Agenda Islam terhadap Perempuan

Pembahasan mengenai isu-isu yang bersinggungan dengan perempuan merupakan isu yang selalu mencuat di permukaan. Hal tersebut secara umum disebabkan karena budaya patriarki, masih maraknya pemahaman dan tindakan yang bias terhadap gender, dan juga meningkatnya pelecehan dan kekerasan yang dialami oleh perempuan. Sebagaimana yang dikatakan Komnas Perempuan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir ini kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia naik hingga 800%.[1]

Jika ditinjau dari potret sejarah, perempuan memang selalu diidentikan sebagai manusia kasta kedua (second class) setelah laki-laki. Mereka tidak memiliki power dan keunggulan yang lebih sehingga mereka selalu ditindas dan direndahkan. Seperti pada masa Yunani kuno misalnya (sekitar tahun 1050-700 SM), kedudukan perempuan setidaknya terklasifikasi menjadi tiga bagian; 1). Sebagai pelacur (whores) yang bertugas sebagai objek pemuas nafsu birahi para laki-laki, 2). Sebagai selir (slaves) yang bertugas sebagai perawat tubuh tuanya, 3). Sebagai istri (wives) yang tugasnya hanya menjadi baby sitter. Di masa pra-Islam bangsa Arab juga demikian, perempuan kala itu bisa dikatakan sebagai objek pembunuhan, ketika yang lahir adalah perempuan maka Ayah tidak segan membunuhnya atau mengkuburnya hidup-hidup dengan alasan kelahiranya adalah suatu bencana (Lihat Q.S an-Nahl (16): 58-59). Bangsa Arab jahiliyyah juga menganggap perempuan tidak mampu untuk bekerja yang ekstrem seperti ikut peperangan dan memimpin rumah tangga.

Ketertindasan yang dialami oleh perempuan dalam panggung sejarah sangatlah kisruh, bobrok, dan tidak bermoral. Perlu adanya suatu kredo yang memuat hak-hak perempuan, seperti etika bergaul, kedudukan, pernghormatan dan lain sebagainya. Sangatlah disyukuri Islam hadir untuk memberantas segala bentuk diskriminasi dengan mengupayakan berbagai agenda yang bernuansa emansipasi khususnya terhadap perempun dengan spirit yang menyongsong prinsip kesetaraan. Islam bukan hanya sekedar agama yang sistemnya mengatur tata keimanan saja, tetapi juga mengatur kaidah pergaulan yang dilakukan oleh manusia.

Tiga Agenda Besar

Untuk mengatasi praktek budaya yang telah mengakar, Islam membuat agenda besar dan upaya untuk membongkar dan mengkonstruk ulang budaya jahiliyyah. Melalui ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Islam menjalar sebagai agama yang menyebarkan rahmah -senantiasa mengajarkan nilai-nilai kebahagiaan yang luhur dengan penghidupan yang sejahtera- dengan menyongsong misi pembebasan dari segala sistem yang berbentuk perbudakan. Bagaimanapun praktek yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah terhadap perempuan tidak bisa dibenarkan karena merusak tatanan nilai-nilai sosial masyarakat dan kaidah berkehidupan.

Baca Juga:  Maknai Hari Kartini, Sitta Rosdaniah: Literasi Keuangan bagi Perempuan Sangat Penting

Islam hadir merespon kebobrokan yang terjadi di tengah masyarakat dengan mengagendakan hal-hal yang mampu mendongkrak kedudukan perempuan. Setidaknya terdapat tiga agenda besar untuk menaikan kedudukan perempuan. Pertama, yaitu dengan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam semua aspek. Coba kita cermati betapa banyaknya ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. yang memberikan edukasi dan pemahaman kepada kita akan perluasan ruang serta peran perempuan yang setara dengan laki-laki. Dalam al-Qur’an keduanya merupakan makluk yang diberikan nilai instrumental yang sama tingginya. Satu-satunya yang membedakan tidak lebih adalah segi ketakwaanya “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa” (QS. al-Hujarat (39): 13. Bahkan pada suatu riwayat terdapat protes atas keresahan para sahabat perempuan perihal tidak ditemukanya ayat al-Qur’an yang menyoroti perempuan. Lantas peremuan tersebut mengajukan tuntutanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasul, mengapa hanya laki-laki yang disorot dalam al-Qur’an pada segala aspek? Sedangkan perempuan tidak. Kemudian Allah menurunkan QS. al-Ahzab (33): 35 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya…”.[2] Ini menandakan adanya responsofitas al-Qur’an terhadap pertanyaan yang diajukan oleh sahabat yang ingin menggeneralisir kedudukan manusia. Tetapi yang perlu dipahami juga bahwa Islam kadang berbicara tentang perempuan sebagai perempuan, yang mana secara kodrat berbeda dengan laki-laki, seperti persoalan haid, mengandung, melahirkan, menyusui (Lihat QS al-Baqarah (2): 233).

Kedua, memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskrimintif dan eksploitatif khususnya terhadap perempuan. Ajaran agama Islam memiliki semangat untuk mengudari segala bentuk yang melecehkan perempuan. Seperti halnya dalam konteks hukum keluarga, semangat tersebut terakomodir dalam penganuliran sistem pernikahan yang telah berlaku sebelum Islam hadir. Karena perempuan menjadi manusia second class kala itu, sulit dirasa untuk mencai suami yang benar-benar sesuai kriteria yang dia inginkan. Bahkan mereka terlebih dahulu melacurkan dirinya dengan memberikan tanda di depan rumahnya, model seperti ini dinamakan dengan model istibdha’,[3] nikah rath,[4] dan nikah rayah[5]. Menyadari akan dampak dan pengaruh yang nyata terhadap perempuan, model pernikahan yang berbau eksploitatif-diskriminatif terhadap perempuan ini dihapuskan dan diganti dengan model pernikahan yang berperikemanusiaan dengan menjunjung tinggi hak-hak perempuan.

Baca Juga:  Mengukuhkan Keberanian dalam Kebenaran

Begitu juga dengan sistem mahar, hak waris, hak nafkah juga dikonstruk ulang oleh Islam dengan model yang lebih egalitarian dan tidak diskriminatif. Semula budaya mahar yang tidak diberikan kepada mempelai perempuan namun diembat oleh walinya dirubah dengan kewajiban pemberian mahar kepada perempuan (Lihat QS. an-Nisa (4): 4). Semula perempua tidak mendapat warisan, kemudian hadirnya Islam memberikan hak kepada perempuan (Lihat QS. an-Nisa’ (4): 7). Semula perempuan hanya sebagai objek penelantaran denga tidak diberikan nafkah maka dirubah dengan kewajiban untuk memerikan nafkah kepadanya, terlebih ketika sedang mengandung, menyusui anak, dan mut’ah pasca perceraian. (Lihat al-Baqarah (2): 233 dan QS. al-Ahzab (33): 49). Rekonstruksi yang dilakukan oleh Islam merupakan upaya counter terhadap budaya patriarki yang tidak meninggikan dan menghormati kedudukan perempuan. Secara empiris, Rasulullah Muhammad saw. sendiri memberikan gelaran wejangan kepada umatnya untuk tidak bersikap segala bentuk yang berbabau merendahkan dan meremehkan kepada perempuan. Sehingga beliau berkata “Barangsiapa yang memuliakan peremupuan, maka dia itu mulia, dan barang siapa yang menghina perempuan, maka sejatinya dialah yang hina”.[6]

Ketiga, memperjuangkan hak-hak keperempuanan yang ada kaitanya dengan kesehatan psikologis dan biologis. Dalam perspektif Islam, psikologi perempuan sangatlah diupayakan, tidak ada doktrin Islam yang sifatnya penekanan, pengendalian, yang berimplikasi terhadap kesengsaaan psikologi perempuan. Justru orientasi ajaran Islam bersifat preventive dan recovery psikologi terhadap perempuan. Sebagai contoh, anuran menggunakan busana yang menutupi aurat yang diperintahkan Islam sebagai manifestasi ketegaran sikap perempuan menghadapi eksploitasi, disisi lain juga dapat meningkatkan kepercayaan diri perempuan (QS. an-Nur (24): 31). al-Qur’an mengingatkan kita bahwa ketika dihadapkan dengan perempuan sebaik mungkin kita meladeninya dengan cara yang ma’ruf (QS. an-Nisa’ (4): 19), apabila terdapat kesalahan maka dinasehati (QS. an-Nisa’ (4): 34 , ketika ingin dicerai dengan cara yang baik (QS. al-Baqarah (2): 41). Semua hal yang berkaitan dengan perempuan harus dihadapi dengan cara yang ihsan dan ma’ruf supaya tidak terjadi bias-bias psikologis terhadap perempuan.

Baca Juga:  Yuk, Sempurnakan Islam Kita dengan Menulis

Perihal biologis selalu ada kaitanya dengan kesehatan repoduksi bagi perempuan, datangnya Islam mengajarkan betapa pentingnya kemampuan untuk mengkontrol kesehatan reproduksi khususnya bagi seorang perempuan. Diawali seperti dengan mengenalkan berbagai macam darah yang keluar dari kelamin perempuan, kemudian menjelaskan bahwa darah yang keluarga dari kelaminya merupakan suatu benda yang kotor dan dilarang untuk menggaulinya pada saat itu (QS. al-Baqarah (2): 222), setelah selesai maka diharuskan untuk membersihkan diri. Bahkan urusan seperti kehamilan, penyusuan, pasca kehamilan sangat dijelaskan rinci didalam Islam. []

 

[1] Eni Kartinah, “Kekerasan Seksual Pada Perempuan, Mengapa Korban Pilih Diam”, https://m.mediaindonesia.com/humaniora/394395/kekerasan-seksual-pada-perempuan-mengapa-korban-pilih-diam, diakses pada tanggal 26 Desember 2021

[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qyr’an al-‘adzim, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2012), hlm. 454

[3] Merupakan pernikahan seorang suami meminta istrinya pergi kepada laki-laki terpandang dan meminta dicampurinya. Kemudian suami menjauhinya dan tidak menyentuhnya lagi hingga terlihat hamil oleh laki-laki tersebut. Hal itu dilakukan semata karena menginginkan keturunan yang bagus dan luhur.

[4] Merupakan pernikahan yang dilakukan oleh kurang lebih sepuluh orang dengan satu perempuan dan mencampurinya secara bersama-sama. Lalu setelah mengandung dan melahirkan perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang menggaulinya dan menunjuk salah satu diantara mereka untuk menjadi bapak dari anak yang lahir.

[5] Merupakan pernikahan yang mana perempuan mempersilahkan laki-laki mana saja untuk menggaulinya dengan tanda memasang bendera di pintu rumahnya. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan tersebut memanggil laki-laki tersebut dan mencemati persamaan tanda dari si anak dan laki-laki tersebut. Jika terdapat ketersesuaian tanda maka ditunjulah laki-laki tersebut menjadi bapaknya.

[6] Nabil Saad al-Din Salim Jarrar, ­al-ima’ ila Zawaidi li Amali wa al-Ajza’ Juz 5, (Maktabah shameela), hlm. 109.

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami biasa di panggil Amik. Seorang santri abadi pegiat gender dan Hukum Keluarga Islam.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Perempuan