Program Bimbingan Perkawinan yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama (KUA) di banyak daerah Nusantara kini kerap dihiasi “Tepuk Sakinah”: seruan kompak “berpasangan-berpasangan… dan seterusnya!” disertai tepukan berirama. Di mata sebagian masyarakat apalagi Gen Z sekarang, itu sekadar pemecah kebekuan tapia ada juga yang masih kaku sehingga malu untuk melakukan. Tetapi bagi santri yang sehari-hari belajar makna sakinah dalam kitab kuning ritual kecil ini memunculkan tafsir yang lebih kaya.
Santri mengenal sakinah dari sumber primer: Al-Qur’an (QS. Ar-Rum: 21) dan syarah para ulama yang menekankan ketenteraman rumah tangga lahir dari iman, adab, dan mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik). Ketika mereka menyaksikan petugas KUA memandu “Tepuk Sakinah”, spontan muncul rasa gembira karena nilai luhur pernikahan dikomunikasikan dengan cara meriah dan membumi.
Dalam tradisi pesantren, penyampaian ilmu tak harus kaku. Ada sholawat banjari, hadrah, bahkan tepuk semangat di kelas madrasah sambil melantunkan nazam Alfiyah dan Imriti dengan tabuhan ember dan alat yang sederhana lainnya. Jadi, kreativitas KUA ini bukan hal asing. Santri melihatnya sebagai strategi dakwah bil hikmah menyisipkan pesan keilmuan ke dalam format yang akrab di telinga generasi muda, mirip metode kiai tempo dulu yang menabuh rebana untuk menarik jamaah.
Namun, kacamata santri juga kritis. Mereka diajari oleh kiai bahwa makna sakinah tidak boleh direduksi menjadi slogan atau sekadar seruan “barakallah” yang berakhir di ruang aula. Tepuk yang riang harus menjadi pintu menuju kesadaran: pernikahan menuntut kesungguhan ibadah, bukan hanya euforia seremonial. Jika peserta hanya menirukan tepukan tanpa memahami ayat dan tujuan syariatnya maka inti sakinah bisa hilang di balik gemuruh tangan.
Dapat dipandang Tepuk Sakinah sebagai jembatan dakwah yang efektif asalkan diiringi muatan ilmu. Setelah tepukan, hendaknya ada kajian singkat tentang hak dan kewajiban suami istri, tanggung jawab spiritual, dan cara membangun rumah tangga yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, tepukan menjadi semacam fathul bab (pembuka pintu) menuju kesadaran sakinah yang sejati.
Pada akhirnya, santri menghargai inisiatif KUA. Mereka melihatnya sebagai upaya menegaskan bahwa pernikahan bukan hanya akad hukum, tapi peristiwa sakral yang layak disambut gembira. Tepuk Sakinah memberi warna kegembiraan, sementara santri mengingatkan bahwa kegembiraan itu harus berpijak pada ilmu, adab, dan kesungguhan ibadah. Ketukan tangan menjadi pengingat: rumah tangga sakinah lahir dari irama zikir, bukan sekadar yel-yel seremonial.