Ngaisah, 2023). Pertama, menjelaskan posisi Tafsir Al-Bayan sebagai tafsir Jawa bernuansa global, yang mengusung model penyajian ijmali semi tematik, dengan kekhasan adaptasi tradisi Jawa dan kekinian (Pegon Latin) dengan tujuan mendekatkan dan memudahkan masyarakat awam kepada pemahaman Al-Qur’an.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (1)

Kedua, penyajian makna Al-Qur’an melalui pengelompokan ayat dalam suatu tema, makna yang disuguhkan secara ringkas, dengan bahasa yang mudah dipahami dan memuat informasi langka (seperti fadhilah surat, jumlah kata dan huruf) menjadi distingsi bagi Tafsir Al-Bayan di antara kitab-kitab tafsir karya ulama nusantara lainnya.

Ketiga, ciri khas makna kebahasaan, kosakata, nuansa madzhab fiqih al-Syafi’i dan kalam Asy’ari menjadi salah satu ciri pemikirn tafsir Kyai Shodiq Hamzah. Keempat, eksistensi Tafsir Al-Bayan menunjukkan bahwa sumber (مصادر التفسير) bukan berarti rujukan, melainkan sebuah adopsi, anotasi, apropriasi informasi lain ke dalam teks lain. Oleh karena itu, hadirnya Tafsir Al-Bayan secara epistemologi adalah bentuk kritik terhadap materialisasi studi epistemologi tafsir. []

Referensi

Baidowi, A., & Ma’rufah, Y. (2022). Dinamika Karya Tafsir Al-Qur’an Pesantren Jawa. Al Itqan: Jurnal Studi Al-Qur’an, 8(2), 251–274.

Ngaisah, Z. F. N. (2023). KARAKTERISTIK TAFSIR PESANTREN: STUDI TAFSIR AL-BAYAN FI MA’RIFATI MA’ANI AL-QUR’AN KARYA KH. SHODIQ HAMZAH. Mozaic: Islam Nusantara, 9(1), 1–14.

Vela Qotrun Nada
Mahasiswi Pascasarjana IAI UIN Walisongo Semarang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama