Ikatlah Ilmu dengan Buku

Setiap orang memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu. Ilmu merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia, karena melalui ilmu dapat menuntun mereka agar senantiasa berada di jalan yang benar. Berdasarkan kewajibannya, Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam, yaitu ilmu yang wajib ‘ain dan wajib kifayah. Ilmu wajib ‘ain (fardhu ‘ain) adalah ilmu yang wajib dicari oleh setiap muslim yang sudah baligh, yaitu ilmu dhoruri (ilmu agama yang pokok).

Adapun ilmu pokok yang dimaksud dalam kitab Mukhtasar Abdullah Al-Harari yang merupakan ringkasan dari kitab sulam at-taufiq bi mahabbatillahi ‘ala tahqiiq karangan Syekh Abdullah bin Husain bin Thohir, ilmu pokok tersebut adalah ilmu tauhid, fiqih yang di dalamnya mencakup thaharah sampai haji, hukum-hukum mu’amalah menurut Imam Syafi’i, kemudian maksiat hati anggota badan yang di dalamnya juga mencakup taubat. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah (fardhu kifayah) adalah ilmu yang wajib dicari oleh sebagian muslim, apabila sudah ada yang mempelajari ilmu wajib kifayah tersebut, maka gugur kewajiban muslim yang lain. Contohnya yaitu ilmu kedokteran, ilmu astronomi, dan lain-lain. Dalam menuntut ilmu tidak cukup hanya didengarkan, tetapi harus ditulis supaya ilmu yang didapatkan tidak hilang dan bisa memuraja’ah kembali.

Dari penjelasan di atas, istilah ikatlah ilmu dengan kitab dapat dipahami bahwa ilmu harus ditulis dalam buku supaya ilmu tersebut tidak hilang, karena ilmu diibaratkan seperti binatang buruan di mana binatang buruan yang sudah didapatkan harus diikat dengan tali yang kuat. Seperti perkataan Imam Syafi’i :

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

Ilmu itu seperti binatang buruan dan tulisan adalah ikatannya, maka  ikatlah hasil binatang buruan dengan ikatan yang kuat“.

Baca Juga:  Ilmu Perbandingan Agama (IV): Perkembangan dalam Dunia Islam dan Indonesia

Di era digital seperti sekarang ini, menulis tidak hanya sekedar di buku saja tetapi dapat juga menulis melalui ponsel, laptop, tablet, dan lain-lain. Selain itu, kini sudah banyak aplikasi catatan yang bisa digunakan untuk menulis sehingga memudahkan penggunanya dalam menulis di mana pun dan kapan pun. Dalam menghadiri sebuah kajian, hendaklah menulis atau mencatat apa yang disampaikan oleh ustadz atau kyai supaya tidak lupa akan ilmu yang sudah didapatkan. Jika kajian rutin dalam sebuah pondok pesantren, seseorang bisa mencatat ilmu dalam bukunya. Berbeda dengan kajian di luar pondok pesantren, terkadang orang yang menghadiri kajian tersebut tidak membawa buku, hal ini bisa dikarenakan buku umumnya memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan ponsel. Oleh karena itu, dengan adanya ponsel dapat digunakan sebagai catatan karena ukurannya yang simpel dan mudah dibawa kemana pun, sehingga tidak menghalangi seseorang untuk mencatat ilmu yang disampaikan.

Kebanyakan orang jika mendengar sesuatu pada hari ini lalu mereka menghafalnya tanpa ditulis, biasanya hari esok, beberapa minggu, satu bulan, atau bahkan beberapa menit kemudian akan lupa. Adapun orang-orang yang mendengar sesuatu lalu dihafalkan dan hafalannya lengket di kepalanya itu sedikit. Karena keadaan tersebut, Sayyidina Umar bin Khattab berkata:

 قَيِّدُوا العِلمَ بِالكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan kitab“.

Ilmu yang didengar dan dicatat jangan berhenti hanya pada catatan, tetapi juga dimuraja’ah. Muraja’ah adalah mengulang kembali pelajaran yang sudah pernah dibahas. Agar catatan tersebut bisa valid atau dapat dipertanggungjawabkan, maka hendaknya di takhrir atau dikoreksi oleh guru atau ustadz yang telah menyampaikan ilmunya sehingga catatannya benar.

Kegiatan mencatat atau menulis juga merupakan salah satu kegiatan penting yang pasti sangat dibutuhkan oleh banyak orang. Tidak hanya menghadiri sebuah kajian, dalam pekerjaan pun juga dibutuhkan adanya catatan untuk mengarsipkan semua data-data yang berhubungan dengan suatu instansi. Namun, tak sedikit orang yang meremehkan kegiatan menulis. Padahal dalam kenyataannya, menulis adalah hal yang sangat penting terutama dalam menuntut ilmu. Orang yang sudah dianugerahi otak yang cerdas masih menulis apa yang disampaikan oleh gurunya di dalam buku, seperti para ulama’ yang tidak hanya menghafal tetapi juga selalu mencatat dan memuraja’ah pelajarannya.

Baca Juga:  Hubungan Tradisi Keilmuan Pesantren NU di Indonesia dan Al-Azhar Mesir

Ilmu yang dicatat dalam buku akan terus tersimpan jika dirawat dengan baik, karena sebaik-baik catatan adalah yang ditulis di dalam buku. Kita sebagai generasi muda hendaklah meniru seperti apa yang dilakukan oleh para ulama’   guru-guru kita untuk senantiasa mendengarkan, mencatat, dan memuraja’ah pelajaran yang sudah diberikan oleh guru atau ustadz yang sanadnya tersambung hingga Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, sehingga kita semua bisa menjaga diri dan selalu berada di jalan yang benar. []

Sumber:

Kitab Mukhtasar Abdullah Al-Harari Al-kafila bi ‘Ilmi Ad-din Adh-Dharuri ‘ala madzhabi Al-Imam Asy-Syafi’i  karangan Syekh Abdullah Al-Harari

Kajian kitab ِ الثَمَرَاتُ الهَرَرِيةُ فى بيان الأخلاقِ الاسلامية  oleh Kyai Mastur, S.Ag., M.Pd.

Fitrotin Nada Aimatin F
Mahasiswi S1 di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember

    Rekomendasi

    Aset Anda
    Hikmah

    Aset Anda

    Selain anugerah umur dan waktu yang sangat berharga dan bahkan tak ternilai, anugerah ...
    Berita

    Doa Awal Tahun

    Pesantren.id-Seorang teman meminta aku do’a awal tahun baru. Ini yang bisa aku tulis: ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini