Ikhwan Al-Shafa’ atau dikenal dengan “persaudaraan suci” merupakan nama kelompok pemikir islam yang pergerakannya secara rahasia. Kelompok dan para anggotanya merahasiakan diri dan aktivitas mereka, sehingga identitas dari kelompok ini tidak jelas. Kelompok ini berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir ditengah-tengah masyarakat Sunni yang eksis pada abad ke-4/10 M (373 H/983 M) di Basrah.
Nama Ikhwan Al-Shafa’ diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita kalilat wa Dumnat yang diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa’. Penamaan khulan al-wafa’, ahl al-Adl dan Abna’ al-Hamd kepada kelompok ini untuk menjaga kerahasiaannya. Keberadaannya baru terungkap setelah kekuasaan Dinasti Buwaihi berpaham syiah di Bagdad pada tahun 983 M. Kerahasiannya kemungkinan dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah karena basis pergerakannya berada ditengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya.
Kelompok ini yang tentu tidak sejalan dengan kelompok Sunni yang menganggap filsafat bukan “anak kandung” peradaban Islam dan juga refleksi radikal sebagai ciri filsafat, alih-alih sangat dikhawatirkan oleh ulama sunni karena dianggap bisa mengguncang iman. Kondisi inilah yang membuat Kelompok Ikhwan Al-Shafa’ pergerakannya dipengaruhi oleh faham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran Syiah. Kendati identitasnya tidak jelas itu hanya sebagai upaya menyelamatkan diri, baik dari pihak yang mencurigai dan memusihi filsafat, ataupun dari pihak penguasa yang menyadari kecenderungan politik kelompok ini ketika menampakkan diri.
Kelompok Ikhwan al-Shafa ini berawal dari pertemuan kemudian menyusun organisasi yang pergerakannya secara tertutup. Diantaranya adalah Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dalam sebutan Al-Muqoddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah, Ahmad Ibnu Abd Allah dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjani. Tokoh-tokoh ini menyusun Rasail Ikhwan al-Shafa yang akan bergerak untuk mengubah pemikiran yang cenderung tradisional. Alih-alih bergerak, karna agama sudah dinodai dengan faham yang sudah tak sesuai dengan syariat yang akan dituntun kembali dengan jalan Filsafat.
Dalam hal ajaran filsafatnya, Ikhwan al-Shafa’ memiliki tiga taraf. Pertama taraf permulaan (mencintai Pengetahuan). Kedua taraf pertengahan (mengetahui hakikat manusia dari segala yang ada). Ketiga taraf akhir (berbicara dan beramal sesuai dengan ilmu pengetahuan). Ikhwan Al-Shafa’ berusaha merekonsiliasi agama dengan filsafat dan juga agama dengan agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah di kotori dengan berbagai macam kejahilan dan dilumuri dengan berbagai macam kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
Usaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat sebenarnya telah dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosofi Muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam al-Qur’an. Sementara Ikhwan al-Shafa’ melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama. Karenanya, rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan keyakinan yang ada itu, dipertemukan dan disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab, maka akan menghasilkan formlasi-formulasi yang lebih sempurna.
Kesan bahwa kelompok ini menempatkan filsafat diatas agama, sebenarnya bukan maksud seperti itu, Ikhwan al-Shafa’ hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Tentunya, kesimpulan ini didukung dengan pernyataan mereka dalam bidang agama. Menurutnya ungkapan Al-Qur’an yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkat nalar orang Arab Badui. Bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, mereka harus memakai takwil dan melepaskan diri dari pengertian-pengertian indrawi.
Sebenarnya pendapat mereka untuk mempergunakan ta’wil dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabihat merupakan pendapat yang sama dikalangan para filsuf. Menurut filsuf, agama adalah tempat melambangkan secara indrawi (antsal wa rumuz) agar bisa dipahami oleh orang awam yang juga menjadi bagian terbesar umat Islam. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak karena tidak memahami isinya. Sebaliknya, kaum filsuf harus mengambil makna metaforis terhadap teks Al-Quran yang bernada antromorfisme. Jika tidak, tentu ajaran agama akan ada yang ditolak karena tidak masuk akal.
At-tawfiq (rekonsiliasi) mereka lakukan dengan cara mengambil ajaran-ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka memahami ajaran agama secara rasional. Filsafat, menurut mereka, diawali dengan mencintai ilmu pengetahuan, kemudian dengan filsafat juga mememahami hakikat segala sesuatu, dan diakhiri dengan beramal sesuai dengan pengetahuan. Menurut Ikhwan al-Shafa’ ada kesamaan antara filsafat dan agama yaitu dalam hal tujuan. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar dan akhlak yang mulia. Agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Keduanya sama mengarah untuk menjadikan seseorang yang baik untuk bisa mencapai sebuah kebahagiaan dan pada akhirnya bisa dengan mudah untuk mendekatkan diri kepada tuhan.
Untuk itulah Ikhwan al-Shafa’ berusaha dengan gigih memadukan antar agama dan filsafat, dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni atau pemikirannya masih dalam bentuk teori yang tidak bisa dijangkau secara aktif-praktis. Dengan hal itu, harus dimunculkan satu tingkat kepercayaan yang menengahi kepercayaan yang telah ada, yaitu tingkat kepercayaan yang cocok untuk keduannya (orang-orang pilihan dan awam). Hal ini berakar pada akal, ditopang oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari kebenaran.
Mereka juga melakukan pemaduan antara agama-agama yang ada, seperti Islam, kristen, majuzi, yahudi, dan lainnya. Menurut mereka tujuan pertamanya itu sama untuk mendekatkan diri kepada Allah, atas dasar ini mereka menghimpun, menyusun dan memadukan semua agama menjadi satu agama khusus yang dasarnya adalah asas filsafat yang berakar pada akal dan disempurnakan oleh kitab suci. Inilah yang akan menjadi benteng dalam negara baru yang mereka impikan. Karena perpaduan antara agama-agama yang dibuat dalam satu agama khusus, akan menghasilkan formula bagi kehidupan.
Usaha al-tawfiq diatas akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab dan akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (elektrik), yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti pemikiran persia, yunani, dan semua agama. Elektik yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber manapun yang mereka nilai benar dan baik, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena hal inilah mereka tetap mengagungkan agama islam sebagai agama dan ajaran yang terbaik. []