Zahir bin Haram, orang pedalaman (Badui), sowan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dia membawa hadiah terbaik buat beliau. Ketika pamit pulang, Rasulullah juga memberinya hadiah. Datang membawa sesuatu, pulang juga menenteng sesuatu. Wajah Zahir biasa saja. Tidak tampan. Tapi disayang Rasulullah.
Selain menggembala, dia biasa jualan barang dagangannya di pasar Madinah. Suatu kali, tatkala Zahir menunggui dagangannya, Rasulullah memeluknya dari belakang.
“Lepaskan aku! Siapakah ini?” teriak Zahir. Tatkala menoleh, ia pun kaget. Ternyata yang memeluknya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan istimewa ini, dia pun merapatkan punggungnya ke dada Rasulullah.
Rasulullah kembali mengulang pertanyaan umumnya: “Siapakah yang mau beli hamba sahaya ini?”
Zahir pun berkata: “Demi Allah! Wahai Rasulullah! Kalau demikian, aku tidak akan laku dijual!”
Rasulullah membalas: “Justru engkau di sisi Allah ‘azza wa jalla sangat mahal harganya!”
Cerita di atas, seingat saya, bisa dijumpai dalam As-Syamāil al-Muhammadiyyah karya Imam At-Tirmidzi.
**
Begitu hormat dan cintanya Zahir kepada Baginda Rasul. Begitu pula sebaliknya.
Apa yang hendak kita catat selain canda Rasulullah di atas? Tradisi Pisowanan. Sahabat dari pedalaman sowan (berkunjung) dan yang disowani pun secara penuh hormat memberi bekal kembali. Ada pertukaran kebaikan. Barter kemanfaatan. Saling mencintai dan menghormati.
Tradisi ini tetap kudu kita lestarikan. Sebagai Sunnah. Sebagai penghormatan pula kepada para guru. Dan, seringkali guru kita memberi “kembalian” dengan nilai berkali-kali lipat. Ini yang saya jumpai. Kalau sowan ke para guru, saya menyelipkan amplop. Yang lucu (dan Alhamdulillah hihihi), seringkali beliau-beliau ini malah memberi buah tangan yang nilainya berkali-kali lipat dari isi amplop yang saya sampaikan.
Nah, suatu ketika, saya ditelepon salah satu guru saya. Diajak naik mobilnya, berkeliling, lantas beliau berkata ingin mampir melihat rumah yang sedang saya bangun. Beliau kerso mendoakan, Alhamdulillah, lantas ketika pamitan, saya bersalaman. Tak disangka, beliau mengeluarkan amplop tebal dari sakunya. Saya salaman, gemetar lantaran amplopnya tebal (hihihi), juga mewek melihat kepedulian beliau.
“Ini, buat tambahan bangun rumah juga tambahan beli tanah yang hendak dibangun asrama,” kata beliau lembut
Saya tambah mewek. Aduh. Juga tambah malu. Lantaran kalau pas sowan saya nyelipkan amplop nggak banyak, tapi kali ini beliau malah nyangoni berpuluh kali lipat. Ampun yaiiii……
Beliau adalah KH. A. Sadid Jauhari, Rais Syuriah PBNU. Ketua Yayasan Pendidikan Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember yang membawahi Kampus INAIFAS.
*
Jika anak sudah sekolah, atau mondok, seharusnya kita juga melakukan penghormatan kepada guru anak-anak kita. Dengan cara mengajak buah hati sowan, anak secara langsung belajar dari cara kita bicara, sikap saat berhadapan dengan orang lain, gestur tubuh dan ekspresi wajah, serta etika bertamu. Ini pendidikan secara langsung.
Atau, jika tidak bisa sering sowan kepada guru anak-anak, kita bisa memberikan hadiah. Bisa dalam kurun waktu tertentu, bisa pada saat hari besar Islam. Sebagaimana tradisi Zahir saat sowan kepada Baginda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Secara konkrit, kalau anak bersekolah, sisihkan secara konsisten tabungan untuk memberi hadiah kejutan bagi para gurunya. Setidaknya yang selama ini membimbingnya dengan intens. Wali kelasnya, misalnya. Diberikan saat Lebaran, bisa juga saat menjelang kenaikan kelas. Ini untuk menjaga etika berterima kasih, juga agar ikatan ruhaniah antara buah hati kita dengan beliau senantiasa terjalin. Selebihnya, berharap keikhlasan beliau dalam mendidik menjadikan ilmu anak-anak kita bermanfaat.
Banyak orang hanya menitipkan anak secara transaksional di lembaga pendidikan. Bayar SPP, dianggap beres. Selesai. Persis nitip mobil di parkiran. Ada barang yang dititipkan, ada biaya jasa. Kalau ada bermasalah, orangtua tidak instrospeksi, malah menyalahkan guru. Lantaran dia merasa kalau sudah membayar bulanan. Padahal tidak seperti ini. Orangtua harus memiliki relasi yang harmonis juga dengan para pendidik anak-anaknya. Syukur-syukur juga memantau perkembangan buah hatinya melalui komunikasi intens. Itu kalau di sekolah.
Lantas, kalau anak sedang mondok, bagaimana? Sama. Yang terbaik kita berikan kepada murabbi ruh-nya, kiainya. Juga sekaligus kepada guru kelas (musyrif) yang paling dekat dengannya. Yang selama ini membimbingnya. Sebab, keduanya mencurahkan waktu dan ilmunya untuk memoles jiwa dan ruhani buah hati kita.
Sayang, ada beberapa orangtua yang memang tidak memperdulikan hal kecil tapi berdampak pada anak ini. Ada yang hanya menitipkan anak di pondok, setelah itu nggak pernah menjenguknya, juga nggak segera memberesi tanggungan keuangannya (biaya belajar juga kebutuhan makannya). Anak hanya ditinggal. Biaya nggak pernah dipedulikan. Apakah orangtuanya nggak mampu? Pada dasarnya mampu atau nggak itu pilihan berdasarkan prioritas. Kalau sudah komitmen, apapun caranya dengan konsekwesi apapun, orangtua bertanggung jawab atas biaya memondokkan anaknya.
Tiada kebangkrutan harta saat kita mempersembahkan yang terbaik bagi pendidikan dan hadiah bagi guru buah hati kita. Tiada kerugian jika kita memberikan yang terbaik bagi beliau-beliau. Harta yang dimanfaatkan untuk kebaikan yang dilakukan orang lain bakal berimbas pada keberkahan hidup pemberi. Cukuplah kisah penghormatan para kepala keluarga mulia ini dijadikan ibrah. Muhammad, ayah Imam al-Ghazali; Ahmad, ayah Imam Al-Halwani; Pak Utsman, ayah Kiai Djazuli, Ploso Kediri; yang dengan kebahagiaan meluap-luap memberikan yang terbaik bagi orang-orang saleh. Semata-mata agar anak-anaknya juga sesoleh dan sealim mereka. Harga yang mereka tebus demi masa depan anak-anaknya. Dan, Allah mengabulkan harapan mereka.
Wallahu A’lam Bishshawab. []