Buku ini ditulis oleh Ayung Notonegoro. Seorang peneliti sejarah pesantren dan Nahdlatul Ulama, terkhusus di Banyuwangi. Ia juga merupakan founder Komunitas Pegon Banyuwangi. Karya tulisnya kerap kali dimuat di berbagai kanal media sosial. Salah satu karya buku yang ia terbitkan yaitu Manunggaling NU Ujung Timur Jawa (2021).

Seperti dalam judul di atas, Nahdlatul Ulama di Banyuwangi dahulu terdiri dari dua Cabang, yaitu Cabang Banyuwangi dan Cabang Blambangan. Namun, terbentuknya kedua cabang tersebut, bermula ketika seorang Ulama Banyuwangi bernama KH. Kgs Saleh Syamsyudin, Lateng, yang turut andil ketika Nahdlatul Ulama (NU) didirikan 31 Januari 1926 atau bertepatan pada 16 Rajab 1344 H, di Surabaya.

Selang sempat tahun kemudian tepat pada 15 Sya’ban 1348 H/16 Januari 1930 NU Cabang Banyuwangi mulai dirintis. Hal ini merupakan kelanjutan dari Nahdlatul Islamiyah yang sebelumnya telah berdiri di Banyuwangi. Selepas NU mulai aktif kembali setelah sebelumnya dibekukan di bawah kekuasaan Jepang pada tahun 1943. Hingga pada akhirnya NU Cabang Blambangan dideklarasikan di tahun berikutnya, yaitu 12 Oktober 1944.

Pembagian wilayah secara geografis NU Cabang Banyuwangi dan Blambangan terdiri dari beberapa kecamatan. NU Cabang Blambangan terletak antara kawasan (Banyuwangi sekarang) tengah sampai wilayah selatan, terdiri dari Kecamatan Purwoharjo, Srono, Pesanggaran (Bangorejo, Siliragung), Cluring (Tegaldlimo, Muncar), Genteng (Sempu), dan Gambiran (Tegalsari).

Sedangkan NU Cabang Banyuwangi didominasi kawasan Utara. Meliputi: Kecamatan Banyuwangi, Giri (Kalipuro), Kabat, Rogojampi, Singojuruh (Songgon), Wongsoreso dan Kalibaru (Glenmore). Walaupun letak Kecamatan Kalibaru berdekatan dengan Cabang Blambangan, namun karena akses transportasi kereta api menuju Cabang Banyuwangi lebih mudah, maka MWC NU Kalibaru (Glenmore) bergabung ke Cabang Banyuwangi.

Baca Juga:  Hunain Ibn Ishaq, Penerjemah Islam tapi Nasrani

Memasuki 1 Januari 1961, MWC NU Kalibaru memutuskan untuk pindah ke Cabang Blambangan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh mulai dibangunnya akses jalan raya menuju Cabang Blambangan.

Akar mula perseteruan NU Banyuwangi dan NU Blambangan bermula dari adanya gesekan politik diantara keduanya. Kala itu pasca kemerdekaan Indonesia, bersama partai lainnya, NU turut tergabung ke dalam Partai Masyumi. Namun, pada 1952 ketika diselenggarakannya Muktamar Nahdlatul Ulama ke-XIX di Palembang, NU mendeklarsikan keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik secara mandiri.

Posisi NU di Banyuwangi kala itu memiliki kekuatan besar. Terbukti bahwa banyak Kiai dijadikan pimpinan Masyumi. Ketua I waktu itu adalah Samsul Hadi, KH. Harun (Majelis Syuro). Bukti lainnya yaitu, ketika NU mendeklarasikan mandiri (politik), maka anggota Masyumi perlahan habis. Terbukti pada tahun 1955 NU menjadi pemenang pemilu di Banyuwangi.

Meskipun terdapat dua Cabang NU di Banyuwangi, namun jika dikembalikan pada ART (Anggaran Rumah Tangga) NU Bab IV Pasal 13 tentang Cabang ayat 5, ketika dalam menyatakan keputusan politik hanya diperkenankan. NU Cabang Blambangan sempat juga mengeluh ketika NU memutuskan mendirikan partai politik sendiri.

Kamudian hal ini dilaporkan kepada PBNU, lalu muncul keputusan dari PBNU untuk melakukan kepengurusan gabungan antara keduanya. Dari sini muncullah kesepakatan bahwa Cabang Banyuwangi bergerak di bidang politik, sedangkan Balambangan condong perihal kejam’iyahan. Dari sinilah pemicu awal konflik.

Faktor pemicu konflik lainnya yaitu ditandai dengan digesernya calon DPRD Cabang Blambangan oleh Cabang Banyuwangi, karena beranggapan ia lebih pantas dari hasil keputusan bersama dalam bergelut di bidang politik. Sebelumnya, NU menjalin koalisi PNI.  Namun pada akhirnya PNI berkoalisi dengan Faraksi ABRI dengan mengusung Letkol Djoko Supaat Slamet (seorang Komandan Kodim Banyuwangi) sebagai calon Bupati.

Baca Juga:  Dinamika Kepustakaan Islam

Keputusan PNI secara sepihak membuat kalangan NU kecewa. NU pun lantas berkoalisi dengan PKI. Namun, hal ini mendapat penolakan NU Caban (H. Abdul Latief Sudjak,) dan ia memutuskan untuk beralih pada golongan Djoko Supaat Slamet. Karena waktu itu jumlah SDM pengikut NU Cabang Banyuwangi dan PKI mendominasi, maka pemilihan tersebut dimenangkan oleh Suwarso Kanapi. Kemudian muncullah aksi demonstrasi besar-besaran dari kubu Djoko Supaat karena tidak terima di bawah pimpinan Djakfar Makruf dan KH. Abdul Latief Sudjak.

Waktu itu PCNU Banyuwangi di bawah pimpinan KH. Ali Mansur, sedangkan ketua Cabang NU Blambangan di bawah pimpinan KH. Abdul Latief Sudjak. Konflik tersebut memicu keluarnya empat MWC NU dari Cabang NU Banyuwangi ke Cabang Blambangan, diantaranya  NU Kabat, Rogojampi, Banyuwangi, dan Glagah (19 Desember 1964). Mendengar konflik tersebut, PBNU merekomendasikan diadakannya Konferensi Gabungan pada 14 Februari di Rogojampi. Akan tetapi hasil konferensi tersebut menambah bumbu konflik.

Konferensi itu selain dihadiri MWC NU se-Banyuwangi, juga dihadiri dan hasil keputusannya ditandatangani banom-banom NU, terdiri dari IPNU-IPPNU, PMII, GP Ansor, Fatayat, Muslimat, Lesbumim Sarbumusi, JGH, LS. Mabarot bahkan Pergunu. Namun, mendapat penolakan keras Cabang Banyuwangi, dan beberapa MWC NU.

Kemudian PWNU Jawa Timur turun tangan pada 9 Januari 1965, dengan menyelenggarakan mediasi perdana terhadap kedua kubu tersebut di Wonocolo Surabaya. Kemudian 27-28 Februari 1965, PWNU terjun ke Banyuwangi, hari pertama berkunjung ke Cabang Banyuwangi, keesokannya ketika pagi hari bertemu Cabang Blambangan, lalu siangnya bertemu keduanya.

Lanjut 1 Maret 1965, PBNU melayangkan surat kepada PWNU Jatim yang intinya menanyakan kabar Banyuwangi. 20 Maret 1965, dalam membahas tentang kondisi Banyuwangi, PWNU mengadakan rapat khusus. Lalu 21 Maret 1965, melayangkan surat kepada PBNU serta meminta menangguhkan pengesahan Pengurus NU Dati II Banyuwangi dari konferensi gabungan itu dan meminta kewenangan penuh menangani konflik tersebut.

Baca Juga:  Dinamika Kepustakaan Islam

Kemudian pada tanggal 21 Juli 1965, kedua Cabang mengadakan rapat di PP Darunnajah. Hasil rapat tersbut membentuk Mandataris upaya untuk fusi. Kemudian lanjut pada 7 Agustus 1965, Tim Mandataris menggelar rapat untuk menyelenggarakan konferensi dalam rangka penggabungan kedua Cabang.

Baru pada 8 September 1965, kedua Cabang tersebut dipertemukan oleh PWNU Jatim di Tretes, Pasuruan. Pertemuan itu memutuskan bahwa keduanya sepakat atas keputusan bersama yang ketika itu diketuai KH. Harun, sedangkan wakilnya Abdul Latief dan Ali Mansur. Pasca konferensi 14 Agustus 1965, setelah mendapati titik temu terkait mulai berbaurnya kedua Cabang tersebut, lalu disusul adanya kesepakatan bersama untuk melantik Bupati Banyuwangi, yaitu Suwarso Kanapi pada 26 Agustus 1965.

Akan tetapi selang sebulan muncul konflik G30S/PKI. Dari sini posisi Suwarso Kanapi diusik oleh konflik Gestapo karena dicurigai PKI dan akhirnya jabatannya diberhentikan pada 29 Oktober 1965. Dalam menghadapi serangan konflik Gestapo tersebut, menjadi penyebab hubungan NU Cabang Banyuwangi dan Blambangan makin begitu erat karena munculnya musuh bersama, yaitu Partai Komunis Indonesia. Bagitu pula ketika menghadapi Pemilu tahun 1871 yang kala itu NU memiliki musuh bersama yang juga kuat dari partai Golkar. Hal itu juga menjadi awal penyatuan dua cabang NU dengan sendirinya.[FJY]

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka