Hidup Tenang dengan Pendekatan Keyakinan

Hidup seringkali tak seindah yang dibayangkan. Kepahitan dan kegetiran kadang menghampiri hidup kita tanpa terduga. Bagi yang yakin (beriman), hidup ini terasa nyaman dan menyenangkan. Namun sebaliknya, terkadang terlintas bahwa aktivitas sehari-hari pun sepertinya juga itu-itu saja. Pagi bangun, berangkat kerja. Menjelang malam, pulang. Kemudian tidur. Besoknya kembali seperti itu juga.

Ya inilah hidup. Yang ada hanya pergantian waktu ke waktu. Yang kita temui hanyalah sekadar ujian sebagai tantangan hidup, untuk kita kelola, agar sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Karena itu kita tak perlu panik ketika menghadapi masalah. Lha, hidup kata orang-orang tua dulu, hanya sekadar mampir ngombe (transit minum).

Sebagaimana nasihat ilmuwan muslim ahli kedokteran modern, Ibnu Sina, yang dikutip rmco.id (9/4/2020), bahwa “kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat. Kesabaran adalah awal dari kesembuhan.”

Kita harus yakin, bahwa semua yang terpampang di plataran bumi ini sudah di atur oleh Allah Swt. Sudah final. Walau demikian, Allah Swt dan Rasulullah Saw bersifat sangat demokratis. Memberikan peluang sebesar-besarnya kepada manusia untuk berfikir, bersikap dan bertindak. Aturan main yang telah dikehendaki-Nya sudah terpahat jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Tinggal kearifan kita saja, mau menggunakan atau tidak.

Kita mestinya bersyukur, dunia dengan segala isinya atau kenikmatan yang tak bertepi ini disediakan hanya untuk manusia. Namun demikian, semua ada batas akhirnya. Karena hidup ini proses yang terus-menerus hingga menuju batas akhir.  Usia manusia ada batas akhirnya. Bahkan dunia tempat kita berpijakpun ada batas akhirnya.

Karenanya, tidak perlu berlebihan ketika menyikapi berbagai fenomena yang terjadi di dunia ini. Biasa-biasa saja. Apalagi sampai mencari siapa “kambing hitam”nya, juga tidak perlu. Semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak-Nya.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan (yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. al-Hadid: 22-23).

Ayat di atas, menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, bahwa “sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang berputus asa akibat tidak dapat meraih hal-hal yang disukai atau diinginkannya. Allah juga tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri atas kesuksesannya.” Karena kesuksesan seseorang juga atas kehendak-Nya. Semua itu titipan Allah. Milik Allah dan akan kembali kepada Allah.

Pendekatan Keyakinan

Seperti saat ini, terjadi wabah Corona, di mana penduduk bumi dibuat resah, gelisah dan sibuk. Sibuk menciptakan obat anti Corona. Sibuk mencari strategi bagaimana mencegahnya. Dan yang lebih tragis, adalah ada yang sibuk mencela, mencaci, menyalahkan satu sama lain.

Bagi seorang muslim, harus yakin, jika wabah Corona ini atas kehendak-Nya. Dibalik wabah Corona pasti ada pelajaran atau hikmah berharga bagi manusia. Dan itu hanya Allah Yang Maha Tahu. Sementara manusia hanya bisa menghubung-hubungkan saja. Tapi itupun tidak salah, karena Allah anugerahi akal fikiran kepada manusia untuk memikirkan ayat-ayat Allah baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Salah satu hikmah adanya wabah Corona adalah memberikan peringatan kepada setiap diri manusia agar selalu meng-update keimanan (keyakinannya). Bahwa, kita bukanlah siapa-siapa. Kita hanya mahluk lemah, ringkih gak punya daya sedikitpun tanpa pertolongan-Nya. termasuk mendirikan salat, yang jelas-jelas perintah wajib setiap hamba. Itupun ketika dipanggil muadzin mendirikan salat, jawabannya adalah Laa haula walaa quwwata illaa billaa (tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Nah, dengan pendekatan yakin, bahwa semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak Allah. Maka kita harus terus mengasah hati untuk senantiasa memunculkan positif thinking kepada Allah, terutama musibah atau ujian dari-Nya, tidak lain adalah agar manusia menyadari akan kelemahannya atas semua yang ia usahakan. Yang ia miliki supaya disyukuri, bukan untuk dipertontonkan atau disombongkan.

Dan manusia diharapkan tidak pernah lelah berusaha dan belajar. Karena keduanya adalah perintah dan berpahala selama dilaksanakan dengan semata berharap ridha Allah.

Jangan pernah sesali perbuatan baik yang pernah kita lakukan, meskipun kadang kita diperlakukan tidak baik.

Jangan pernah sesali harta yang kita sedekahkan, meskipun terasa sempit rezeki yang kita peroleh saat ini. Bisa jadi Allah berikan rezeki itu kepada anak cucu kita.

Jangan pernah sesali pertolongan yang pernah kita lakukan, walaupun kita tak dihargai dan dilupakan. Cukup kepada Allah, berharap balasan atas semua kebaikan.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Mulai detik ini, mari berupaya untuk jadikan Allah sebagai kekasih yang selalu kita rindukan. Tempat bersandar ketika fikiran dan hati ini lelah. Tempat mengadu berbagai problematika kehidupan. Dan berharap kembali kepada-Nya dengan husnul khatimah. Karena sesungguhnya hidup hanya menunggu giliran jemputan maut. [HW]

Siti Munawaroh
Mahasiswi S2 Pascasarjana UINSA Surabaya, Guru MI Narrative Quran & MI Thoriqul Ulum Lamongan.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini