Menuju Pancasila melalui Jalan Soekarno

Konsepsi Pancasila memiliki sejarah yang panjang. Setiap fase melibatkan partisipasi berbagai aktor dan elemen. Sedemikian rupa, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama bangsa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam bekerja bersama terdapat individu-individu yang memegang peranan penting. Salah satu peran paling menonjol dimainkan oleh Soekarno. Sejak fase “pembibitan”, Soekarno aktif merintis pemikirannya menuju falsafah dasar Pancasila. Adalah idenya untuk mensintesis “nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” yang dikonseptualisasikan lebih jauh ke dalam prinsip “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi,” sebagai prinsip Marhaenisme. Dalam fase perumusan, dia adalah orang pertama yang mengkonseptualisasikan dasar negara dalam konteks “landasan filosofis” (Philosoísche Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung), dengan mengkristalkannya menjadi lima prinsip. Ia juga orang pertama yang mengacu pada lima prinsip dasar dengan menggunakan istilah Panca Sila. Dalam proses penyempurnaan rumusan Pancasila, ia memimpin “Panitia Sembilan” yang melahirkan Piagam Jakarta. Dalam proses pengintegrasian Pancasila ke dalam konstitusi, ia memimpin Panitia Perancang Hukum Pokok. Terakhir, pada tahap dimulainya Pancasila, ia memimpin PPKI.

Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan sejak 18 Agustus 1945, namun semua pembukaan di seluruh literasi selalu menegaskan bahwa Indonesia yang merdeka harus disusun berdasarkan Pancasila yang memuat prinsip yang saling berhubungan. Dalam rangkaian amandemen konstitusi, rumusan Pancasila mengalami sedikit perubahan, namun tatanan asasnya tetap terjaga. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), rumusannya adalah ketuhanan yang maha esa, peri kemanusiaan (kemanusiaan), kebangsaan (kebangsaan), kerakyatan (kerakyatan), dan keadilan sosial. (keadilan sosial).

Seperti dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) rumusannya adalah ketuhanan yang maha esa (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemanusiaan yang adil dan beradab (kemanusiaan yang adil dan beradab), persatuan indonesia (persatuan Indonesia), kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial (keadilan sosial).

Baca Juga:  Ijtihad Kebangsaan: Titik Temu Nahdlatul Ulama dan Soekarno

Meskipun tatanan editorial Pancasila berubah, namun prinsip (nilai inti dan gagasan) masing-masing prinsip secara substansial tidak berubah. Dari segi tatanan Pancasila, Soekarno tidak memandang urutan asas Pancasila sebagai soal asas. Dalam penjelasannya kemudian dalam buku Pantja-Sila sebagai Landasan Negara, volume IV-V (1958: 3), ia menyatakan:

Urutan yang biasa saya gunakan untuk merujuk pada prinsip tersebut adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa, kebangsaan nomor dua, kemanusiaan yang adil dan adil, kedaulatan rakyat nomor Lima keadilan sosial. Ini hanyalah urutan khusus. Ada kawan-kawan yang mengambil perintah lain yang menempatkan prinsip kemanusiaan sebagai prinsip kedua dan prinsip kebangsaan sebagai prinsip ketiga. Bagi saya, saya tidak keberatan untuk merumuskan kembali urutan tersebut.

Dengan kata lain, kunci Pancasila bukanlah pada tatanan dan komposisi tajuk rencana, melainkan pada nilai-nilai inti dan gagasan masing-masing sila Pancasila, seperti yang dipaparkan oleh Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945. Dalam sejarah panjang Konseptualisasi Pancasila, dapat dikatakan 1 Juni adalah hari lahirnya. Setelah mendengar puluhan pembicara sebelumnya yang mencoba menjawab permintaan Ketua BPUPK Radjiman Wedjodiningrat tentang berdirinya Negara Indonesia Merdeka, pada tanggal itu Soekarno dengan gemilang mentransformasikan semua pandangan dan pengalaman menjadi 5 Prinsip.

Lima prinsip tersebut dipandang sebagai kristalisasi gagasan dan cita-cita kehidupan dan ideologi bangsa, yang akan menjadi ideologi negara bangsa, dan dapat diposisikan sebagai sumber dari semua sumber hukum atau metalegal yang merupakan Grundnorm Negara (norma fundamental). Pada hari itu, lima prinsip dasar negara diberi nama Panca Sila. Sejak saat itu, angka dan prinsip Pancasila tidak pernah berubah. Namun, agar dapat diterima sebagai landasan bersama dalam landasan filosofis negara-bangsa, pandangan dunia, ideologi dan norma fundamental, maka rumusan Pancasila perlu disepakati bersama melalui rumusan Piagam Jakarta (22 Juni), dan akhirnya dianalisis melalui proses dimulainya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus. Rumusan akhir Pancasila sebagai landasan negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Pancasila diresmikan dengan Keputusan Presiden 5 Juli 1959 kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia no. 75 Tahun 1959, rumusan Pancasila dalam Keputusan Presiden ini sama dengan rumusan yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 18 Agustus 1945.

Baca Juga:  HAM dalam Pancasila

Pilar dari lima prinsip tersebut terutama ditopang oleh “trilogi ideologis” arus utama: ideologi agama; ideologi nasionalis (nasionalisme), dan ideologi sosialis. Ideologi-ideologi ini, terlepas dari titik perbedaannya, menemukan kesamaan dalam tiga prinsip dasar: sosio-religius, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Ketiga prinsip ini disatukan oleh sikap welas asih untuk bekerja sama, saling membantu dan saling menghormati. Semangat seperti itu disebut Bung Karno sebagai “gotong-royong”.

Dimensi ontologis mengacu pada “makna struktur yang terdalam” yang menjadi inti dari Pancasila yang menjadi landasan negara ini. Struktur terdalam Pancasila adalah keinginan untuk mengakhiri kesamaan denominator, kesamaan landasan, dan orientasi bersama dalam mewujudkan kebaikan bersama (al-maṣlaḥah al-‘āmmah, bonnum comune) dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Semua prinsip Pancasila beserta turunannya yang visioner diarahkan untuk kepentingan bersama: kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan sejahtera.

Oleh karena itu, yang pertama, persatuan bangsa harus diperjuangkan dengan menghadirkan bangsa yang melindungi segenap bangsa dan tanah air. Menuju persatuan bangsa, negara ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menuju keadilan sosial, negara harus dilandasi kedaulatan rakyat dalam musyawarah perwakilan. Dan itu menuntut landasan etika, semangat keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua prasyarat tersebut tertuang dalam empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Singkatnya, kelima sila Pancasila itu saling terkait dan melengkapi, yaitu untuk menunjang landasan ontologis dari kerangka kepentingan umum. []

Muhammad Ghofar Ali
Praktisi Pendidikan Kota Malang dan Aktivis Muda NU

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] sarjananya, kemudian setelah itu bertemu dengan Sjahrir dan menjadi salah satu kepercayaan Soekarno dan Mohammad […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini