Menjamurnya Masive Open Online Courses (MOOCS) dan penggunaan media digital di dalam kelas telah menjadi perhatian dunia, khususnya wilayah Asia Pasifik. Hal ini menjadi perhatian Asian Pasifik Economic Cooperation (APEC) yang membentuk Insitute of APEC Collaborative Education (IACE) & APEC Learning Community Builders (ALCoB) sebagai kontribusi lembaga internasional tersebut terhadap pendidikan di kawasan.

Program AIV dan ALCoB termasuk berkeliling ke Negara-negara Asia Pasifik untuk memperkenalkan Computating Thinking (CT).

Hanya 20 Guru di Indonesia yang berkesempatan mendapatkan workshop dari lembaga tersebut. Saya termasuk salah satu guru yang beruntung bisa mengikutinya. Setelah mengikuti workshop IACE & ALCoB di Litbang Kemdikbud pada 6-8 Agutus 2019, Saya sebagai Guru Sejarah Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, mencoba menerapkan hal tersebut dalam pembelajaran sejarah. Namun terdapat beberapa persoalan.

Pondok pesantren membatasi penggunaan telepon genggam, gadget dan akses internet. Sedangkan model pembelajaran yang ditawarkan oleh IACE dan ALCoB secara eksplisit mensyaratkan peralatan digital dan teknologi tersebut.

Menghadapi situasi demikian, saya terdorong untuk membuat sebuah model pembelajaran sejarah dengan CT tanpa menggunakan infrastruktur digital. Sekilas hal ini sangat tidak mungkin dilaksanakan. Namun, setelah kembali pada pengertian CT, ada peluang bahwa pembelajaran dengan CT dapat dilaksanakan secara non-digital.

Berfikir Komputasi Tanpa Digital

CT memiliki tiga struktur dasar, pertama yaitu Sequence (urutan), Selection (maka-jika), dan Repetition (pengulangan). Semua perangkat teknologi yang kita pakai (gadget, mobil, laptop dll) pada dasarnya memiliki tiga struktur dasar semacam itu.

Namun perkembangan digital tersebut dalam dunia pendidikan malah dianggap sebatas ‘peningkatan infrastruktur fasilitas digital disekolah’. Hal tersebut mengakibatkan munculnya trend ‘digitalisasi sekolah-sekolah’ di Indonesia.

Menurut ahli Bisnis Sekolah, Prof. Sara A Wong (dalam forum APEC tersebut), hal ini diawali oleh keterlambatan menganalisis dampak (Delay Impact Analysis) suatu kebijakan pendidikan. Umum diketahui arah pendidikan di Indonesia diarahkan pada industri 4.0. Bukannya menerapkan konsep dasar CT yang menjadi dasar dari industri digital, yang ada malah mengejar ketertinggalan dengan cara menyuntikan fasilitas digital kedalam sekolah Negeri (yang akhirnya diikuti sekolah swasta).

Baca Juga:  Kembali Ke Sekolah Pasca COVID-19

Keprihatinan tersebut membuat saya semakin bersemangat untuk menemukan prinsip dasar CT tanpa ‘suntikan’ fasilitas digital.

Ide ini muncul dari pemikiran; bagaimana bila pembelajaran digital dirubah ke manual didunia nyata?

Lalu saya memutuskan untuk membuat Permainan pembelajaran sejarah bernama Ludo Raksasa Sejarah. Ludo yang saya buat seperti namanya, dibuat ‘raksasa’. ukurannya lebih besar 30 kali lipat dari ukuran yang biasanya dimainkan banyak orang.

Setelah ditelaah, permainan Ludo raksasa Sejarah memenuhi syarat tiga dasar struktur CT. Pertama, Sequence (urutan) bahwa permainan ini dibuat memiliki urutan. Urutan yang dipakai adalah bagaimana jalannya permainan ditentukan oleh pertanyaan sejarah.

Kedua, Selection (maka-jika), yaitu aturan permainan yang mengganti pion Ludo dengan orang sungguhan. Perubahan pada tahap ini sangat fundamental karena awalnya tiap 4 pion dikendalikan satu orang, kini 4 pion masing-masing dikendalikan oleh 4 orang berbeda namun masih dalam satu tim.

Ketiga, Repetition (pengulangan). Yaitu proses ketika setiap pengulangan dalam permainan Ludo Raksasa Sejarah menghasilkan juara yang berbeda namun pola aturannya tetap sama.

Permainan ini sudah dicoba para santri di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah ketika jam pelajaran Sejarah. Tingkat keberhasilannya diukur juga dari survei kepada santri/siswa.

Permainan inilah yang saya presentasikan di forum The 15th APEC Future Education Forum dan The 17th Int’l ALCoB Conference yang berlangsung selama dua hari, 26-27 September 2019 di Seoul, Korea Selatan.

Pertanyaannya, apakah permainan ludo sejarah dalam bentuk manual seperti ini berhubungan dengan Computating Thinking?

Terciptanya pembelajaran sejarah menggunakan ludo merupakan praktik mendasar tentang CT. Namun kebanyakan orang memahami CT hanya sebatas penggunaan teknologi sebagai ‘User experience’. Padahal CT adalah cara berfikir dan sebuah cara memecahkan masalah.

Baca Juga:  Resume Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tentang Penyelenggaraan Pembelajaran Selama Pandemi COVID-19

Demi pengembangan CT, maka Santri disertakan dalam pembuatan peraturan permainan ludo Raksasa Sejarah.

Sehingga Simple of Control Structure bisa diterapkan dalam pembelajaran dan Santri mendapatkan pembelajaran untuk membentuk repetition dalam pelajaran sejarah.

Artinya, ketika santri diajak untuk membuat aturan main Ludo sejarah, mereka dapat membuat rumusan atau kode aturan main yang pengulangan-pengulangannya dapat melatih mereka untuk menerapkan CT dalam kehidupannya.

CT sebenarnya bukan hal baru bagi Pendidikan Islam. Tiga prinsip utama dalam CT yaitu Algoritma, Sequence (urutan), dan Coding (pemograman). Tujuan utamanya adalah menyelesaikan masalah (Problem Solving). Algoritma sendiri berasal dari sebuah nama matematikawan Persia bernama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi. Ia lahir sekitar tahun 780 di wilayah Uzbekistan. Nama Khawarizmi mengacu pada kota Khawarizm tempatnya dilahirkan.

Pada masa Khalifah Abbasiyah Al Makmun (786-833), dibangun Darul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) dimana Khawarizmi merupakan pejabat di lembaga ilmu pengetahuan tersebut, yang kemudian mengirim semua pelajarnya ke Byzantium dan kota-kota besar lainnya untuk mencari berbagai manuskrip ilmu pengetahuan dari bangsa lain (Yunani).

Pada saat memaparkan permainan ludo sejarah dengan basis CT tanpa peralatan digital, Saya sebagai Guru Sejarah PP Luhur Al-Tsaqafah mendapatkan banyak apresiasi dari para panelis, speaker Negara lain, delegasi Kementrian Pendidikan dari Negara-negara APEC dan pihak penyelenggara sendiri.

Mereka tidak bisa membayangkan pada awalnya bagaimana CT bisa diterapkan tanpa teknologi digital. Justru dalam hal ini permainan Ludo sejarah merubah permainan digital ke manual dengan melibatkan langsung Santri sebagai pemain juga perumus aturan permainan.

Tentu saja, hal Ini bukan berarti sikap anti pada teknologi digital sebagai media pembelajajran sejarah. Sebelum berkesempatan menggunakan robot dan fasilitas digital yang memadai, kita para guru bisa mengajarkan CT sebagai cara berfikir, sebab CT adalah warisan pendidikan Islam.

Baca Juga:  Kebijakan Pendidikan Tinggi Masa Pandemi COVID-19

Mengakhiri presentasi, saya menyampaikan pesan dari Pengasuh PP Luhur Al-Tsaqafah Prof Dr KH Said Aqil Siroj, MA yang sebenarnya sangat mendukung perkembangan teknologi dan dunia robotik. Berikut petikan pesan yang ikut dipaparkan saat menjadi pembicara pada The 15th APEC Future Education Forum dan The 17th Int’l ALCoB Conference yang diadakan pada tanggal 27 September 2019 di Seoul, Korea Selatan:

“Islam bukan hanya agama yang mengatur akidah dan Sari’at saja, tetapi Islam adalah ‘dinul ilmi wats-staqafah (agama pengetahuan dan kebudayaan), dinul adabi wal hadlarah (agama etika dan peradaban), dinut tamaddun wal insaniyah (agama yang menata kehidupan madani dan kemanusiaan). Terima kasih IACE sudah memilih salah satu guru kami untuk berpartisipasi dalam acara ini. Saya, sebagai pendiri Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah berharap CT dapat diterapkan di sekolah kami dalam banyak cara yang kreatif. Insya Allah sekolah kami akan membuka kelas robotik. Terima kasih” (versi asli berbahasa Inggris).

Artikel ini juga dimuat di

http://altsaqafah.id/esai/masa-depan-pendidikan-bukan-digitalisasi-sekolah/

Iman Zanatul Haeri
Guru Sejarah MA Al-Tsaqafah Said Aqil Siroj Foundation, Alumnus Universitas Negeri Jakarta.

Rekomendasi

2 Comments

  1. Bukan karakter pesantren jika setiap pendidikan tanpa tatap muka, tidak ada tarbiyah

    Tsaqafah

  2. mantap sekali

    animblo

Tinggalkan Komentar

More in Santri