Bahasa Arab Terjebak Skeptisisme Semu Pasca Penaklukan Bagdad

Umat muslim beribu tahun yang lalu pernah berada di masa kejayaan saat bahasa Arab menjadi primadona dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tepatnya masa pertengahan kepemimpinan dinasti umayyah (±650 M) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Abbasiyyah (±1250 M). Bagaimana tidak, setiap liding sektor dari mulai intelktual, sosial, maupun ekonomi diliputi dengan bahasa negeri gurun pasir tersebut.

Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh politik dinasti Umayyah, bahasa Arab diposisikan sebagai bahasa negara, khususnya sebagai bahasa administarasi pemerintahan, diplomasi, birokrasi, sosial ekonomi. Meskipun “fanatisme kearaban” terhadap kesukuan ini terdengar sangat politis, namun dampaknya cukup luas dan signifikan. Yang pada awalnya hanya sebuah sistem, lalu kemudian membentuk semangat intelektual secara kolektif karena dari hal tersebut menjadi cikal bakal orientasi dan dinamisasi ilmu-ilmu dalam bahasa Arab.

Yusuf Al-Isysy dalam kitabnya, Ad-Daulah Al-umawiyyah wa al-Ahdats at-tarikhiyyah menyebutkan, saat kekhalifahan Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun di masa dinasti Abbasiyah. Bahasa Arab semakin mendapatkan panggung yang luas karena kebijakan sang pemimipin sangat mendukung perkembangan intelektual secara besar-besaran di samping memang para penguasa tersebut haus dan antusias terhadap pengembangan Ilmu Pengetahuan dam Teknologi (IPTEK) saat itu. Hal ini ditengarai dengan penerjemahan berbagai karangan filosof Yunani, Persia, India ke dalam bahasa Arab. Di antara buku yang di arabkan saat itu ialah, al-Sama wal ‘Alam karya Aristoteles, al-Handasah [arsitektur] karya Plato, al-Majesti karya Ptolemios. Kolaborasi antara ulama dan umara’ ini terbukti bersinergis membuahkan dinamika keilmuan yang sangat pesat. Sehingga dalam kurun waktu yang singkat kemajuan peradaban Islam dalam pelbagai sektor dapat terwujud.

Penerjemahan karya-karya asing tidak terbatas pada ilmu-ilmu dasar, filsafat Yunani, melainkan juga mencakup matematika, astronomi, fisika, geometeri, musik, dan kedokteran yang berasal dari bahasa Suryani, Persia dan India. Gerakan penerjemahan karya-karya ilmiah berbahasa asing ke dalam bahasa Arab tersebut, selain mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga berpengaruh besar terhadap wacana keilmuan Islam, baik ilmu-ilmu tradisional maupun ilmu-ilmu rasional. Sehingga umat Islam tidak hanya bertindak sebagai pengalih ilmu tetapi juga sebagai penyusun, pengembang, dan pembangun berbagai disiplin ilmu pengetahuan baru.

Baca Juga:  Menyemarakkan Usul An Nahw di Indonesia

Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga tahapan perkembangan peradaban Islam. Pertama, munculnya gerakan penerjemahan dan pemahaman pelbagai karya asing ke dalam bahasa Arab. Kedua, implikasi dari gerakan ini, ada lahirnya fase kreasi ilmu (marhalah al-ibda’ al-Ilmi). Bangsa Arab (muslim) tidak lagi sekedar menerjemahkan tetapi memproduksi; menulis dan mengembangkan ilmu melalui pelbagai penelitian dan pengembangan. Ketiga, berkembangnya fase inovasi dan aplikasi ilmu pengetahuan (marhalah al-ibtikar wa al-tathbiq al-ilmi) sehingga melahirkan kemajuan teknologi dan karya-karya seni dan budaya. Semua tahapan perkembangan ini tidak terlepas dari peran bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan teknologi yang menjadi kebanggaan pada masanya.

Hal yang harus di garis bawahi pada periode keemasan ini bahwa kerjasama akademik antara lintas agama dan budaya sangat terbuka. Siapapun memiliki peluang untuk bekerjasama dengan penuh sinergitas. Dapat dibuktikan dengan adanya penerjemah-penerjemah dari kalangan Nasrani, seperti Hunain ibn Ishaq (808-873 M), dan Ishaq bin Hunain yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab.

Selain faktor politik yang mendorong menjamurnya budaya intelektual tersebut, di antara faktor lainnya ialah faktor ekonomi. Masyarakat berkonsentrasi penuh pada satu bidang keilmuan hingga menjadikannya sebuah profesi. Sehingga mereka (cendekiawan muslim) sangat menekuni (serius dan produktif) terhadap suatu bidang keilmuan. Selain itu memang bahasa Arab sangat akomodatif untuk dijadikan sebagai reproduksi pemikiran dan karya-karya ilmiah sehingga menarik para pengkajinya, walau di antara mereka adalah seorang ajami (non arab). Sebut saja Imam Ghazali dari Iran, Ibn Rusyd dari Kordoba Spanyol, Al-Farabi dari Kazakhstan, Ibnu Sina dari Iran, dan masih banyak tokoh lainnya.

Doktrin agama Islam, sebagai agama yang menekankan umatnya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan juga menjadi faktor penting bagi umat Islam sehingga terpacu untuk memahami dan mengaktualisasi ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits).

Baca Juga:  Alfiyah, Pesantren dan Kiai Kholil

Tahun 1258 M, saat peristiwa penyerangan Bagdad oleh tentara Mongol, buku-buku yang diberantas hangus, mentalitas intelektual umat Islam menurun. Bahasa Arab yang semula menjadi bahasa akademik-ilmiah mengalami pergeseran fungsi hanya sebagai bahasa agama, bahasa spiritual yang bernuansa religi saja. Masyarakat mulai beranganggapan bahasa ini sakral karena disebut bahasa ilahiah. Karya karya intelektual dalam pelbagai bidang tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab semakin loyo karena ketidakberdayaan politik dan ekonomi umat Islam vis a vis hegemoni Barat yang lebih maju secara sains dan ekonomi. Perhatian umat Islam setelahnya cenderung ditujukan kepada  perebutan kekuasaan di satu pihak, dan di pihak lain memilih jalan sufistik dengan meninggalkan kehidupan duniawi.

Oleh karena itu, di era globalisasi ini ketika akses pengetahuan bisa didapatkan dengan mudah dan cepat sudah seharusnya kita merefleksikan kembali peran bahasa Arab yang hilang dari umat muslim serta membangun kembali mentalitas intelektual umat muslim untuk menumbuhkan karya-karya profesional sebagai warisan generasi muda mendatang. []

Aprina Rachmi Fauziah
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pernah mondok di pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dan kontributor di NU Online pusat.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini