Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lisan. Al-Qur’an turun melalui perantara malaikat jibril dan kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Pada awal masa kenabiannya Rasulullah adalah seorang yang tidak bisa membaca maupun menulis. Namun ketika Al-Qur’an turun beliau merasa senang dan bersemangat untuk menghafalnya. Pada masa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melalui tiga tahapan penting. Tiga tahapan ini meliputi:
- Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Usaha pemeliharaan Al-Qur’an pada zaman Nabi dilakukan dengan dua cara yakni, menyimpannya ke dalam dada manusia (menghafal) dan menuliskannya pada berbagai jenis bahan tulis yang ada pada masa itu. Namun pemeliharaan dengan penulisan tidak sebanyak dengan yang menghafal. Hal in dikarenakan masyarakat Arab memiliki daya hafal yang kuat, serta pada masa itu banyak sekali masyarakat yang tidak bisa membaca maupun menulis. Diantara sahabat Nabi yang hafal Al-Qur’an pada masa itu adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil, Mu’ad bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, Abu Zayd bin Sakan al-Anshari, dan Abu Darda’. Ketujuh sahabat Nabi itu sudah hafal Al-Qur’an diluar kepala dan telah menunjukkan hafalannya kepada Nabi Muhammad saw.
Pemeliharaan dengan cara penulisan sudah ada pada waktu itu namun sangat minim bahan tulis. Oleh karenanya Nabi menunjuk dewan penulis wahyu yang meliputi Muawiyah, Ubai bin Ka’ab dan Zayd bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-ashari. Dewan penulis diperintahkan oleh Nabi untuk menuliskan wahyu yang terimanya dan meletakkannya sesuai urutan petunjuk dari Nabi. Dewan penulis menuliskan wahyu pada berbagai macam benda alam seperti, lempengan batu, tulang unta, pelepah kurma, kulit binatang, dan lain sebagainya. Setelah itu tulisan-tulisan tersebut disimpan di rumah Nabi dalam kondisi masih tidak beraturan dan belum terhimpun pada satu mushaf.
- Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Pemerintahan Abu Bakar terjadi pada tahun (632-634 M) setelah Rasulullah saw wafat. Pada masa pemerintahan Abu Bakar terjadi peristiwa besar, yakni Perang Yamamah. Perang Yamamah ini merupakan perang yang terjadi pada tahun 12 Hijriyah yang mana untuk memerangi orang murtad. Abu Bakar mengirimkan pasukannya yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menghadapi orang-orang murtad tersebut. Peperangan tersebut melibatkan sebagian besar sahabat yang hafal Al-Qur’an, akibatnya 70 qari’ meninggal dunia dalam peperangan itu.
Dari peristiwa tersebut, muncullah ide Umar bin Khattab untuk segera membukukan Al-Qur’an. Umar mendesak Abu Bakar untuk segera membukukan Al-Qur’an karena di khawatirkan Al-Qur’an akan hilang dan musnah. Dengan segala pertimbangan, ide tersebut akhirnya di terima oleh khalifah Abu Bakar dan memerintahkan Zayd bin Tsabit untuk segera menghimpun Al-Qur’an pada satu mushaf. Tugas menghimpun Al-Qur’an yang dilakukan oleh Zayd bin Tsabit beserta timnya selesai pada kurun waktu lebih dari satu tahun. Setelah mushaf itu selesai, lalu disimpan oleh Abu Bakar. Pada saat Abu Bakar wafat, penyimpanan mushaf berpindah kepada Umar bin Khattab. Namun sebelum wafat, Umar berpesan kepada putrinya Hafsah agar menyimpan mushaf tersebut dengan baik. Amanah ini diberikan dengan pertimbangan karena Hafsah adalah istri Nabi Muhammad yang hafal Al-Qur’an serta pandai membaca dan menulis.
- Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Ustman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah Ustman Islam sudah tersebar luas dari penjuru kota hingga pelosok. Wilayah Islam yang semakin luas dan para qurra’ pun tersebar di berbagai wilayah. Di wilayah masing-masing para qurra’ mengajarkan bacaan qira’ah (membaca Al-Qur’an menggunakan lagu) yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang mereka terima dari guru ajarnya. Pada satu waktu dimana para pemeluk Islam dari berbagai wilayah bertemu yakni pada saat perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak. Pada pertemuan itu mereka mengetahui adanya perbedaan bacaan Al-Qur’an dari masing-masing penduduk. Sebagian dari mereka merasa heran akan perbedaan bacaan tersebut dan bahkan ada yang mengklaim bacaannya yang paling benar. Melihat kondisi tersebut Jenderal Khudhayfah mengajukan usulan kepada khalifah Ustman agar segera menyelaraskan bacaan Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan timbul keraguan bagi generasi yang tidak bertemu langsung dengan Rasulullah saw. Usulan tersebut diterima dengan baik oleh khalifah Ustman dan beliau segera membentuk panitia yang berisikan empat orang, yaitu: Zayd bin Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair dan Abd ar-Rahman bin Harith bin Hisham. Panitia tersebut diketuai oleh Zayd bin Tsabit yang diberi tugas menyalin mushaf Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah. Ketiga panitia penulisan tersebut berasal dari suku Quraish kecuali Zayd, oleh karenanya khalifah Ustman berpesan bahwa jika ada perselisihan tulisan Al-Qur’an antara Zayd dengan ketiga panitia tersebut hendaknya ditulis dengan lughat Quraish. Hasil kerja dari tim Zayd mengenai keseragaman bacaan Al-Qur’an kemudian diperbanyak dan kemudian dikirim ke beberapa daerah atau kota agar dapat dijadikan standar dalam pembacaan Al-Qur’an. Setelah penyebaran mushaf Ustmani ke berbagai daerah, khalifah Ustman memerintahkan untuk memusnahkan berbagai fragmen non-Ustmani, dengan cara membakarnya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Ustman bin Affan dilatarbelakangi fenomena perbedaan bacaan Al-Qur’an yang dapat menimbulkan perpecahan antar umat Islam. []