Mempercayai Hal-Hal yang Ghaib

Al-Qur’an seringkali menggunakan diksi “berfikir” dan “berakal”, seolah dalam beragama kita harus selalu menggunakan akal. Saya rasa memang ada benarnya, akal perlu digunakan dalam beragama, tapi beragama tidak bisa hanya diisi oleh akal saja.

Kadang kita juga dipaksa tidak menggunakan akal. Hanya disuruh percaya saja, tanpa bisa membuktikan kebenaran dengan panca indera kita.

Padahal umumnya, ketika kita menomorsatukan akal, hal-hal yang tidak kasat mata itu jadi agak kurang bisa dipercaya. Seringkali bahkan merasa janggal dengan orang-orang yang mengaku-ngaku dengan santainya bisa mengindera hal-hal yang tidak kasat mata.

Hantu dan jin misalnya, banyak di antara orang-orang di kampus sana yang menganggap itu tidak lagi nyata. Bagi mereka, hantu hanya ada di film-film horor dan konten-konten horor di YouTube saja.

Orang Islam yang menolak tarekat dan bid’ah Hasanah juga banyak menolak mempercayai hal-hal yang tidak kasat mata. Bahkan, seringkali menganggapnya sebagai takhayul dan menolak untuk mempercayainya.

Padahal orang beragama salah satu syaratnya adalah mempercayai hal-hal ghaib. Ghaib tidak hanya tidak kasat mata, namun tidak bisa diakses oleh semua indera.

Surga dan neraka misalnya, manusia normal tidak akan bisa melihat keduanya. Kita hanya mengenal dari penjelasan dan hanya bisa membayangkannya.

Al-Qur’an sendiri dalam surat Al-Baqarah ayat 3, menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah orang dapat mengimani hal-hal ghaib. Tentu hal ghaib disini adalah hal-hal yang tidak bisa kita saksikan dengan indera kita saat ini, namun telah dijelaskan oleh hadits dan Al-Qur’an.

Tidak heran bila Abu Bakar bisa dengan spontan membenarkan peristiwa isra mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Karena Abu Bakar sendiri adalah orang yang bertakwa. []

Muhamad Isbah Habibii
Santri Alumni PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan Santri Alumni PP Sabilurrasyad Gasek Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini