Press ESC to close

Reshuffle Kabinet: Antara Mitos dan Pembongkaran

Pendahuluan: Politik yang Selalu Gemetar Menyebut Kata "Reshuffle"

Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle Kabinet Merah Putih. Ada sejumlah menteri yang di-reshuffle oleh Prabowo. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi saat konferensi pers di Istana Negara, memberikan penjelasan bahwa atas berbagai pertimbangan, masukan, dan evaluasi yang dilakukan terus-menerus Presiden Prabowo memutuskan untuk melakukan perubahan susunan Kabinet Merah Putih pada beberapa jabatan kementerian.

Menguat setidaknya ada 5 (lima) jajaran menteri yang di-reshuffle oleh Prabowo, yaitu: (1) Menteri Koordinator Politik dan Keamanan; (2) Menteri Keuangan yang sbeelumnya telah ijin mengundirkan diri. (3) Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia; (4) Menteri Koperasi; dan (5) Menteri Pemuda dan Olahraga (https://news.detik.com/berita/d-8101593/reshuffle-kabinet-ini-daftar-menteri-yang-diganti-prabowo). Selain itu juga ada Kementerian baru dijajaran Kabinet Merah Putih yaitu Kementerian Haji dan Umrah yang akan dilantik bersamaan dengan reshuffle.

Di panggung politik Indonesia, ada satu kata yang selalu mampu mengguncang ruang publik, membuat politisi gelisah, media bersemangat, dan rakyat penasaran: reshuffle kabinet. Kata ini seolah memiliki aura magis. Setiap kali berembus isu reshuffle, perhatian publik langsung terfokus. Siapa yang akan diganti? Siapa yang akan naik? Apa alasan di balik perombakan? Pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak, kadang lebih heboh daripada isu tentang harga beras, krisis iklim, atau kualitas pendidikan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa reshuffle bukan hanya peristiwa politik-administratif biasa, melainkan juga mitos politik. Ia adalah drama yang dimainkan berulang-ulang, dari Orde Lama hingga Reformasi, dari Sukarno hingga Jokowi, dan selalu melahirkan spekulasi yang tak pernah sepi.

Tetapi di sisi lain, reshuffle juga adalah pembongkaran kekuasaan. Ia bukan sekadar rumor atau mitos, melainkan alat nyata yang bisa dipakai Presiden untuk mengatur ulang barisan, memperbaiki kinerja pemerintahan, sekaligus menjaga keseimbangan politik. Antara mitos dan pembongkaran inilah reshuffle selalu berdiri kadang lebih dekat ke mitos, kadang benar-benar menjadi momentum perubahan.

Reshuffle Sebagai Mitos: Drama Politik yang Abadi

Mengapa reshuffle dianggap mitos? Pertama, karena prosesnya yang tertutup. Presiden tidak pernah membuka daftar evaluasi menteri secara terang-terangan. Tak ada penilaian objektif yang diumumkan kepada publik, tak ada laporan kinerja yang bisa dipakai masyarakat untuk menilai apakah seorang menteri pantas bertahan atau tidak. Semua berjalan di balik tirai Istana.

Ketertutupan ini melahirkan ruang luas bagi spekulasi. Setiap kali Presiden memanggil seorang menteri ke Istana, isu reshuffle langsung digoreng media. Wartawan mengepung pejabat, menebak-nebak ekspresi wajah, mencatat siapa yang masuk ke Istana dan berapa lama ia berada di dalam. Publik terbius oleh ritual “tebak-tebakan politik” ini.

Kedua, karena budaya politik Indonesia yang personalistik. Menteri sering dipersepsikan bukan sebagai pejabat negara profesional, melainkan sebagai representasi partai atau “orang dekat” Presiden. Maka pergantian menteri tidak pernah dipandang sebagai soal kinerja semata, melainkan soal loyalitas, keseimbangan politik, bahkan kadang “jatah kursi” partai.

Mitos reshuffle juga diperkuat oleh kecenderungan elite politik yang memainkan isu ini sebagai alat tawar-menawar. Partai politik bisa menggunakan rumor reshuffle untuk menekan Presiden. Media bisa menjadikannya komoditas berita utama. Akademisi dan pengamat politik pun kadang larut dalam permainan wacana, memberi komentar seolah-olah mereka juga bagian dari “pemain” di balik layar.

Di titik ini, reshuffle menjadi semacam ritual: ia bukan hanya peristiwa administratif, melainkan tontonan politik yang menghibur sekaligus melelahkan.

Reshuffle Sebagai Pembongkaran: Alat Kekuasaan Presiden

Namun, menganggap reshuffle hanya mitos jelas tidak adil. Pada level praksis, reshuffle adalah alat pembongkaran kekuasaan yang sah dalam sistem presidensial. Konstitusi memberi Presiden hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Hak ini memungkinkan Presiden mengatur ulang barisan ketika dianggap ada yang tidak sejalan, tidak mampu, atau tidak loyal.

Reshuffle sering menjadi pilihan Presiden ketika menghadapi: (1) Masalah kinerja. Menteri dianggap gagal memenuhi target; (2) Masalah politik. Perlu reposisi untuk menjaga koalisi; dan (3) Masalah kepercayaan. Hubungan personal antara Presiden dan menteri retak.

Dalam konteks ini, reshuffle adalah strategi manajemen. Ia memungkinkan Presiden “membongkar” struktur kekuasaan di kabinet dan menggantinya dengan orang-orang baru yang lebih sesuai dengan arah kebijakan. Dengan kata lain, reshuffle adalah cara Presiden menjaga mesin pemerintahan tetap berjalan di jalur yang diinginkan.

Tentu saja, efektivitas reshuffle bergantung pada motivasi Presiden. Jika reshuffle dilakukan semata demi kepentingan publik, ia bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki jalannya pemerintahan. Tetapi jika semata untuk konsolidasi politik atau bagi-bagi kursi, reshuffle justru menjadi beban.

Peran Media dan Publik dalam Memelihara Mitos

Tak bisa dipungkiri, media memainkan peran besar dalam memelihara mitos reshuffle. Misalnya, televisi menayangkan breaking news setiap kali Presiden memanggil menteri ke Istana. Portal berita memuat “10 Nama Menteri yang Terancam Diganti” meski informasinya masih berdasarkan rumor. Media sosial menggulirkan spekulasi, lengkap dengan meme dan sindiran politik.

Publik pun ikut larut. Isu reshuffle kerap menjadi bahan perbincangan warung kopi, kampus, hingga grup WhatsApp keluarga. Bahkan, kadang publik lebih sibuk membicarakan siapa yang naik-turun kursi ketimbang membahas kebijakan pangan atau pendidikan.

Fenomena ini menunjukkan betapa reshuffle telah menjadi ritual politik yang menghibur, meski tidak selalu produktif.

Sejarah Reshuffle: Dari Orde Lama Hingga Reformasi

Reshuffle bukan fenomena baru. Pada era Sukarno, reshuffle terjadi berulang kali seiring perubahan orientasi politik dari demokrasi parlementer menuju demokrasi terpimpin. Kabinet silih berganti, kadang hanya bertahan beberapa bulan.

Pada era Soeharto, reshuffle lebih jarang, tetapi bukan berarti tidak ada. Soeharto terkenal lebih stabil dalam menyusun kabinet. Namun, setiap kali reshuffle dilakukan, pesan politiknya jelas: siapa pun yang melawan arus akan disingkirkan.

Era Reformasi memperlihatkan wajah reshuffle yang lebih “dramatis”. Presiden Abdurrahman Wahid melakukan reshuffle berulang kali hingga memicu ketegangan politik. Megawati dan SBY juga melakukannya, meski dengan gaya berbeda. Jokowi, pada gilirannya, menjadikan reshuffle sebagai instrumen yang kadang penuh kejutan.

Sejarah ini memperlihatkan bahwa reshuffle selalu berada di antara dua kutub: alat rasional untuk mengelola pemerintahan sekaligus drama politik yang penuh intrik.

Reshuffle Sebagai Instrumen Transaksi Politik

Dalam praktiknya, reshuffle di Indonesia sering kali lebih dekat ke transaksi politik. Partai politik dalam koalisi kerap menuntut jatah kursi, dan reshuffle menjadi cara Presiden mengakomodasi tuntutan itu.

Hal ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, reshuffle dibenarkan secara hukum dan diperlukan secara manajerial. Di sisi lain, ia kerap dijadikan sarana kompromi politik yang justru menjauhkan pemerintah dari kepentingan rakyat.

Di sinilah jiwa kenegarawanan seorang Presiden dipertaruhkan – apakah Presiden akan melegitimasi jiwa politik untuk melanggengkan kekuasaan yang sesaat, atau jiwa kenegarawanan dalam menciptakan stabilitas ketatanegaraan (pemerintahan) yang akan tercatat dalam tintas emas sejarah.

Mengapa Reshuffle sering Gagal Memenuhi Harapan?

Pada beberapa dekade masa Kepresidenan, reshuffle sering mengalami jalan buntu dan gagal memenuhi harapan masyarakat. Ada tiga alasan utama terhadap permasalahan tersebut: Pertama, tidak berbasis evaluasi kinerja terbuka. Publik tidak tahu apa ukuran kegagalan seorang menteri. Kedua, lebih banyak muatan politik. Reshuffle sering dimaksudkan untuk memperkuat koalisi ketimbang memperbaiki kinerja. Ketiga, tidak diiringi perombakan sistem. Ganti orang tidak otomatis memperbaiki birokrasi yang lemah, korupsi yang mengakar, dan koordinasi yang buruk.

Akibatnya, reshuffle sering mengecewakan. Alih-alih menghadirkan wajah baru yang segar, reshuffle kadang hanya mengganti figur lama dengan figur lain yang serupa.

Harapan Publik: Reshuffle yang Substantif

Publik berharap reshuffle bukan sekadar drama politik, melainkan benar-benar perombakan substantif. Itu berarti: (1) menteri dipilih berdasarkan kompetensi, bukan sekadar representasi partai; (2) pergantian dilakukan atas dasar evaluasi kinerja yang terukur; dan (3) fokus utama adalah kepentingan rakyat, bukan konsolidasi elite.

Reshuffle yang demikian akan mengembalikan makna hak prerogatif Presiden sebagai instrumen untuk memperbaiki kualitas pemerintahan, bukan sebagai ritual politik yang melelahkan.

Penutup: Reshuffle Sejati Adalah Perombakan Kultur

Pada akhirnya, reshuffle kabinet di Indonesia selalu berdiri di persimpangan antara mitos dan pembongkaran. Ia bisa menjadi momentum rasional untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, tetapi juga bisa jatuh menjadi drama politik tanpa substansi.

Reshuffle sejati bukan hanya soal mengganti wajah-wajah menteri, melainkan reshuffle kultur politik: bagaimana jabatan publik dipandang sebagai amanah, bagaimana rekrutmen pejabat dilakukan secara profesional, dan bagaimana loyalitas kepada rakyat ditempatkan di atas kepentingan partai.

Tanpa itu semua, reshuffle hanya akan terus menjadi mitos yang menghibur media dan elite, tetapi gagal membongkar persoalan mendasar bangsa.

Prof Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H

Guru Besar dan Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya

[Pesantren ID]hadir untuk berbagi pengetahuan dan cerita seputar pesantren dan keislaman melalui artikel, video, dan infografis yang kami produksi secara rutin. Semua ini terwujud berkat kerja keras jaringan penulis dan editor yang berdedikasi, namun untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan karya ini, kami memerlukan dukunganmu. Dengan menyisihkan sedikit rezeki, kamu ikut membantu pengelolaan platform sehingga pengetahuan tentang pesantren dan nilai-nilai keislaman dapat terus tersebar luas dan memberi manfaat.

Donasi QR Code

(Klik pada gambar)

QR Code Besar

Related Posts

Ketika Dinding Pesantren Runtuh, Apa yang Sebenarnya Roboh?
Tepuk Sakinah ala KUA dari Kacamata Santri
Benarkah Ada Malaikat di Pundak Kita? Begini Kata Quraish Shihab
Tradisi, Dalil, dan Globalisasi Islam:  Membaca Amaliyah NU Bersama Gus Baha

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram
Pengalaman Anda di situs ini akan menjadi lebih baik dengan mengaktifkan cookies.