300 Kata dalam Al-Quran yang Terkadang Salah Dipahami

Ini bukan tentang Saifuddin Ibrahim al-ghauri yang minta 300 Ayat Al-Qur’an untuk dihapus. Menurutnya, 300 Ayat itu sumber kekerasan dan terorisme, pemicu radikal dan intoleran. Ia sebenarnya tidak paham Al-Qur’an, walau pernah ngaji dan mengkaji tapi mungkin hanya sekilas info. Tidak beneran ngajinya. Atau ngajinya asal-asalan. Al-Qur’an itu tidak bisa hanya sehari dua hari untuk dipahami. Tidak cukup satu dua tahun untuk dikaji. Butuh waktu panjang, panjang sekali. Tidak hanya panjang waktunya, tetapi butuh kesungguhan dalam mengkajinya.

Dan tidak cukup satu ilmu untuk memahaminya, butuh banyak ilmu. Toh kalau ada terjemahan hari ini, itu bukan hanya karena tahu arti kata bahasa Arabnya saja, tetapi butuh kitab tafsir. Dan mereka pun tidak langsung merujuk pada Al-Qur’an, tetapi masih membaca nanyak tafsir-tafsir Al-Qur’an, seperti tafsir al-Tabari, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, tafsir al-Baghawi dan kitab tafsir lainnya. Belum lagi tafsir yang Al-Qur’an yang lebih menitik beratkan kepada balaghah dan lughahnya, kosa kata, dan lainnya. Belum lagi jenis atau macam-macam tafsirnya, bil ma’tsur, bilra’i, bil isyarah, dan lainnya. Buanyak sekali.

Itu baru menerjemah lo, belum menjadi mufassir. Menjadi mufassir berat, berat sekali. Mungkin kalau diukur dengan fisik, lebih berat dari memikul gunung. Bisa dibayangkan, ia harus alim dalam ilmu nahwu, ilmu sharraf, ilmu lughah, ilmu etimologi Arab, ilmu balaghah dengan muatannya, ilmu usuluddin, ilmu qira’ah, ilmu nasikh mansukh, ilmu ushul fiqih, ilmu hadis, asbab nuzul dan masih buuuuanyak lagi.

Belum lagi adabnya, punya sikap jujur, lapang dada, berakhlak baik dan sifat-sifat yang baik lainnya. Ini tidak sembarang orang. Mau percaya sama Saifuddin atau Saifudain? Lewat. Ia qira’ah saja mungkin belum paham, hadisnya beberapa kali didengar belepotan, dan aduh ngeri. Eh, minta untuk menghapus 300 Ayat. Toh, kalau ada Ayat tentang jihad, itu bukan tentang kekerasan bro, tetapi terkadang untuk menahan, melawan dan bergerak untuk kemaslahatan. Dikira orang punya celurit untuk membunuh orang, bukan bro. Punya clurit untuk cari rumput, memotong pisang untuk makan, gitu lo. Di dalamnya ada surga, ia juga ada neraka. Masak surga saja? Bagaimana pak saifuddin membangun logika?

Baca Juga:  Al Quran dan Pendidikan

Kebanyakan hari ini, bukanlah mufassir tapi pembaca tafsir, dan itu sudah luar biasa lo membaca tafsir. (Walau peluang untuk menjadi mufassir masih terus terbuka lebar). Karena ilmu Allah itu tidak dibatasi waktu dan tempat tinggal, ia diberikan kepada yang dikehendaki, dan juga bagi orang yang juhd wal ijtihad dalam mencarinya.

Kok jadi ngelantur ke bro Saifuddin Ibrahim sih. Inni shaimun.

Tayyib. Ini tentang kitab Tsalasa Mi’ah Kalimah Qur’aniyah qat Tufham Khathoan karya Abdul Majid bin Ibrahim Al-Sanid. 300 kata dalam Al-Qur’an yang terkadang keliru dipahami.

Al-Qur’an memang hadir bukan hanya untuk dibaca (dalam artian dibaca dengan bersuara saja), tetapi juga ditadabburi, dan untuk mentadabburi harus memahami kosa kata (mufradat, lafal) di dalamnya. Dan kosa kata dalam Al-Qur’an tidak semuanya dapat dipahami begitu saja, apalagi hanya mengambil kamus sederhana. Tidak cukup. Maka, butuh pendamping-pemdamping lainnya di antaranya adalah kitab tafsir. Dan kitab ini, menjelaskan kosa kata yang terkadang salah diipahami. Terdapat 300 kosa kata yang dibahas oleh muallif.

Beberapa contoh dalam kitab tersebut adalah; kata dhanna (ظن), kalau di dalam kamus kita akan mendapati arti “menyangka”, dan mungkin kalau kita baca Ayat ini, akan kita artikan dengan mereka “menyangka” atau “menduka”

{ ٱلَّذِینَ یَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَـٰقُوا۟ رَبِّهِمۡ وَأَنَّهُمۡ إِلَیۡهِ رَ ٰ⁠جِعُونَ }

(Surat Al-Baqarah: 46)
Ternyata artinya bukan menyangka, tetapi “meyakini” (يتيقنون).

Contoh lainnya kata Yastahyu (يستحيون), mungkin kita artikan malu atau mempermalukan. Tetapi dalam Ayat, tidak diartikan demikian, tetapi bermakna meninggalkan, membiarkan (يتركون).

وَیَسۡتَحۡیُونَ نِسَاۤءَكُمۡۚ

Artinya, “mereka membiarkan anak-anak perempuanmu”.

Ada juga kata Qoryah (قرية), yang mungkin kita artikan desa. Desa adalah bagian dari kota. Tetapi, dalam Ayat ini, menurut Abdul Majid, bukan kota kecil (atau desa yang sering kita pahami), tetapi qaryah adalah negeri (tidak ada bedanya, besar atau kecil).

Baca Juga:  Mengenal Aisyah Abd al-Rahman: Ilmuwan Islam sekaligus Sastrawati yang Produktif

وَإِذۡ قُلۡنَا ٱدۡخُلُوا۟ هَـٰذِهِ ٱلۡقَرۡیَةَ

[Surat Al-Baqarah: 58].

Saya masih contoh lagi, yang ada dalam kitab tersebut, yaitu kata Sujjada (سجدا), sekilas langsung akan kita artikan dengan sujud, yaitu meletakkan kepala di atas sajadah atau tanah dengan menempelkan dahi. Ternyata artinya bukan sujud, tetapi ruku’.

وَٱدۡخُلُوا۟ ٱلۡبَابَ سُجَّدࣰا

Artinya, “Masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk”.

Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang menarik untuk dikaji.

Al-Qur’an sangat kaya dengan kosa kata, dipenuhi berbagai makna, dan untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan mereka-reka, butuh keseriusan dalam mengkajinya. Dan Alhamdulillah, ulama-ulama kita sudah menyuguhkan kitab al-Qur’an terjemahan yang dapat menjadi obat bagi yang tidak atau belum memahami bahasa Arab. Atau juga dapat menjadi pembanding bagi yang sudah belajar bahasa Arab. Al-Qur’an itu samudera, tidak cukup dalam hidupnya yang berumur sampai 60 tahun atau lebih untuk menyelamnya atau berkeliling dengan bahteranya di samudera itu. []

Allahu’alam Bishawab.

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka