Sikap Rendah Hati al-Būtī

Salah satu perbedaan al-Būtī dengan ulama lainnya adalah keengganannya untuk dicium tangannya. Padahal banyak dari murid-murid al-Būtī yang ingin mendapatkan berkah darinya. Tetapi, al-Būtī selalu menolak untuk dicium tangannya.

Oleh karena itu, dalam dialog di salah satu program televisi swasta, sang presenter mengkonfirmasi hal tersebut. Mengapa al-Būtī selalu menolak untuk dicium tanggannya atau “tidak suka” mendapat penghormatan “simbolis” lainnya dari murid-muridnya?

Al-Būtī pun berkaca-kaca matanya, sambil menjawab sebagai berikut:

“Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Saya malu di hadapan Allah bila tangan ini dicium. Karena saya lebih tahu diri saya pribadi. Allah Maha Menutupi keburukan hamba-Nya. Sementara Allah menampakkan hal-hal positif di mata orang lain.” Jawab al-Būtī dengan suara parau.

Al-Būtī melanjutkan: “Saya malu kepada Allah, karena saya masih jauh dari kata sempurna. Di mata Allah saya hamba-Nya yang banyak kekurangan. Sebab itu, bukankah wajar saya harus merasa malu, jika Allah melihat saya membiarkan tangan ini dicium oleh siapapun yang mungkin hanya melihat sisi kebaikan saya. Sementara di mata Allah, baik-buruk terlihat jelas.” sambungnya.

“Bagaimana mungkin saya persilahkan tangan saya dicium siapapun hanya untuk mendidik agar menghormati saya, sementara Allah menertawakan saya, karena saya sebenarnya tidak layak mendapat penghormatan itu, sebab masih banyak kekurangan di mata-Nya.” pungkas al-Būtī.

Kendati demikian, al-Būtī tetap berpegang teguh pada pendapat para fukaha akan sunnah-nya mencium tangan ulama dan orang-orang saleh lainnya.

Oleh karena itu, al-Būtī sendiri mempraktikkannya setiap bertemu dengan para ulama, beliau selalu mencium tangannya. Bahkan, saat bertemu Habīb Alī al-Jufrī -yang lebih muda pun, al-Būtī tetap mencium tangannya.

Keengganan al-Būtī untuk dicium tangannya (kecuali oleh orang-orang tertentu) semata-mata karena menjaga hatinya agar tidak “merasa lebih baik” dari orang yang menghormatinya. Atau, menghindari rasa “jumawa” atas ketidaksempurnaannya di mata Tuhannya.

Baca Juga:  Fakhri Al-Razi (4)

Begitulah akhlak al-Būtī, tidak menonjolkan dirinya. Al-Būtī selalu bersikap rendah hati dalam setiap kondisi apapun. Al-Būtī tidak pernah merendahkan orang lain, sebaliknya selalu menghargai dan menyayangi sesama muslim.

Itu sebabnya, sungguh ironis, jika ada orang yang keilmuannya belum seberapa -untuk tidak mengatakan pas-pasan, tapi sudah “gila hormat”. Atau, orang yang “pura-pura” berilmu, tetapi minta fasilitas ini-itu dalam aktivitas dakwahnya. Na’ūzubillah!. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    menjadi guru
    Hikmah

    Menjadi Guru

    Beberapa hari yang lalu saya menghadiri undangan dari madrasah formal Al munawaroh, yang ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama