Peran Islam Nusantara “NU” dalam Mengawal Perdamaian

Tentang Islam Nusantara bagi kalangan kaum Nahdliyin bukanlah hal yang baru, pada Muktamar NU yang ke-33 bertepatan di Jombang, dengan mengusung tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, pengusungan tema tersebut tidak hanya menegaskan ideologi semata, akan tetapi juga bertujuan untuk menyemai peradaban yang damai dan toleran. Hal ini tentu saja menggambarkan Muslim NU yang memegang teguh prinsip Rahmatan li al-alamin.

Corak keislaman ala NU adalah bentuk respon terhadap globalisasi. Menurut Akhmad Sahal, Islam Nusantara yang dipahami sebagai manifestasi dari sikap menghadapi arus globalisasi dapat digambarkan dengan pengistilahan (Langgamnya Nusantara, tapi Isinya Islam, Bajunya Indonesia tapi badannya Islam).

Selanjutnya Akhmad Sahal dalam memahami Islam Nusantara corak NU sebagai wujud kontekstualis Islam ketika di tinjau dari kacamata ushul fiqh. Pernyatan tersebut memanglah benar, NU sangat mempertimbangkan berubahnya situasi kondisi suatu masyarakat dengan menjunjung tinggi prinsip kemaslahatan umat sebagai tolak ukur. NU juga menekankan pambaharuan dalam memahami Islam karena mengalami perubahan konteks geograsif yang sebelumnya berasal dari Arab menuju kawasan Nusantara.[1]

Ormas Islam tersbesar di dunia ini menjadi cerminan bagi semua kalangan umat Muslim lainnya yang memiliki ciri tipologi yang khas tersendiri. Dari sikapnya yang moderat, toleransi, menerima perbedaan, damai, melebur dengan budaya lokal, setidaknya berperan sebagai kiblat Islam dunia dalam menerapkan prinsip keislaman sesuai dengan keadaan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi teologi Islam sendiri.

Begitu jauh berbeda dengan pengklaiman kelompok-kelompok puritan yang menjargonkan masuk Islam itu harus kaffah yang merujuk pada kehidupan zaman Nabi. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, Islam mengalami perkembangan dan membentuk peradaban baru sesuai dengan budaya setempat yang nantinya melahirkan produk baru yang dinamakan Islam lokal.

Baca Juga:  Mengapa Ulama Nusantara tidak Menghendaki Fikih sebagai Hukum Positif Negara?

Azyumardi Azra mengungkapkan, Islam Nusantara ala Nahdlatul Ulama ini memiliki potensi untuk kemajuan bangsa guna mewujudkan peradaban Islam yang rahmatan li al-alamin. Salah satu modal terbesar sebagi wujud potensi yang di miliki yaitu kekayaan dan beragamnya lembaga baik berupa sekolah, masjid, pesantren, madrasah, klinik dan rumah sakit, serta perguruan tinggi.

Mengaca pada peristiwa yang terjadi di Timur Tengah hingga saat ini mengalami perang saudara antar umat Muslim dan hancurnya perpolotikan yang kerap kali terjadi konflik menjadikan NU dan ormas Islam wasathiah lainnya tidak hanya meningkatkan amal usaha dan pikiran di Nusantara saja, akan tetapi juga lebih ekspansih dalam menyebarkan Islam wasathiah ke berbagai belahan dunia, dengan mewujudkan Islam yang Rahmatan li al-alamin.[2]

Islam ala NU yang membaur dengan masyarakat dan budaya lokal menghadirkan ketenangan dan kedamaian di bumi Nusantara. Sampai saat ini, strategi dakwah ala Walisongo tetap di pelihara dan dilestarikan oleh warga NU yang merupakan ciri khas dari munculnya Islam Nusantara.

Salah atu tokoh Nahdlatul Ulama KH. Said Aqil Siroj dalam tulisannya, NU sebagai organisasi keagamaan dan sosial memiliki komitmen tinggi terhadap gerakan kemanusiaan dan kebangsaan, dikarenakan NU menganut Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyah dalam tiga pilar utama yang meliputi: ukhwah Islamiyah (landasn iman atau teologi), ukhwah wasathiyah solidaritas kebangsaan) dan ukhwah insaniah.

Tantangan NU kali ini yang harus di hadapi adalah munculnya kelompok-kelompok puritan yang sedikit-sedikit mengkafirkan, merasa paling benar, ekstrem, intoleran dan sejenisnya. Kelompok ini menganggap Islam yang sesungguhnya adalah Islam seperti Arab, mereka tidak tahu mana agama dan mana budaya, yang akhirnya menjudge sesat masyarakat pribumi dalam melaksanakan ibadah atau ritual keagamaan ala budaya lokal.

Baca Juga:  Post Tradisionalisme Islam: Suatu Diskursus Kaum Intelektual Muda NU

Dalam ajaran NU mengedepankan sikap tawasuth, tawazun dan juga tasamuh, yang dengan ini akhirnya akan menjadikan umat NU khas Nusantara memperoleh penyegaran dalam memahami makna agama. Hal tersebut juga menunjukkan kematangan yang akhirnya tidak emosional, tidak dangka, akan tetapi justru menerima dengan ikhlas karena prinsip hidup ini mengabdi dan khidmat terhadap Allah swt dan kepada umat.

Upaya untuk membangun kehidpan yang damai dan harmonis di tengah masyarakat yang sifatnya multikultural sangat perlu untuk menerapkan dan mengembangkan local wisdom yang kita ketahui sampai hari ini berhasil membangun kerukunan antar umat beragama. Nahdlatul Ulama di sini juga sebagai wujud manifestasi dari penerapan local wisdom yang tidak menghilangkan sisi kebudayaan pribumi, tetapi memadukan unsur Islam dan budaya sebagai identitas beragama ala Nusantara. Dengan menerapkan kehidupan bernegara, Islam Nusantara lebih memilih paham moderat yang mengedepankan toleransi antar umat beragama, pluralisme, demokrasi maupun civil society.[3]

Karakter dari Islam Nusantara terutama kalangan NU yaitu dari segi keilmuan sangat jelas sanadnya yang bersambung dampai Nabi Muhammad dan menggunakan cara berfikir sesuai dengan mazhab. Karakter Islam Nusantara kedua yaitu lebih mengedepankan kebajikan (maslahah) dan kearifan lokal (local wisdom), dengan begitu Islam dengan mudah di terima oleh masyarakat lokal. Dengan begitu Islam Nusantara setidaknya bisa mencontohkan bagaimana cara menerapkan nilai-nilai keislaman tanpa membuang unsur budaya.

Karakteristik Islam Nusantara ketiga yaitu tidak radikal dan frontal, akan tetapi tegas, tidak kaku. Hal ini oleh para Ulama Nusantara selalu menjaga prinsip-prinsip yang tidak dapat di kompromikan dengan cara-cara yang lentur.

Islam Nusantara menduduki peran yang sentral untuk mengokohkan budaya lokal dan menjaga kesatuan Republik Indonesia dari para kelompok puritan. Islam hadir di nusantara dengan tujuan mengislamkan masyarakat lokal tanpa merusak tradisi dan budaya. Tentunya Islam kawasan Arab dengan Islam yang ada di wilayah Nusantara sangat jauh berbeda dalam segi budaya.

Baca Juga:  Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

Dengan begitu tidak mudah kelompok puritan yang merasa paling benar tersebut mengarabisasi Nusantara ini. Indonesia sebagai tuan rumah atas Islam Nusantara yang menjadi corak keislaman khas, haruslah menjaga budaya  dan memberi tempat serta membina Islam sebaik mungkin supaya tidak berbenturan dengan budaya. Islam Nusantara yang memegang paham Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdluyah ini setidaknya menjadi benteng untuk menjaga kesatuan Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mengedepankan Toleransi, saling menghargai, damai dan tentram.

Dengan memegang prinsip rahmatan lil alamin menjadikan Islam Nusantara sebagai Islam yang sesungguhnya dengan menebar kebaikan terhadap seluruh alam dan menjadi garda terdepan untuk mewujudkan perdamaian antar umat beragama baik skala lokal maupun Internasional. []

 

[1] Taufik Bilfagih, “ Islam Nusantara: Strategi Kebudayaan NU di Tengah Tantangan Global”, Jurnal of Islam and Plurality, vol. 2, no. 1, Desember 2016, 59-60.

[2] Nur Khalik Ridwan, dkk, Gerakan Kultural Islam Nusantara, (Yogyakarta: Jamaah Nahdliyin Mataram (JNM) bekerjasama dengan Panitia Muktamar NU Ke-33, Agustus 2015), 21.

[3] Abdul Basid, “ Islam Nusantara: Sebuah Kajian Post Tradisionalisme dan Neo Modernisme”, Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, vol. 5, no. 1, Juni 2017, 7.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini