Mendapatkan Sumber Air Jernih

Hari senin sore bakda ashar kemarin, alhamdulillah bisa ikut hataman ngaji kitab tajul arus yang digawangi oleh bapak langsung. Meskipun hanya ikut ngaji kuping, saya sangat menikmati dan mendapatkan banyak pemahaman baru selama ngaji romadhonan ini.

Salah satu hal yang menurut saya sangat menarik adalah keterangan yang tertulis dalam kitab ini beberapa hari yang lalu. Diterangkan dalam kitab ini: “Untuk mendapatkan sesuatu, jangan seperti tukang gali sumur yang baru menggali semeter dua meter, kemudian pindah menggali ketempat lain. Kalau begitu, dia tidak akan pernah mendapatkan sumber air. Bila ingin mendapatkan sumber air, maka kita harus menggali disatu tempat yang sama secara terus menerus. Meskipun hanya semeter dua meter, asalkan kita istiqomah menggali, insyaallah akan mendapatkan sumber air nantinya”.

Dalam menjelaskan keterangan ini, bapak mengambil banyak contoh dalam beberapa bidang kehidupan kita. Salah satunya adalah dalam mencari ilmu. Tak lelah bapak mengingatkan kepada para santri dan terutama kepada kami anak-anaknya untuk sabar mengistiqomahi setiap tahapan proses kehidupan. Entah itu dalam hal mondok, sekolah, ataupun hal lainnya. Bahkan dalam usaha bisnis pun sama.

Saya sendiri pernah dalam satu posisi ingin berpindah tempat ngaji ditengah prosesnya. Saya berniat untuk melanjutkan ngaji quran ditempat lain sambil kuliah.

Sekitar tahun 2008, setelah enam bulan mondok di Darul Quran watugede, singosari, dibawah asuhan Allahuyarham yai musta’in. Saya sudah selesai setoran 10 juz. Saya telah lama berencana, ingin setoran 10 juz disini, kemudian melanjutkan setoran ditempat lain sambil kuliah. Waktu itu saya izin pulang, karena adik saya perempun akan menikah. Setelah selesai acara, saya dengan percaya diri matur kebapak tentang masalah ini.

Baca Juga:  Obet dan Air yang Membingungkan

Karena saya yakin bahwa rencana saya baik, maka saya juga yakin kalau bapak pasti akan mengizinkan. Namun ternyata semua tidak sesuai rencana saya, dengan tenang bapak menjawab: “nganu lem, seng luweh apik opo seng wes dimulai dimarekne ndisek. Ko lek wes mari siji, lagek pindah golek liane (gini lim, bapak manggil saya biasanya lem, singkatan nama saya muslim, lebih baik apa yang sudah kamu mulai diselesaikan dulu. Kalau satu proses sudah selesai, baru pindah mencari yang lainnya)”.

Sebuah jawaban singkat namun sangat membagongkan bagi saya. Karena jawaban tenang ini merombak semua rencana jangka panjang saya secara mendadak. Dan karena mungkin saking terguncangnya jiwa, saya memutuskan untuk tirakat nahun setelahnya. Yaitu tidak pulang kerumah selama tiga tahun penuh. Mungkin juga ini adalah salah satu keputusan emosional, namun yang tidak saya sesali.

Pesan ini diulang lagi dipesankan oleh bapak kepada saya ketika awal-awal ada Assalam. Waktu itu bapak mengomentari tentang santri yang sering komplain kemudian gampang pindah pondok hanya karena hal sepele. Tak hanya santri, kadang keluhan anak ini didukung juga oleh orang tuanya. Hanya karena keluhan-keluhan kecil, kemudian orang tua komplain ke pengurus atau bahkan langsung ke pengasuh. Membuat pengurus dan juga pengasuhnya bingung.

Menyikapi hal tersebut, saya bertanya kepada bapak bagaimana solusinya. Bapak menjawab: “gak usah kabeh keluhan ditanggepi, terutama lek sampek kudu ngerubah peraturan. Kerono seng diurus ki wong akeh, ko lek aturan gampang diubah ki gak apik. Wes dijarne ae, biasane santri seng akeh protes, utowo wong tuwone seng gampang protes, ora awet neng pondok kono (jangan semua keluhan harus ditanggapi, apalagi keluhan yang harus merubah peraturan. Karena yang diurus dipondok ini orang banyak, maka apabila aturannya gampang diubah akan menjadikan semuanya tidak baik. Sudah biarkan saja keluhan yang tidak penting itu, dan biasanya santri yang sering protes, atau orang tuanya yang gampang protes, maka anak tersebut tidak akan awet dipondok tersebut)”.

Baca Juga:  Obet dan Air yang Membingungkan

Dan setelah berjalan beberapa waktu, apa yang dihaturkan bapak ini benar adanya. Biasanya santri yang banyak protesnya tidak awet dipondok. Nah coba bayangkan, bila kita menanggapi dengan serius keluhan mereka, dan kemudian merubah aturan, namun tidak berjalan lama malah yang mengajukan keluhan sudah tidak mondok lagi. Kan ini sangat merugikan pondok kita sendiri.

Bukan berarti kita tidak boleh mengritik, namun memang harus disadari bahwa mondok adalah salah satu fase tirakat. Bagi anak, juga orangtuanya. Maka sebagaimana tirakat lain, kita harus siap menanggung ketidaknyamanan dan sedikit kepedihan demi menarbiahi jiwa dan meriyadhohi ilmu. Kelak, segala pengorbanan ini akan dipanen oleh anak tersebut, dan pastinya juga orang tua.

Namun untuk hal-hal mendasar lain, seperti bullying, apalagi kejahatan dan juga kekerasan dalam pondok maka harus dilaporkan dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Karena memang ini bukanlah hal yang bisa diterima dan apalagi dibenarkan.

Semoga kita mampu memahami dan membedakan antara kritis dan cengeng. Sehingga kita mampu menjadi pribadi kuat, tak hanya pandai mengeluh. Dan juga, terutama mampu menjadi pejuang tangguh, yang mampu berjuang hingga garis finis. Tak berhenti ditengah jalan hanya karena jalan semakin tinggi mendaki, dan akhirnya memilih untuk turun kembali. []

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah