Ulama

Mbah Dullah dan Anakku Dullah

(Foto: arrahmah.co.id)

Bermula dari membaca buku karya Gus Mus, panggilan akrab KH Ahmad Mustofa Bisri yang berjudul “Melihat Diri Sendiri” saya mengenal mbah Dullah, sapaan akrab KH Abdullah Salam Kajen Pati. Dalam buku tersebut Gus Mus memberi judul “In memoriam: Kiai Abdullah Salam”, dan menceritakan tentang kepribadian Mbah Dullah yang membuatku sangat kagum.

Diceritakan bahwa beliau merupakan pribadi yang ikhlas, tawadhu’ dan sangat memanusiakan manusia. Beliau mempunyai hobi melayani ummat. Dan yang tidak pernah saya lupakan bahwa beliau seolah-olah telah mewakafkan dirinya untuk masyarakat. Sungguh melalui tulisan tersebut, Gus Mus telah membuatku terpikat dengan pribadi kiai keturunan ke-7 dari mbah wali Mutamakkin itu. Sejak saat itu saya memendam keinginan yang kuat untuk berziarah ke makam Mbah Dullah yang baru saya kenal itu, bahkan ingin sekali bertemu beliau meski dalam mimpi. Sampai suatu hari saya bilang ke istri saya bahwa kelak jika Allah menganugerahkan kita anak kedua laki-laki akan saya beri nama Abdullah, sebagai doa dan harapan agar kelak memiliki kepribadian seperti mbah Dullah.

Dua tahun berlalu, saya belum bisa mewujudkan keinginan saya untuk berziarah ke makam Mbah Dullah. Sampai pada suatu hari di awal tahun 2016 saya mendengar kabar bahwa putra pertama almarhum walmaghfurlah kiai kami, murobbirruhi kami akan melangsungkan pernikahan, dan berdasar informasi dari kawan santri, bahwa calon istri Putra kiai kami berasal dari Kajen Pati dan merupakan putri kiai dari salah satu Pondok pesantren di Kajen.

Saya sama sekali tidak mengetahui Pondok pesantren apa dan yang mana, karena selain belum mengenal sama sekali daerah Pati, konon di Kajen ada puluhan pondok pesantren. Mendengar kabar itu, sebagai wujud khidmah dan hurmat saya sebagai alumni sebenarnya saya lebih ikhlas menyebut diri saya sebagai santri, saya langsung mendaftarkan diri untuk ikut “iring-iring” ke Pati bersama kawan-kawan santri.

Baca Juga:  Mengapa Ulama Nusantara tidak Menghendaki Fikih sebagai Hukum Positif Negara?

Dan tibalah hari yang ditunggu itu. Kami seluruh santri berangkat menggunakan dua bus yang telah disediakan pihak ndalem. Sedangkan keluarga ndalem berangkat menggunakan mobil-mobil ndalem. Kami semua berangkat dari halaman pondok sekitar pukul 02.00 dini hari. Bus melaju cukup kencang, karena jalanan memang relatif sepi. Sampai masuk waktu subuh bus berhenti di halaman masjid di daerah Bojonegoro. Kami semua turun dan merebahkan badan sejenak untuk istirahat sebelum sholat subuh. Selesai sholat subuh, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Sampai menjelang dhuha, tiba-tiba bus berhenti di depan pemakaman umum di daerah Padangan yang masih masuk wilayah Bojonegoro. Semua rombongan turun dari bus, dan berjalan menuju pemakaman. Kemudian semuanya duduk mengelilingi sebuah makam yang pada batu nisannya tertulis nama Kiai Mukmin. Terus terang baru pertama kali saya ziarah ke makam beliau ini.

Kiai Mukmin adalah abah dari Kiai kami, KH Zainuddin bin Mukmin yang kira-kira sekurun dengan KH Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama’ itu. Kiai Zainuddin ini sangat terkenal kewaliannya pada massa itu. Konon banyak santri beliau yang juga menjadi wali. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk ziarah ke makam Kiai Mukmin ini, semoga Alloh berkenan mencatat kami semua sebagai golongan orang yang cinta kepada orang-orang sholih.

Selepas ziarah rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan kami lihat kanan kiri jarang sekali ada warung makan, mengingat perut sudah mulai lapar. Sepanjang jalan yang kami lihat hanya warung kelontong di kampung-kampung yang ada di antara hutan-hutan jati yang gersang. Hingga menjelang siang bus berhenti di depan masjid di daerah Blora. Sebagian rombongan langsung menuju toilet masjid yang sedang sepi itu. Sebagian lain, termasuk saya menyerbu warung kelontong yang tepat berada di seberang masjid. Kami membeli air mineral dan beberapa bungkus roti sekedar untuk mengganjal perut.

Baca Juga:  Antara Mengajar dan Menarbiyah

Bus kembali melaju, selang beberapa jam, rombongan memasuki kota Pati. Kotanya panas dan kering. Selain karena memang telah masuk waktu siang, kota Pati memang terletak di pesisir pantai utara yang panas itu. Masuk waktu dhuhur, rombongan sampai di tempat tujuan dan berhenti di pinggir jalan, seingatku tepat di depan Rumah Sakit Islam Pati. Kami semua turun. Saya langsung melihat kanan kiri. Saya lihat di seberang jalan, di depan RSI Pati ada gang masuk yang ada papan nama sebuah Pondok Pesantren. Saya baca papan nama itu dan tertulis “Pondok Pesantren Maslakul Huda” Kajen, Mergoyoso, Pati.

Dalam batin saya berkata,
“Bukankah ini Pondok miliknya KH Sahal Mahfudz, ulama’ yang sangat alim dan rois ‘am NU itu?”

“Bukankah kiai Sahal mahfudz itu keponakannya mbah Dullah?”.
Kemudian pikiran saya mulai menerka-nerka.

“Jangan-jangan besan kiai saya ini masih famili dengan Mbah Dullah?”

Benar saja, sesaat kemudian, rombongan langsung berjalan menuju gang masuk itu. Setelah sampai di ujung gang, kami dapati pertigaan. Saya lihat ke arah kiri terdapat bangunan berlantai tiga yang di temboknya tertulis PP Maslakul Huda. Kami semua rombongan di arahkan ke kanan. Setelah berjalan beberapa langkah, kami semua disambut di sebuah masjid yang di belakangnya ada sebuah makam. Seingat saya, di pintu masuk makam itu tidak tertulis papan nama atau apapun.

Kami, seluruh rombongan dijamu oleh tuan rumah di dalam masjid dengan jamuan yang istimewa. Kami makan dan minum dengan begitu lahap, karena sudah sangat lapar, alhamdulillaaah. Setelah perut kenyang, kami mengambil air wudlu, kemudian sholat dhuhur dan ashar dengan jama’ taqdim. Selesai sholat, saya langsung berjalan menuju makam di belakang masjid. Setelah masuk makam, saya kaget, ternyata di situ tertulis “Makam KH Abdullah Salam”.

Baca Juga:  Prinsip Belajar Kiai Ma’ruf: Belajarlah di Kudus!

Dalam hati saya bersyukur,
“Alhamdulillaaah…akhirnya Allah mengabulkan keinginan saya untuk ziarah ke makam mbah Dullah”.

Selesai ziarah, saya dan seluruh rombongan langsung mengikuti acara resepsi yang dihadiri banyak kiai itu. Selain masyayikh Kajen, hadir juga KH Ulin Nuha Arwani (putra menantu dari Mbah Dullah) beserta adiknya KH Ulil Albab Arwani. Keduanya putra dari KH Arwani Amin, sang maestro Qur’an dari Kudus itu. Hadir juga masyayikh dari Langitan, Tuban. Kesempatan baik ini tentu tidak kami sia-siakan begitu saja. Selesai resepsi kami semua langsung berebut salim kepada beliau-beliaunya.

Benar saja, belakangan baru saya ketahui bahwa menantu Kiai kami itu merupakan cucu dari Mbah Dullah, putri dari K.H. Ma’mun Muzayyin alm. dan Bu Nyai Hanifah. Tak lupa kami ikut mendo’akan, mudah-mudahan kedua mempelai Gus dan Ning itu dapat membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, dan mampu melanjutkan perjuangan mulia dari leluhur-leluhurnya. Aamiiin…

Satu tahun berlalu, alhamdulillaah, tepat tanggal 9 Maret 2017, kami (saya dan istri) dikaruniai anak ke-2 laki-laki. Tanpa berpikir panjang, kami langsung memberinya nama Abdullah, lengkapnya “Abdullah Ahmad Al faqih”, dengan harapan, semoga kelak anak kami ini memiliki kepribadian seperti mbah Dullah. Aamiiin…

“Berbahagialah Lee…!
Ibu bapakmu telah memberikanmu nama dari nama Mbah wali Kajen itu, sebagaimana masmu yang namanya diambilkan dari nama Dokter NU itu. Mudah-mudahan Allah selalu memberikanmu kemudahan untuk meniru akhlaq beliau-beliau.
Robbanaa hablanaa minashshoolihiin…”

Ahmad Hanapi
Alumni PP Mojosari Nganjuk, PP Al-munawwir Krapyak Yogyakarta, Pernah Menempuh Pendidikan di UII Yogyakarta, dan UGM Yogyakarta. Saat ini bermukim di Kota Malang.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama