Press ESC to close

Ketika Dinding Pesantren Runtuh, Apa yang Sebenarnya Roboh?

Bangunan mushala Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, ambruk pada Senin sore, 29 September 2025, ketika ratusan santri tengah menunaikan salat Asar. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tiang pondasi tak mampu menahan beban pengecoran lantai empat. Puluhan santri luka-luka, beberapa meninggal, dan puluhan lainnya sempat tertimbun reruntuhan.

Tragedi ini bukan hanya musibah satu pesantren. Ia adalah duka kolektif dunia pesantren di Indonesia, sekaligus cermin keras atas kondisi riil banyak pondok: berdiri dengan keterbatasan sarana prasarana, namun harus menanggung beban besar sebagai benteng pendidikan agama bangsa.

Swadaya yang Penuh Keterbatasan

Pesantren tumbuh dari rahim masyarakat, lahir dengan prinsip swadaya. Banyak bangunan didirikan dari hasil wakaf, gotong royong jamaah, tenaga tukang yang mendermakan waktu, dan sumbangan donatur. Hasilnya, berdirilah ruang belajar, mushala, atau asrama yang cukup digunakan, tetapi sering jauh dari standar teknis konstruksi.

Masalah muncul ketika gedung-gedung itu menua. Banyak yang berusia puluhan tahun tetap dipakai tanpa perawatan berarti. Retakan dibiarkan, pondasi melemah, atap bocor, karena biaya perbaikan terlalu tinggi. Renovasi menyeluruh nyaris mustahil, sementara santri terus bertambah. Maka, ambruknya bangunan di Sidoarjo adalah konsekuensi dari akumulasi keterbatasan yang tak kunjung diatasi.

Pesantren: Pilar yang Terabaikan

Data Kementerian Agama mencatat, ada lebih dari 37 ribu pesantren di Indonesia dengan jumlah santri mencapai 5 juta orang. Angka itu menunjukkan betapa pesantren bukan lembaga pinggiran, melainkan salah satu pilar utama pendidikan nasional. Sejarah juga mengingatkan, pesantren sudah eksis jauh sebelum republik ini berdiri, menjadi pusat transmisi ilmu agama, motor perlawanan kolonial, sekaligus penggerak kebangsaan.

Ironisnya, lembaga sebesar ini justru masih harus berjuang dengan fasilitas seadanya. Pesantren dituntut mencetak generasi berilmu dan berakhlak, tetapi negara belum sepenuhnya menjamin aspek paling mendasar: keselamatan fisik tempat para santri menimba ilmu.

Negara Lebih Suka Membangun daripada Merawat

Pemerintah memang hadir dengan sejumlah program. Kementerian PUPR, misalnya, pada 2024 mengalokasikan Rp255,8 miliar untuk membangun 1.279 unit sarana sanitasi di pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan. Ini langkah positif, tetapi fokusnya lebih pada fasilitas tambahan, bukan bangunan inti yang ditempati santri sehari-hari.

Ada pola yang berulang: birokrasi lebih condong pada “pembaruan” ketimbang “perawatan”. Gedung baru lebih mudah dipamerkan, lebih jelas hasilnya, lebih menarik di mata publik. Sementara renovasi gedung lama dianggap kurang strategis. 

Padahal, bagi pesantren, memperkuat bangunan lama adalah kebutuhan mendesak. Retakan dan pondasi rapuh bukan sekadar masalah teknis, melainkan ancaman nyata terhadap nyawa.

Dari Reaktif ke Preventif

Tragedi Sidoarjo seharusnya menjadi alarm. Kita tak bisa terus-menerus menunggu musibah baru bergerak. Negara perlu mengubah pendekatan dari reaktif menjadi preventif.

Langkah awal yang penting adalah asesmen struktural nasional. Pemerintah harus memetakan kondisi fisik bangunan pesantren di seluruh Indonesia, bekerja sama dengan ahli konstruksi. Data ini harus terbuka, agar publik bisa ikut mengawasi dan mendukung.

Dari situ, fokus kebijakan diarahkan pada renovasi dan penguatan bangunan lama, bukan hanya pembangunan baru. Santri lebih butuh gedung lama yang aman ketimbang sekadar peresmian fasilitas baru yang megah. Renovasi ini harus melibatkan tenaga ahli bersertifikat agar sesuai standar keamanan. Jika biaya kontraktor profesional terlalu tinggi, negara bisa menghadirkan skema subsidi atau insentif.

Selain itu, transparansi perlu ditegakkan. Publik harus tahu pesantren mana yang rawan, berapa dana yang digelontorkan, dan bagaimana progres perbaikannya. Dengan begitu, masyarakat dan donatur bisa ikut berpartisipasi secara terarah.

Menjaga Dinding, Menjaga Harapan

Ketika bangunan pesantren runtuh, yang roboh bukan hanya dinding dan atap, melainkan juga harapan ribuan santri. Pesantren adalah rumah besar yang telah melahirkan ulama, cendekiawan, pemimpin bangsa. Jika rumah itu rapuh, rapuh pula masa depan yang mereka bangun.

 

Negara tidak boleh lagi memandang pesantren hanya sebagai simbol religius atau sekadar objek proyek pembangunan. Pesantren adalah institusi pendidikan yang membentuk watak bangsa. Karena itu, menjamin keselamatan bangunan pesantren sama pentingnya dengan menjamin kualitas pendidikan nasional.

Tragedi di Sidoarjo adalah peringatan keras. Namun peringatan itu akan sia-sia jika negara tidak segera mengubah orientasi. Kita tidak butuh lagi kebijakan seremonial dan episodik. Yang dibutuhkan adalah komitmen nyata, sistematis, dan berkelanjutan.

Sebab menjaga agar dinding-dinding pesantren tidak runtuh, sejatinya adalah menjaga masa depan bangsa agar tetap tegak.

 

Oleh : Abdul Fattah Wahab

Redaksi PSID

Official Akun Redaktur Pesantren ID.

[Pesantren ID] hadir berkat kerja keras jaringan penulis dan editor yang terus menghadirkan artikel, video, dan infografis seputar keislaman dan pesantren. Dukunganmu, sekecil apa pun, sangat berarti untuk menjaga karya ini tetap hidup dan berkembang. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada para donatur yang telah berbagi rezeki — berkat kalian, Pesantren ID dapat terus menyebarkan pengetahuan dan inspirasi yang bermanfaat bagi banyak orang.

Donasi QR Code

(Klik pada gambar)

QR Code Besar

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram
Pengalaman Anda di situs ini akan menjadi lebih baik dengan mengaktifkan cookies.