Saya diminta mbak Mutimmatun Nadhifah, editor buku terbaru karya Quraish Shihab yang berjudul “Tafsir Bayani: Paradigma bahasa dalam kosakata al-Qur’an”, untuk membedah buku itu dalam kegiatan Annual Meeting and International  Conference yang diadakan oleh AIAT (Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Ilmu Tafsir) se-Indonesia di IAIN Kediri pada tanggal 4 September 2024. Sayapun meng-iyakan permintaan tersebut, karena karya-karya Quraish Shihab pasti layak dikonsumsi siapapun yang hendak memahami tafsir al-Qur’an. Untuk membedah buku itu, saya akan membahas secara deskriptif dua pertanyaan berikut: pertama, bagaimana posisi “Tafsir Bayani” karya Quraish Shihab dalam jagad penafsiran al-Qur’an? Kedua, bagaimana metode dan corak penafsiran “Tafsir Bayani” karya Quraish Shihab ini?

@@@

Untuk menjelaskan posisi karya terbaru mufassir Indonesia ini dalam jagad penafsiran al-Qur’an, saya memulainya dengan mendeskripsi dua istilah kunci yang terdapat dalam judul buku itu, “bayani dan tafsir bayani”.

Pertama, istilah bayani sebenarnya sudah lama muncul dalam tradisi pemikiran Islam, seperti dalam tradisi fikih dan sastra, tetapi tidak sepopuler disiplin keilmuan Islam lainnya, seperti ulum al-Qur’an dan Usul fikih. Istilah itu baru populer belakangan semenjak Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir muslim modern asal Maroko menulis buku Kritik Nalar Arab (Naqdu al-Aqli al-Arabi) yang di dalamnya dibahas tentang epistemologi bayani, dan Aisyah Abdurrahman, penafsir wanita asal Mesir menulis tafsir  al-Qur’an berjudul, al-tafsir al-bayani li al-Qur’an.

Di dalam karya caturloginya yang menjadi sumber primer Kritik Nalar Arabnya (Takwin al-Aql al-Arobi, Bunyah al-Aql al-Arobi, al-Aql al-Siyasi al-Arobi, dan al-Aql al-Akhlaqi al-Arobi), Jabiri membagi epistemologi Arab-Islam menjadi tiga tipe: epistemologi bayani (al-aql al-bayani), epistemologi erfani (al-aql al-irfani) dan epistemologi burhani (al-aql al-burhani). Dari ketiga tipe epistemologi itu, epistemologi bayani menurut Jabiri paling dominan mewarnai pemikiran Arab-Islam yang tokoh utamanya adalah Imam Syafi’i yang dikenal sebagai peletak dasar teori usul fikih dengan karyanya yang berjudul, al-Risalah. Menurut Jabiri, epistemologi bayani yang berpijak pada pemikiran Syafi’i yang dinilai sebagai mazhab fikih moderat itu bertolak pada prinsip serba teks: bersumber dari teks melalui istimbat; kembali kepada teks melalui qiyas’, dan atas arahan teks melalui kaidah-kaidah fikhiyah.

Prinsip serba teks cara berfikir masyarakat Arab-Islam itu juga muncul dalam tradisi sastra (balaghah) Arab-Islam, terlepas ada kaitan ataukah tidak antara keduanya. Sastra Arab-Islam, dengan tokoh utamanya, Abdul Qahir al-Jurjani, meliputi tiga bidang ilmu: ilmu badi’, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Pemikiran al-Jurjani yang tertuang di dalam dua karya monumentalnya yang berjudul, Dalail I’jaz dan Asrar al-Balaghah, kemudian dipopulerkan oleh para pemikir muslim belakangan, seperti Amin al-Khuli dengan karyanya, Manahij al-Tajdid yang memperkenalkan jargon “al-Qur’an adalah kitab Arab yang paling besar”, dilanjutkan oleh murid-murid Amin al-Khuli yang coba menerapkanya ke dalam kajian al-Qur’an, sebagian di antaranya adalah Muhammad Khalafallah dengan karyanya, Fannu al-Qashash fi al-Qur’ab, Aisyah Abdurrahman dengan karyanya, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, dan Nasr Hamid Abu Zayd dengan karyanya, Mafhum al-Nash.

Kedua, tafsir bayani. Jauh sebelum Khalafallah dan Aisyah Abdurrahman, karya tafsir al-Qur’an yang bercorak bayani sebenarnya sudah lama muncul dalam jagad tafsir al-Qur’an, seperti Ma’ani al-Qur’an karya al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an karya al-Zujaj, Mufradad fi al-Fazi Gharib al-Qur’an karya Raghib al-Isfahani, Mufradat al-Qur’an karya al-Farahi. Karya-karya itu bisa dikatakan bercorak bayani karena penafsirannya yang bertumpu pada teks dengan menggunakan analisis kebahasaan. Mungkin yang berbeda di antara karya-karya itu hanya dari metode penyajiannya.

Baca Juga:  Paradigma Hermeneutika Quraish Shihab dan Relevansinya Dalam Perkembangan Penafsiran Al-Qur’an

Al-Farra’ menyajikan karya tafsirnya yang berjumlah tiga jilid itu secara tahlili,. Proses penaafsirannya dimulai dari surat dan ayat pertama sampai surat dan ayat terakhir. Begitu juga al-Zujaj. Sementara itu, Raghib al-Isfahani menyajikan karyanya dengan menggunakan urutan huruf hija’iyah sehingga ia terlihat seperti kamus al-Qur’an. Di dalamnya, dia menampilkan ayat-ayat al-Qur’an yang kata kuncinya sesuai dengan urutan huruf hija’iah itu. Al-Farahi menyajikan karya tafsirnya dengan menampilkan istilah-istilah kunci yang ada di dalam al-Qur’an yang mungkin jarang disorot para penafsir. Sebagaimana Raghib, al-Farahi juga menyertakan pembahasan beberapa ayat al-Qur’an yang sesuai dengan istilah kunci yang dia sajikan. Aisyah Abdurrahman menyajikan karya-karya tafsirnya dengan dua model: tematik (maudu’i), seperti karyanya yang berjudul, Qadaya al-Insan fi al-Qur’an, dan tahlili, seperti al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an.

Dari sekian karya tafsir bayani itu, metode tafsir bayani yang ditulis Quraish Shihab ini nampaknya lebih dekat pada al-Tafsir al-Bayaninya Aisyah Abdurrahman, kendati karya-karya tafsir yang lain juga menjadi rujukannya. Quraish Shihab menyajikan karyanya ini secara maudu’i-tahlili. Dikatakan maudu’i, karena dia mengambil tema-tema tertentu dari al-Qur’an, yakni surat-surat pendek, dan dikatakan tahlili, karena dia menyajikannya secara urut sebagaimana layaknya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan metode tafsir bayaninya Bintu Syati’, begitu istri Amin al-Khuli ini juga dipanggil, terletak pada teori dan metodenya. Sebagaimana disampaikan langsung di dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an, Bintu Syati’ menggunakan metode tafsir sastra karya sang suami, Amin al-Khuli, yang tertuang dalam karyanya, Manahij al-Tajdid, yang menggunakan dua langkah kajian: kajian sekitar al-Qur’an (ma hawla al-Qur’an), seperti makkiyah-madaniyah, asbab nuzul, nasikh-mansukh; dan kajian tentang al-Qur’an itu sendiri (ma fi al-Qur’an), seperti asal usul al-Qur’an, serta dimensi lafziyah dan maknawiyah al-Qur’an.

@@@

Bagaimana metode penyajian Quraish Shihab dalam karya tafsir bayani ini?

Untuk menjawab pertanyaan kedua ini, saya perlu mendeskripsikan sistimatika penyajiannya yang terbagi menjadi tiga bagian: sekapur sirih; huruf-huruf’; dan Surat-surat Pendek. Tidak ada pembahasan penutup di dalamnya.

