Ijtihad Modernisasi Muhammad Abduh (1)

Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu. Pemikirannya muncul atas situasi dan tuntutan sosial yang mengharuskannya melakukan pembaharuan. Ketika orang lain tidak melakukan hal yang sama dan bahkan sering menentang pembaharuan yang dilakukannya, memang itulah watak setiap modernis. Modernis adalah orang yang paling cepat tanggap merespon perkembangan yang terjadi dan sekaligus paling cepat diresponi oleh masyarakat sekitarnya.

Meskipun seorang modernis, Abduh juga seorang yang mempertahankan warisan klasik yang masih relevan digunakan. Beliau masih berpijak pada akar sejarah dan tradisi keIslaman yang relatif kuat seperti dengan menulis syarh untuk kitab Al-Basair Al-Nasiriyah dalam bidang logika, Nahj Al-Balaghah untuk bidang sastra, dan beberapa kitab lainnya. Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu yang mengajak kepada perbaikan yang tidak hanya dalam tataran teoritis dengan jalan mengarang, pidato-pidato, seminar-seminar, mempresentasikan makalahnya saja, tetapi dia berusaha membawa pemikiran pembaharuannya kepada amal perbuatan dan tenggelam dalam kehidupan nyata agar dapat melangsungkan rencana pembaharuannya. Dia sudah mati, tetapi pemikirannya tidak akan mati.

Modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari modernisasi sosial, ekonomi, dan politik. Hal tersebut bermakna bahwa untuk membangun dan membina masyarakat modern, maka pendidikan adalah bagian yang sangat penting sebagai media tranformasi nilai dan budaya maupun pengetahuan. Pendidikan akan mendorong berkembangnya kecerdasan dan produk budaya masyarakat. Melalui pendidikan pula, muncul banyak pembaharuan di berbagai aspek kehidupan. Asumsi adanya hubungan yang signifikan antara pembaharuan dengan pendidikan yaitu sebagaimana pendapat Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan.

Tak hanya itu, Abduh juga merupakan sosok yang gigih dalam mengembangkan gerakan pembaharuan Islam melalui gerakan intelektual. Pemikirannya meninggalkan pengaruh yang luas, tidak hanya di tanah airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, melainkan juga di dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia. Disebutkan bahwa, pembaharuan dalam Islam di Indonesia timbul atas pengaruhnya Muhammad Abduh, melalui artikel-artikel yang dimuat Al-Urwa Al-Wusqa di Paris dan Majalah Al-Manar di Kairo, serta pemikiran-pemikirannya yang terkandung dalam Tafsir Al-Manar dan Risalah At-Tauhid.  Lebih dari itu, pemikiran-pemikirannya layak untuk terus dikaji dan dipelajari. Bukan hanya pada persoalan kelembagaan pendidikan, tetapi juga sikap mental yang dipengaruhi oleh budaya serta tata nilai dari sebuah masyarakat.

Pemikiran Muhammad Abduh

Sekurang-kurangnya, penulis membagi pemikiran Muhammad Abduh pada ada empat bagian: kebebasan, kemasyarakatan, keagamaan, Pendidikan.

  1. Kebebasan

Dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, Muhammad Abduh berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afghani yang menghendaki Pan Islamisme bahkan secara revolusi, akan tetapi Abduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab (fokus pada pendidikan). Kesadaran rakyat bernegara dapat disadarkan melalui pendidikan, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Salah satu tema yang beliau lontarkan dalam rangka memperjuangkan cita-cita pembaharuannya yaitu tentang manusia dan kebebasannya. Menurut Abduh, sungguhpun manusia berbuat atas kemauannya sendiri namun daya, kemauan, dan pengetahuan yang ada pada manusia tidaklah sempurna. Artinya bahwa dalam menjalani hidup, kemauan bebas, manusia  tidak mungkin berjalan sepenuhnya sesuai dengan yang diinginkan_sebab dengan adanya berbagai faktor yang berada di luar jangkauan kekuasaannya.

Baca Juga:  Ijtihad Umar ibn Khattāb yang Disalahpahami

Muhammad Abduh juga menyebutkan bahwa, faktor lain yang menjadi penghalang yaitu hukum alam. Contoh yang diambilnya adalah gejala-gejala alam yang sering tidak mampu dikendalikan oleh manusia semisal badai yang dahsyat dan petir yang ganas. Akan tetapi, hal itu berlaku sementara. Artinya kalau manusia mempunyai ilmu pengetahuan maka gejala-gejala alam dapat ditaklukkan dan dengan demikian penghalang berasal dari alam dapat dikurangi. Jika manusia semakin menguasai sains, otomatis akan memperbesar kemampuannya dalam menentukan langkah dan usaha sesuai yang dikehendakinya. Bahkan, Abduh juga menghubungkan ihwal konsep kebebasan manusia dengan Qadha dan Qadar yang membawa pada konsep yang dinamis. Baginya, qadha dan qadar bukanlah penghalang kebebasan manusia yang oleh masyarakat umum sering dijadikan benteng ketidakberdayaan mereka.

Tak hanya itu, Abduh juga mendefinisikan qadha dengan kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui (Taalluq al-Ilm al-Ilahi bi al-Syai). Sedangkan qadar adalah “terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan (Wuqu Al-Syai Ala Hasb Al-Ilm). Jadi ilmu pengetahuan Tuhan merupakan inti pengertian yang terkandung dalam qadha dan qadar. Apa yang diketahui Tuhan pasti akan sesuai dengan kenyataan, mustahil dapat disebut sebagai sesuatu yang diketahuiNya jika tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, dalam menentukan suatu pilihan, manusia tetap bebas. Meskipun Tuhan Maha Mengetahui atas apa yang dipilih dan diusahakannya tetapi, pengetahuan Tuhan itu tidak ada hak untuk mencegah atau merintangi. Jika beramal baik dan berhasil itu adalah hasil keringatnya dan Tuhan membalas setimpal. Begitu juga sebaliknya, jika dia niat jahat dan berhasil maka dia harus bertanggungjawab kelak. Jadi semua kembali kepada manusia.

  1. Kemasyarakatan

Sisi lain, Muhammad Abduh, mengajak untuk mencintai diri sendiri, masyarakatnya, dan negaranya. Misalnya, dalam hal pernikahan, Muhammad Abduh pada dasarnya monogami, sedangkan QS: An-Nisa’: 3, membolehkan poligami diikat dengan syarat adil yang tidak mungkin dilaksanakan oleh seorang manusia. Poligami juga hanya diperbolehkan dalam keadaan khusus misalnya, ketika istrinya tidak mampu mengandung atau melahirkan. Sementara itu, kalau poligami dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka menjadi haram hukumnya.

  1. Keagamaan

Pertama adalah Taqlid (ikut-ikutan). Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid. Ketika dipanggil oleh Syeikh Alasy yang menanyakan apakah abduh memilih Mu’tazilah, Abduh menjawab “Jika aku meninggalkan taqlid kepada Asy’ari, mengapa aku harus taqlid kepada Mu’tazilah, Aku tidak mau bertaqlid kepada siapapun, yang kuutamakan adalah argumen yang kuat. Bahkan, ia mengecam kaum Muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujjahnya.

Hal seperti ini dilakukan bukan tanpa alasan. Abduh menyerukan anti taqlid karena umat Islam telah mengalami kejumudan berpikir. Sikap seperti ini yang pada gilirannya akan melahirkan sikap-sikap antipati terhadap perkembangan sains modern. Sikap taqlid buta harus dipupus, dan sebaliknya kita harus membuka pintu ijtihad lebar-lebar. Sebab menurut Abduh, akal manusia merupakan akal manusia, baik dulu maupun sekarang. Kedudukan seorang Muslim dihadapan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam setiap waktu, dulu maupun sekarang adalah sama yaitu, seorang Muslim jaman akhir dan jaman dulu memiliki hak yang sama dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan sebenarnya umat Islam pada jaman akhir ini mempunyai pengetahuan yang tidak kalah luasnya dengan umat Islam yang dahulu sebagai syarat untuk berijtihad.

Baca Juga:  Ijtihad Klasik dan Kontemporer

Dalam hal berijtihad, Abduh menekankan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kekuatan intelektual yang diperlukan yang boleh melakukan ijtihad. Sedangkan orang lain hendaknya mengikuti ulama yang mereka percayai dan mengikuti ulama-ulama salaf sebelum timbulnya perpecahan-perpecahan. Karena itu, umat Islam dalam usaha memahami ajaran Islam harus kembali kepada sumber-sumbernya yang pertama yaitu, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, Abduh juga mengajak untuk membuka kembali pintu ijtihad dengan bersemangat. Wajarlah dia mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada pertentangan, Al-Qur’an bukan hanya sesuai dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendorong semangat umat Islam untuk mengembangkannya.

Menurut Abduh, kita harus menggunakan akal agar tidak taqlid. Seperti diketahui taqlid biasanya dipakai dalam ilmu fiqih, berkaitan dengan orang-orang yang tidak mengetahui langsung dalil-dalil agama lalu mereka mengikuti saja praktek keberagamaannya pada orang-orang yang patut diteladani. Taqlid dalam bidang seperti ini untuk kalangan awam masih bisa ditolerir. Namun, dalam bidang aqidah tidak bisa ditolerir karena aqidah merupakan kepercayaan batin yang terdalam dan berfungsi sebagai fondasi dalam beragama, sehingga jika aqidahnya kuat maka akan selamat, tetapi jika aqidahnya goyah, maka akan sangat membahayakan. Pendek kata, jika dalam masalah aqidah masih diperbolehkan untuk bertaklid, hal itu sama dengan menciptakan aqidah-aqidah umat yang rapuh.

Kedua Dzat Allah swt. Abduh adalah seorang yang tidak fanatik terhadap konsep teologi kelompok tertentu. Ia mengomentari tentang perbedaaan pendapat dikalangan ulama. Misalnya, dalam hal Dzat Allah yang tidak terjangkau yang sering menimbulkan perbedaan paham yang terjadi dikalangan ulama. Bagi Abduh, yang wajib kita imani adalah dzat Allah itu maujud dan tidak menyerupai apa yang ada dalam alam semesta ini. Lebih dari itu, merupakan masalah yang telah diselisihkan yang menyebabkan pertengkaran kronis diantara kaum Muslim sendiri. Maka, hal yang seperti itu tidak perlu didalami lebih jauh untuk dipersengketakan.

Ketiga Akal dan kemampuan. Akal merupakan satu-satunya ciri pembeda terpenting antara manusia dengan makhluk lain. Abduh menempatkan akal pada posisi yang istimewa, baik dalam hubungannya dengan aqidah maupun syariah. Menurutnya, Allah sebenarnya amat mencintai orang-orang yang mau menggunakan akalnya secara maksimal. Karena itu, Bagi Abduh, Islam merupakan agama rasional. Artinya agama dapat dipertemukan dengan akal dan akal sendiri merupakan faktor pelengkap terpenting bagi Agama. Abduh berpendapat bahwa semua manusia dapat sampai pada pengetahuan bahwa Tuhan itu ada (maujud). Hal ini dapat dibuktikan cukup dengan fenomena lahiriah eksistensi alam raya ini. Selanjutnya akal juga dapat mengetahui sifat-sifat Tuhan. Tuhan haruslah bersifat tidak berpermulaan (Qadim) dalam wujudnya. Tuhan jelas mempunyai sifat kekal (Baqa) yaitu tidak mempunyai kesudahan dalam wujudnya. Tuhan juga bersifat hidup (Hayat) sebab jika tidak begitu berarti banyak yang di alam ini yang mulia dari Dia. Tuhan juga mesti bersifat tuggal (Wahdaniyyah) oleh karena jika Tuhan lebih dari satu pasti terjadi kekacauan. Serta masih banyak lagi sifat yang diungkap Abduh.

Baca Juga:  Posisi Perempuan Muslimah dalam Arus Modernisasi

Kesemuanya bisa diterima melalui akal tanpa perantara wahyu. Meskipun sejumlah sifat-sifat Tuhan dapat diketahui secara langsung oleh akal, tetapi sejumlah sifat-sifat Tuhan yang lain tidak mampu diketahui oleh akal, atau ada sifat-sifat yang ditunjukkan oleh wahyu harus diterima oleh akal. Dengan demikian, wahyu datang untuk menyempurnakan akal. Beberapa sifat Tuhan yang di informasikan oleh wahyu misalnya sifat kalam, kemudian Tuhan Maha Melihat dan Maha Mendengar. Sifat-sifat seperti digambarkan wahyu tersebut bagaimanapun harus diterima oleh akal.

Dalam pandangan Abduh, akal juga dapat mengetahui yang baik dan yang buruk sungguhpun tidak secara rinci. Yang dimaksud dengan baik adalah apa yang membawa manfaat sedangkan yang dimaksud buruk adalah sesuatu yang membawa madharat. Dalam hubungan ini Abduh memberi penjelasan lebih lanjut bahwa ada perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa sakit tetapi pada dasarnya membawa kebaikan. Hanya sampai di sini Abduh tidak memberikan klarifikasi lebih jauh, apa sebenarnya yang menjadi ukuran akal dalam menilai sesuatu itu baik dan buruk.

Kemampuan akal yang lain menurut Abduh adalah bahwa, akal juga dapat mengetahui keadaan hidup sesudah mati. Keyakinan semacam ini sudah lama ada dan berkembang di kalangan para filosof dan bagi mereka akal dapat membuktikan adanya kehidupan setelah hidup di dunia ini. Hanya Abduh mencatat, yang dapat mempunyai pengetahuan perihal hari berbangkit adalah akalnya orang-orang khawas saja, sedangkan selain mereka sulit sampai ke pemikiran sejauh itu. Sementara itu, akal kaum awam tidak sampai ke masalah seluk beluk hari akhir. Lebih jauh, Abduh menambahkan bahwa akal kaum khawas sendiri pun banyak tidak menjangkaunya. Ini artinya permasalahan hari akhir masih sangat misterius sekali bagi akal manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam pandangan Abduh, meskipun keberadaan akal sangat luhur dan dapat mengetahui beberapa hal. Namun, tetap membutuhkan sesuatu selainnya sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu itu tidak lain adalah wahyu yang datang dari Tuhan. Jadi wahyu turun untuk menyempurnakan akal.[BA]

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama