Jamak diketahui bahwa Nabi pernah mengajarkan tentang tiga pilar agama: rukun Islam, rukun iman dan rukun ihsan. Tak melulu berhenti pada tahapan akidah (iman) dan syariah (Islam), pembabakan yang lebih tinggi justru ditempati oleh ihsan (akhlak dan spiritualitas). Sebab pada yang disebut terakhir inilah semua keyakinan bisa didamaikan, setiap rindu akan menuju dan cinta menemukan porsinya. Bahwa tanpa nilai spiritualitas dan moralitas dalam nurani, agama dapat menjadi bencana, sumber kiamat bagi kemanusiaan kita.
Tanpa cinta, agama tak memiliki sentuhan yang memisau ke dalam kalbu umat manusia, dan rasa tulus-iklas akan jauh dari masyarakat agama. Dan ketika hal itu benar-benar terjadi, agama kehilangan fungsinya: sebagai peredam pertikaian antar manusia, pemberi petunjuk bagi hidup yang baik, dan tangga ruhani menuju Ilahi.
Padahal, sebagaimana Tuhan telah menumbuhkan cinta-kasih dalam hati manusia dan kesuburan akal budi sebagai penyeimbangnya, sejatinya hasrat akan kebenaran, kebaikan dan keindahan adalah fitrah mahluk unik satu ini.
Namun ia juga dibekali nafsu, dengan bisikan jahat yang menjadikan hal-hal buruk tampak seksi di hadapan mereka. Karenanya, al-Quran menyebut manusia sebagai insan, yang dapat berarti “jinak”, “tenang” dan bahkan “dinamis.” Agama ditugasi membimbing mereka agar dapat melestarikan, menjernihkan dan meningkatkan potensi ruhani yang dimiliki.
Hal ini bukan tanpa syarat, pemahaman agama yang separuh dapat menjadikan manusia gagal paham, lalu memungkinkan mereka terjebak di antara dua jurang terjal yang sama bahayanya: sikap pesimis pada agama, sehingga mereka memilih hidup sekuler; atau kekakuan dalam beragama, yang kadang diistilahkan Karen Armstrong sebagai “kesalehan yang militan” (militant piety). Di situlah, sekali lagi, pentingnya melihat agama secara utuh, lebih-lebih di bidang spiritualitasnya.
Tentang relevansi ajaran keagamaan dan potensi ruhaniah manusia, Dr. Alexis Carrel dalam Man the Unknown pernah menyebutkan bahwa, “Ada aktivitas keagamaan yang dapat mengubah fungsi anggota tubuh dan kelenjar-kelenjar. Kita dapat menyaksikan di berbagai situasi, sembahyang misalnya. Sembahyang ialah konsentrasi penuh menembus alam ini menuju Satu totalitas Wujud yang tak terbatas. Ini bukan bidang nalar. Para filsuf dan ilmuan sukar memahaminya. Hanya orang yang jauh dari rayuan gemerlap dunia yang mudah merasakannya, semudah merasakan kehangatan mentari atau kasih sayang seorang teman.” Inilah pengakuan dokter spesialis bedah sekaligus peraih Nobel tahun 1912 itu.
Jika secara fisik telah terbukti keampuhan ajaran keagamaan yang benar dapat merubah jasmani, kenapa harus ragu bahwa ia sanggup menyembuhkan luka ruhani di dalam diri masing-masing manusia? Jadi, persoalannya bisa sangat sederhana: maukah kita memulainya? Perjalanan untuk mendewasakan diri, dengan memberi nutrisi pada hati dan pengembangan pada spiritualitas kita? Mau atau tidak, sesederhana itu.