Corona, Imajinasi Destruktif, dan Sikap Seorang Muslim

Sejak ditetapkannya sebagai status pandemi oleh WHO pada 11 Maret lalu, Covid-19 atau Corona viruses telah berhasil mengubah ragam tatanan praksis hidup umat manusia di abad 21 ini. Di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan praktik keagamaan mulai merasakan imbasnya. Semua praksis yang semula sesak dengan kerumunan aktivitas manusia untuk melaksanakan suatu kewajiban, tetiba terpaksa senyap selama beberapa waktu ke depan.

Situasi amat mencekam, masyarakat mulai diterungku ketakutan, hiruk-pikuk tetiba sepi, kehadirannya pun disesaki dengan pelbagai rupa tafsir. Dari pengalaman atas pengamatan pada situasi, muncullah seabrek imajinasi destruktif sekaligus konstruktif untuk menafsiri keadaan. Destruktif, ketika dengung interpretasi yang begitu nyinyir melihat bahwa Corona merupakan azab langsung dari Allah.

Sinisme ini bukan tanpa alasan. Ia bermula dari pemahaman temporer perihal kehidupan sosio-kultural hulu virus.  Cina, selama ini, khususnya dalam kebanyakan perspektif pemuka agama dipandang sebagai suatu negara yang amat sering menelurkan isu-isu kontroversial. Ejawantah isu kontroversial itu merujuk pada pemahaman ihwal makanan, gaya hidup, bahkan mesin-mesin kapitalis yang berafiliasi dengan politik dan pemerintahan Cina pun tak luput jadi sorotan publik.

Penafsiran destruktif tersebut perlahan senyap tatkala virus secara gradual mulai menyebar ke seantero dunia. Termasuk negara-negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, semisal Indonesia, dan negara-negara bagian Timur Tengah lainnya.

Dalam situasi wacana yang kalang kabut perihal eksistensi Corona, seorang pakar tafsir yang amat masyhur, M. Quraish Shihab, turut menjejakkan wacana keabadiannya dalam Corona Ujian Tuhan :  Sikap Muslim Menghadapinya. Sekilas judul berusaha meluruskan interpretasi nyinyir yang sejauh ini berdengung di kalangan fanatisme penganut beragama. Ia lebih memilih diksi Ujian dari pada Azab. Menandakan sebuah realitas yang sejuk di tengah pagebluk.

Baca Juga:  New Normal: Solusi atau Ilusi

Quraish Yang Meluruskan

Ada beberapa term yang berusaha diluruskan Quraish perihal keberadaan Corona di awal buku. Azab, ujian, musibah, dan siksa Ilahi merupakan term yang banyak menghias imajinasi publik mutakhir. Pendefinisian ihwal term yang kadang tidak sesuai dengan konteksnya bisa jadi membuat pemahaman publik menjadi kabur. Ikhtiar pengarangan buku tidak lain sebagai sebuah upaya meluruskan pemahaman publik terkait term-term mengerikan selama pagebluk berlangsung.

Quraish mengklasifikasi term tersebut berdasar pada taraf hidup seorang hamba melalui pendekatan yang lebih kontekstual. Sebagai seorang pakar tafsir, menyediakan ruang bagi interpretasi ayat Al-Quran dan penggalan hadis yang relevan dengan konteks merupakan kesungguhannya dalam menekuni suatu bidang. Tak lupa, ia juga menghadirkan wawasan Ali Karramallahu Wajhah dalam menjelaskan term terkait

Ali suatu kali pernah berucap. “Kalau ada musibah, jika ia menimpa yang durhaka, maka itu adalah adab/pendidikan. Bila menimpa yang taat maka itu adalah ujian. Jika nabi dan rasul, maka itulah peningkatan derajat dan kedekatan kepada Allah. Sedang bila menimpa para wali, maka itu adalah penghormatan untuknya “. (Hal 15-16).

Serupa dengan pernyataan Ali, turunnya bencana Corona yang menjadi penyebab salah satu krisis terbesar umat manusia saat ini merupakan penanda momentum untuk mengevaluasi diri. Quraish mengajak umat manusia senantiasa merenungi segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Di balik sesuatu yang Ia kehendaki, mesti ada mutiara pembelajaran yang patut dipungut sebagai bahan permenungan.

Semisal, menjadi lebih tahu dan paham tuntunan agama dan perlunya beragama, rasa kekerabatan antar keluarga akan terjalin sedemikian intim, membantu untuk meluruskan kesalahpahaman dengan meningkatkan hubungan baik dan kemesraan, menjadi sadar betapa manusia adalah makhluk lemah, merupakan satu-kesatuan, menyadarkan bahwa aneka kenikmatan material bukan segalanya, dan hidup sangat berharga sehingga harus diisi dengan hal yang bermanfaat lagi langgeng (Hal-51-54).

Baca Juga:  Ini Bukanlah Libur yang Kami Inginkan

Meski bagi Quraish, Corona merupakan sesuatu yang buruk. Namun, menurutnya, bukankah Allah menurunkan keburukan agar hamba-Nya dapat mengetahui kebaikan.  Muskil kiranya seorang hamba dapat melakukan kebaikan tanpa  menghindari laku keburukan terlebih dahulu. Dengan begitu, ia bisa membedakan mana yang hak dan batil. Juga agar manusia lebih waspada dalam mengarungi hidup pasca pandemik berakhir.

Allah senantiasa menurunkan ujian bagi hamba-Nya. Menurunkannya pun penuh kesesuaian dengan kapasitas  kemampuan seorang hamba. Karena penuh kesesuaian, segala anugerah Allah yang berupa kemampuan itu harus betul-betul dimanfaatkan sebaik mungkin. Quraish optimis, jika Corona disikapi secara arif dan legawa menggunakan kemampuan yang dimiliki, akan ada sesuatu yang pasti berdampak baik segera menanti.

Atas dasar inilah inti pati hikmah pemahaman Quraish terhadap keberadaan Corona tidak sedikit pun menyinggungnya sebagai sebuah azab. Melainkan ia sebagai ujian yang kudu disikapi dengan mata air kesabaran dan ikhtiar memakbulkan diri darinya.  Di titik inilah samudera doa menjadi medium ampuh dalam upaya memohon agar pagebluk segera berlalu.

Mayoritas Ulama memiliki analogi tersendiri untuk memadankan istilah doa dan bencana. Komparasi keduanya amatlah kontras, namun ia akan menjadi padu tatkala bertemu di suatu kondisi tertentu. Bencana dianalogikan sebagai sesuatu yang mewujud dari atas.

Sedang doa merupakan sesuatu yang membumbung dari bawah. Apabila keduanya bertemu akan mengakibatkan terhalangi atau bergesernya bencana sehingga tidak menimpa yang berdoa/didoakan. Atau bisa juga bencana akan tetap jatuh tetapi jatuhnya ditumpukan jerami.

Quraish juga meyakinkan bahwa kalaupun apa yang dimohonkan tidak sepenuhnya tercapai, namun dengan doa tersebut seseorang telah hidup dalam suasana optimisme, harapan dan hal ini tidak diragukan memberi dampak yang sangat baik dalam kehidupannya (Hal-25).

Baca Juga:  Batal ke Tanah Suci tapi Berpahala Haji

Hadirnya buku merupakan wacana sejuk Quraish di tengah pagebluk. Di setiap lembarannya kita akan bersua dengan bahasa penuh kedamaian, santun, mudah dipahami dan seakan mendayu representasi kegelisahan sang penulis. Buku yang terlahir lewat pengamatan yang bersungguh pada realitas, menjadikan cocok dibaca bagi kalangan muslim secara keseluruhan dalam menghadapi pandemi Corona ini. Wallahu A’lam. [HW]

Muhammad Ghufron
Member Huma Aksara, SMART ILC Pare, Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini