Berita

Spiritualitas; Jalan Pulang Menuju Tuhan (Part 3)

(Ilustrasi: Shutterstock.com)

Saya ingin menutup tulisan ini dengan cerita simbolik. Sebuah kisah tentang seorang raja dan sesendok madu.

Alkisah, suatu hari seorang raja ingin menguji tingkat kesadaran warga kotanya. Raja memerintahkan agar setiap orang membawa sesendok madu pada malam yang telah disepakati. Madu itu dikumpulkan dalam sebuah bejana raksasa yang telah disediakan di puncak bukit tengah kota. Seluruh warga memahami benar tentang perintah itu dan berbondong-bondong menuju tempat bejana diletakkan.

Namun dalam pikiran seorang warga kota (sebut saja si Fulan) terlintas cara picik, “Aku akan membawa sesendok penuh, tapi bukan madu, melainkan air,” bisiknya, “Gulita malam akan menyelamatkanku dari pandangan orang lain. Madu masyarakat akan menyelamatkanku dari penglihatan sang raja. Toh sesendok air tak mungkin tampak jika bergabung dengan madu sekota!” Pikirnya.

Apa yang terjadi keesokan harinya? Betapa kagetnya, yang didapati Raja ternya hanyalah satu bejana raksasa dengan air murni di dalamnya. Rupa-rupanya seluruh warga kota memiliki pikiran yang sama piciknya dengan si Fulan!

Nah, peristiwa ini mungkin bisa terjadi, atau sedang terjadi dalam bentuk dan rupa yang sama sekali berbeda. Cerita ini menggambarkan bahwa mengandalkan situasi (atau orang lain) bukanlah jalan yang baik untuk menemukan kebenaran.

Saat kita memiliki pemikiran “saya akan memilih kebenaran saat ia telah benar-benar nyata,” boleh jadi kebenaran balik bergumam, “aku akan menampakkan diriku justru saat kau mau berpayah-payah untuk meraihku.” Akhirnya, tak satu pun yang dapat menjumpai lainnya. Pun demikian dengan agama. Sekalipun bisa dikonseptualisasi tentang bentuk dan ragamnya, hanya dengan menjalani dan terus mengoreksi diri, keberagamaan akan mendekati kesempurnaannya.

Mungkin di satu titik kita akan jenuh, rapuh, diajak untuk menyerah dan membuang tali (agama) Tuhan. Tantangan lain adalah berdiam diri pada satu kebenaran, memonopoli sembari berasumsi bahwa selain sekeping kebenaran yang ada di tangannya, semuanya keliru, atau diserang godaan lain yang lebih menggiurkan. Namun demikian, itu bukanlah alasan yang tepat untuk berhenti. Perjalanan masih harus dilanjut, kembali diluruskan agar benar-benar bisa bersanding dengan Kawan Sejati yang menentramkan.

Baca Juga:  Mbah Jad: Sufi di Zaman Ini

Apakah itu menjamin bahwa semua masalah lain akan teratasi? Saya akan jawab, “keberagamaan yang baik itu seperti payung: ia tidak akan menghentikan hujan, tapi setidaknya membuat kita tetap bisa berjalan tanpa basah, hingga sampai tujuan!” Dengan demikian spiritualitas bukan solusi praktis, tapi ruh bagi kehidupan yang dijalani saat ini, yang tanpanya seluruh manusia hanya bernafas tanpa merasakan “kehidupan.” Dengan spiritualitas, tiap kesulitan dapat dihadapi, entah kita dalam posisi kalah atau menang, kita akan tetap “hidup” secara berkualitas.
Selamat mencoba!

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Berita