Pada pembahasan sekapur sirih, Quraish Shihab menyampaikan bahwa bahasa Arab yang merupakan bahasa resmi al-Qur’an sebagai bahasa yang unik yang nilanya melebihi bahasa lainnya, baik dalam hal jumlah kosakata, keragaman serta perbedaan-perbedaan muatannya maupun citra penggunaannya, bentuk hakiki dan metafornya, serta susunan dan gramatikanya (ix). Di sisi lain, masyarakat Arab yang menjadi pengguna awal bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an itu menurut Quraish Shihab merupakan masyarakat yang fasih dan mahir dalam mengekspesikan bahasa, peka dan mendalam jangkauan pengetahuannya tentang susunan bahasa Arab, sehingga mereka dengan mudah memahami pesan-pesan yang dikandung al-Qur’an (ix). Saat al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab tidak memerlukan perangkat apapun untuk memahami al-Qur’an.

Baca Juga:  Corona, Imajinasi Destruktif, dan Sikap Seorang Muslim

Akan tetapi, kepekaan rasa bahasa masyarakat Arab itu belakangan mulai menghilang, sehingga diperlukan semacam perangkat tertentu untuk membantu mereka memahami al-Qur’an. Lalu  muncul disiplin keilmuan Islam yang disebut ilmu bayan (usul fikih dan balaghah), suatu perangkat yang dimaksudkan untuk membantu menjelaskan pesan-pesan al-Qur’an yang mulai sulit ditangkap para pengguna bahasa Arab sekalipun. Lalu muncul tafsir bayani dengan beragam coraknya.

Kendati demikian, Quraisy Shihab menegaskan bahwa buku tafsir bayani yang dia tulis ini tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dimaksudkan ilmu bayan itu. Dalam arti, karya ini bisa disebut tafsir bayani, tetapi tidak dalam pengertian epistemologi murni, juga tidak dalam pengertian sastra murni karena perbedaan tujuan keduanya. Hal itu sejalan dengan yang dia katakan “tujuan utama penafsiran al-Qur’an yang bercorak bayani, tidak sepenuhnya sama dengan tujuan utama mempelajari disiplin ilmu al-bayan yang tujuannya mengantar pembicara menyampaikan pesannya dengan cara dan gaya bahasa tertentu sehingga terdengar indah susunannya dan jelas maksudnya”. Sementara tujuan tafsir bayani adalah “menjelaskan makna-makna yang dikandung oleh kosakata dan susunanya yang dirangkai oleh ayat sehingga menjadi sejelas mungkin sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah” (xiii). Untuk tujuan itu, Quraisy Shihab menfokuskan penafsirannya pada dua hal yang secara linguistik bersifat mendasar: muatan kosakata dan perbedaan-perbedaan susunannya dengan kalimat yang lain yang sekilas diduga sama (xiv).

Sebelum masuk pada pembahasan inti bukunya, Quraish Shihab menyampaikan pembahasan tentang huruf-huruf al-Qur’an yang pemahaman akan maknanya dinilai sangat menentukan penafsirannya terhadap al-Qur’an. Dengan melansir pendapat para ahli tata bahasa, Quraish Shihab menegaskan bahwa huruf itu mempunyai makna, tetapi maknanya itu baru berfungsi jika ia dikaitkan dengan huruf lainnya. Setiap huruf mempunyai ragan fungsi, begitu juga maknanya, sehingga makna suatu huruf bisa berbeda sesuai dengan perbedaan relasinya dengan huruf atau lafaz lain dalam sebuah kalimat. Ada beberapa huruf yang dia tampilkan pada sub bahasan ini, yakni wawuh, ba’, istifham, jawab, nafi’ dan huruf an-nida’ (1-20).

Pembahasan inti buku karya Quraish Shihab ini terletak pada bagian ketiga yakni, surat-surat pendek. Ada sekitar lima belas surat yang dibahas di dalamnya, yakni al-Fatihah, al-Syarkhu, al-Takathur, al-Asyr, al-Humazah, al-Fil, Quraisy, al-Maun, al-Kautsar, al-Kafirun, an-Nashr, al-Lahab, al-Ikhlash, al-Falaq dan an-Nas. Berikut saya deskripsikan metode atau teknis penyajiannya ketika menafsiri ke lima belas surat-surat pendek itu.

Baca Juga:  Al-Bayan (Tafsir Berbahasa Jawa untuk Masyarakat Jawa)

Quraish Shihab memulai penyajian tafsirnya dengan menampilkan “surat” yang akan ditafsiri sesuai urutan mushaf dengan menggunakan huruf besar misalnya “SURAT AL-FATIHAH”, lalu memberikan ulasan singkat tentang nama surat, dan menarasikan secara deksirptif tentang “tujuan utama” surat tersebut. Setelah itu, dia menampilkan “ayat” sesuai urutannya dalam surat dengan memberikan “terjemahannya”, lalu menampilkan “lafaz” yang terdapat dalam ayat yang akan dibahas itu secara urut itu, dan sesekali menampilkan “lafaz lain” yang diasumsikan mempunyai makna yang sama dengan lafaz yang terdapat dalam ayat yang hendak dijelaskan maknanya. Berikutnya, dia menjelaskan lafaz-lafaz dan derivasinya, makna asalnya serta makna perkembangannya. Sesekali menampilkan pendapat ulama’, sesekali juga melansir ayat al-Qur’an lain untuk mendukung pendapatnya terkait makna suatu lafaz, baik makna dasarnya maupun makna perkembangannya.

Metode penyajian seperti itu dia lakukan secara konsisten, kecuali pada beberapa kasus yang mungkin terlupakan, suatu hal yang bersifat manusiawi, dan tidak bersifat teoritis. Misalnya, tidak ada deskripsi tentang “tujuan utama” surat pada pembahasan surat al-Kautsar (190) dan surat al-Kafirun (200).  Begitu juga tidak ada deskripsi tentang “surat” ketika membahas surat al-Falaq. Pembahasan langsung masuk pada “tujuan utama surat” (264).

@@@

Ala kullihal, karya ini bisa disebut tafsir bayani, tetapi tidak dalam pengertian epistemologi murni, juga tidak dalam pengertian sastra murni. Tafsir bayani yang dimaksud adalah tafsir al-Qur’an yang menggunakan analisis kebahasaan dengan tujuan untuk menjelaskan makna-makna yang dikandung oleh kosakata dan susunanya yang dirangkai oleh ayat al-Qur’an. Dengan menggunakan paradigma paradigmatik bahasa, dimana sebuah bahasa dipahami mengalami perkembangan makna sejalan dengan perbedaan konteks, baik konteks teks maupun konteks non-teks, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kosakata dan susunan al-Qur’an mencerminkan keragaman sekaligus perkembangan maknanya, yang dalam teori semantik struktural disebut makna dasar dan makna signifikansi. Dari sana lahirlah wacana-wacana al-Qur’an yang tersimpan dalam masing-masing surat dan ayat al-Qur;an.

Akan tetapi, di dalam karyanya ini, Quraish Shihab jarang sekali menampilkan konteks non-teks atau kondisi sekitar al-Qur’an sebagaimana dilakukan Bintu Syati’, dalam mendeskripsi perkembangan makna kosakata (lafaz) al-Qur’an, sehingga wacana-wacana al-Qur’an yang ditampilkannya pada setiap surat dan ayat itu lebih nampak bersifat tekstual daripada kontekstualitasnya, suatu penafsiran yang berbeda jauh dengan semangat awal karyanya yang berjudul “Membumikan al-Qur’an”. Begitu juga tidak ditemukan pandangan dunia al-Qur’an di dalamnya yang sejatinya menjadi tujuan akhir dari analisis kebahasaan, karena bahasa merupakan kongkritisasi dari pandangan dunia penggunannya. Juga tidak ditemukan adanya upaya kontekstualisasi pesan-pesan asasi pada surat-surat pendek itu ke dalam konteks kekinian umat Islam di Indonesia. Tentu saja ini sebagai konsekwensi logis dari pilihan teorinya.

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pustaka