Respon terhadap Kebijakan dan Aturan Menteri Agama Soal Pengeras Suara

Penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla merupakan sebuah kebutuhan bagi umat islam sebagai salah satu sarana syi’ar Islam di tengah masyarakat, tentunya kita juga harus ingat bahwa masyarakat Indonesia yang beragam, baik dari sisi agama, keyakinan hingga latar belakang.

Dengan demikian, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmonisasi sosial, yaitu salah satunya dengan cara menerapkan aturan penggunaan pengeras suara masjid dan musholla. Karena sebagai umat islam selalu di ingatkan dengan kata Islam rahmatan lil alamin.

Akan tetapi dengan adanya kebijakan dari mentri agama mengenai hal itu tentunya banyak sekali terjadi pro dan kontra bahkan sampai menimbulkan perpecahan kelompok – kelompok Islam.

Maka untuk merespon kebijakan dan aturan mentri agama soal pengeras suara. Menurut yang saya pahami, saya rasa ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Gak semua harus disalahkan dan dibenarkan. Fakta dan kebenaran harus tetap dijunjung tinggi, bukan sebatas pengaruh doktrin tanpa mengedepankan akal seolah tidak ada maksud baik sedikitpun dari apa yang di maksud.

Pertama, soal tadarus, mengaji, solawatan yang di beri waktu selepas tarawih dan volumenya di atur. Saya setuju, alasanya karena kondisi masyarakat sangat majemuk. Ada yang sedang sakit, ada ibu yang sedang mengandung, bayi yang baru lahir, lansia yang sakit-sakitan, orang yang kelelahan bekerja, orang yang baru pulang dari rumah sakit, dimana mereka butuh kenyamanan dan istirahat maksimal.

Kemudian bagaimana jika pemakaian toa sampai larut malam di tambah volumenya kurang di perhatikan? Bagaimana perasaan mereka?

Maka dari itu, aturan mengurangi waktu pemakaian toa di malam hari sangat perlu. Dalam hal ini, bukan melarang tadarus, mengaji atau sholawatannya. Tapi batas waktu dan volume penggunaan toanya yang di tekankan selama ramadhan. Kecuali jika beliau melarang penuh untuk tadarus, mengaji dan solawatan. Maka demikian bisa disebut sebuah intimidasi hak umat beragama.

Baca Juga:  Kebenaran Bersayap Kebijaksanaan

Bahkan kita dianjurkan bertasbih dan lainnya dengan suara sedang, demikian menurut mayoritas Fuqaha’ (ahli Fiqh), berdasarkan firman Allah Swt:

وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَیۡنَ ذَ ٰلِكَ سَبِیلا

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (QS. Al-Isra’ [17]: 110).

Dan saya juga pernah baca tentang sahabat Abu bakar Ash shidiq bahwa beliau ketika melaksanakan wirid dan berdoa selalu dengan volume pelan dan ketika di tanya oleh rasulullah SAW belia menjawab Alllah itu maha mendengar jadi kita tidak perlu mengeraskan suara ketika berdoa.

Kedua, yang saya tidak setuju. Volume suara adzan harusnya tidak perlu di buat aturan. Suara adzan memang harus tinggi tapi lembut, Tidak kasar. Karena sifatnya pemberitahuan, ajakan. Kecuali teriakteriak. Baru adzan masuk kajian untuk di bikin aturan. dari dulu memang tidak ada masalah soal adzan. Kenapa adzan di buat aturan juga. Aneh kedengarannya.

Ada sebuah riwayat yang pernah saya baca bahwa rasulullah berkata kepada Umar, “Aku lewat ketika engkau sedang salat, mengapa engkau mengeraskan suaramu?”. Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, aku membangunkan orang yang tidur dan mengusir setan”. Rasulullah berkata, “Rendahkanlah sedikit suaramu”.

Tetapi sebagian ulama’ Salaf menganjurkan menyaringkan suara ketika membaca takbir dan zikir setelah salat wajib. Mereka berdalil dengan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai salat ketika aku mendengar (mereka berzikir dengan suara nyaring)”. (HR Al-Bukhari dan Muslim). Karena menyaringkan suara ketika berzikir itu lebih banyak dalam pengamalan dan lebih merenungkan makna, manfaatnya untuk menyadarkan hati orang-orang yang lalai.

Baca Juga:  Kebijakan Pemimpin Harus Berorientasi Maslahah

Ketiga, analogi suara yang beliau bilang 5 kali sehari dengan suara gonggongan anjing. (katakanlah misalnya adzan, walaupun yang beliau bilang 5 kali sehari itu bisa jadi tadarusan selepas sholat wajib, bukan adzan, memang ambigu, multi tafsir) tapi Saya paham apa yang beliau maksud. Umat non muslim melihara anjing di setiap rumah, pastinya umat muslim sekitar terganggu dengan suara gonggongannya dari arah sana sini. Maka toleransi non muslim harus peka dalam hal itu.

Begitu juga muslim soal pemakaian toa. Itu maksud beliau cuma seharusnya pakai analogi lain, jangan gonggongan anjing. Kan masih banyak perumpamaan lain apalagi sekelas mentri dimana keilmuan dan wawasan yang mumpuni. Itu yang menyebabkan persepsi masyarakat jadi liar. Di tambah media menggoreng pernyataan original sepotong –potong. []

Rama Nurul Fajar
Santri Maslakul Huda Kajen Margoyoso Pati

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini