Membahas tentang keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad artinya memahami ciri khas dan watak bangsa Arab sebelum Islam dan memperhatikan lingkungan sekitarnya, juga membayangkan bagaimana adat istiadat, perangai, dan ciri peradaban umat-umat lain di masa itu, seperti bangsa Persia, Romawi, Yunani, dan Hindustan.
Sebelum membahas kondisi bangsa Arab lebih dalam, penting untuk membahas kondisi umat-umat yang hidup di sekitar Jazirah Arab sebelum Islam datang. Penguasa dan pemimpin dunia saat itu adalah dua negara adidaya, yaitu Persia dan Romawi. Di bawah keduanya, bangsa dan peradaban lain yang cukup besar di masa itu adalah Yunani dan Hindustan.
Persia telah menjadi tanah subur bagi lahir dan berkembangnya aneka macam gagasan keagamaan dan filsafat yang sebagian di antaranya saling bertentangan. Di sana muncul Zoroaster, yaitu keyakinan yang dipeluk penguasa Persia. Salah satu ajarannya adalah membolehkan pernikahan seseorang dengan ibunya, putrinya, atau saudara perempuannya sendiri. Misalnya, Yezderged II yang berkuasa di pertengahan abad ke-5 M menikahi putrinya sendiri. Ada berbagai konsep dan ajaran Zoroaster lainnya yang dianggap menyimpang dari tatanan moral. Di tanah Persia pula lahir aliran Mazdakisme, sebagaimana dikatakan Imam asy-Syahrastani, didasarkan atas ajaran filsafat lain. Aliran ini di antaranya menghalalkan perempuan dan harta benda dan menjadikan keduanya sebagai milik bersama masyarakat, sebagaimana mereka berserikat dalam memiliki air, api, dan rumput. Tentu saja aliran ini mendapat sambutan luar biasa dari para pengumbar nafsu. (Lihat, asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Niha, juz 2, hlm 86-87)
Negara adidaya lainnya adalah Romawi yang didominasi semangat kolonialisme. Negara itu juga tenggelam dalam perselisihan keagamaan, yaitu antara penguasa Romawi di satu pihak dan kaum Kristen Suriah serta Mesir di pihak lain. Romawi mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialismenya untuk menyebarkan dan mengembangkan Kristen sekaligus mempermainkannya sesuai dengan hasrat nafsu dan ketamakan mereka. Dari sisi akhlak, bangsa Romawi pun tak kalah bejatnya dari bangsa Persia. Kemaksiatan, kekejian, dan kezaliman merajalela di seluruh pelosok negeri disebabkan berlimpahnya pemasukan Negara dan berlipatgandanya setoran pajak.
Peradaban lainnya, yaitu Yunani, tenggelam dalam lautan takhayul dan mitos yang dituturkan dari mulut ke mulut. Kecenderungan itu mematikan potensi besar bangsa itu dan tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. (al-Buthi, Fiqhu as-Sirah an-Nabawiyah, 2020: 44)
Situasi serupa berlangsung di belahan dunia lainnya, yaitu di kawasan Hindustan. Sebagaimana dituturkan Syekh Abu al-Hasan an-Nadwi, para penulis sejarah Hindustan sepakat bahwa fase terendah negara itu dari sisi keagamaan, moral, dan sosial ada di zaman itu. Kemunduran peradaban itu bermula dari awal abad ke-6 M. Hindustan dan negara-negara kecil di sekitarnya tenggelam dalam kemerosotan moral dan sosial. (Lihat, Madza Khasira al-’Alam bi Inhithath al-Muslimin, hlm 28)
Seperti itulah keadaan bangsa-bangsa dengan peradaban mereka di masa kemunculan dan perkembangan Islam. Seyogyanya kita mengetahui bahwa penyebab kemerosotan, kekacauan, dan kemalangan mereka itu adalah kebudayaan dan peradaban yang hanya mengutamakan nilai-nilai materi tanpa didasari idealisme yang memandu mereka menuju jalan yang benar dan lurus. Sebab, semua peradaban itu, dengan aneka macam pilar dan rupanya, hanyalah sarana dan upaya. Tidak adanya pemikiran yang benar dan cita-cita yang tepat menyebabkan peradaban itu dijadikan sarana untuk membawa mereka pada kemerosotan dan kebingungan. Seandainya warga negara pemilik peradaban itu dianugerahi pikiran yang lurus, yang sering kali hanya hadir melalui perantaraan agama dan wahyu Ilahi, tentu seluruh tatanan peradaban mereka menjadi sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dalam berbagai bentuknya.
Jazirah Arab di masa itu jauh dari hiruk-pikuk pertentangan politik dan kekacauan peradaban. Negara-negara di kawasan itu terpencil bahkan terbelakang dari sisi peradaban. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban ala Persia yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kebejatan dan menyebarkan ajaran permisivisme yang membolehkan apa pun yang mereka inginkan. Akibat kemajuan dan kemewahan peradaban, bangsa besar seperti Persia dan Romawi tenggelam dalam budaya hedonis yang merusak akhlak dan mengabaikan agama. Bangsa-bangsa Arab juga tidak memiliki kekuatan militer yang besar seperti Romawi yang mendorong mereka menindas dan memperbudak bangsa-bangsa lain. Mereka juga tidak pernah memikirkan ajaran dan filsafat yang rumit ala bangsa Yunani yang dapat membuat mereka menjadi korban mitos dan takhayul.
Keadaan mereka bagaikan bahan baku yang belum diolah; masih didominasi fitrah manusia yang lurus serta motivasi yang kuat untuk mewujudkan berbagai kecenderungan manusia yang terpuji, seperti sifat setia, suka menolong, dermawan, menjaga harga diri, dan menjaga kehormatan. Hanya saja, mereka terhalang dari pengetahuan yang dapat menyingkapkan jalan untuk mengembangkan semua potensi itu. Pasalnya, mereka hidup di tengah gelap kebodohan, kesederhanaan, dan kenaifan. Akibat kebodohan, banyak di antara mereka yang tersesat dari kecenderungan fitrah yang positif sehingga mereka tega membunuh anak-anak demi kehormatan dan kesucian diri, dan rela menyia-nyiakan harta benda demi kedermawanan, serta saling bertempur satu sama lain demi mempertahankan harga diri.
Seperti itulah kondisi bangsa-bangsa Arab sebagaimana diungkapkan Allah swt melalui firman-Nya:
وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنْتُمْ مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ
Artinya: “Dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar orang yang tersesat.” (QS Al-Baqarah: 198)
Sebutan “sesat”, jika dibandingkan dengan kondisi umat-umat lain pada zaman itu, lebih mengisyaratkan pemakluman bagi mereka daripada ejekan atau hinaan. Sebab, umat-umat lain itu melakukan berbagai penyimpangan dan kesesatan didasari dan didorong oleh peradaban, kebudayaan, dan pengetahuan. Mereka terpuruk dalam jurang kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan pemikiran.
Oleh karena itu, apabila kita membayangkan kondisi bangsa Arab di jazirah mereka sebelum Islam dan kondisi umat-umat lain di sekeliling mereka, mudah bagi kita untuk menyingkapkan hikmah Ilahi yang menetapkan agar Jazirah Arab dianugerahi kehormatan dengan lahir dan diutusnya Nabi Muhammad saw di sana, bukan kawasan lain, dan agar bangsa Arab menjadi bangsa pertama yang menyebarkan Islam ke seluruh dunia, mengajak manusia memeluk Islam yang dengannya Allah disembah seluruh manusia di seluruh penjuru dunia.
Seandainya kehendak Allah swt ihwal tempat terbitnya dakwah Islam berkaitan dengan suatu aspek tertentu di negeri Persia, Romawi atau Hindustan, pastilah Dia sudah menyiapkan di sana aneka sarana untuk menyukseskan dakwah, seperti yang Dia siapkan di Jazirah Arab. Semua itu tidak sulit bagi-Nya, karena Dia adalah Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Pengada segala sarana dan faktor penyebab. Namun, hikmah pemilihan Jazirah Arab sebagai tempat bersemainya Islam ini seperti hikmah yang menetapkan Rasulullah swt tunaaksara, tidak bisa membaca buku, dan tidak bisa menulis, sebagaimana difirmankan Allah swt, yaitu agar manusia tidak meragukan kenabiannya dan agar mereka tidak punya banyak alasan untuk meragukan kebenaran dakwahnya.
Salah satu pelengkap hikmah Ilahi ini adalah bahwa lingkungan diutusnya Nabi Muhammad adalah lingkungan masyarakat yang tunaaksara pula jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya; lingkungan yang sama sekali belum terpengaruh segala peradaban di sekelilingnya, dan cara berpikirnya sama sekali belum menganut aneka filsafat rumit yang berkembang di lingkungan sekitarnya.
Pasalnya, dikhawatirkan itu dapat menimbulkan keragu-raguan dalam hati manusia apabila mereka melihat Nabi Muhammad mempelajari dan menelaah kitab-kitab kuno serta sejarah umat-umat terdahulu dan berbagai peradaban bangsa lain. Selain itu, dikhawatirkan pula keraguan itu merasuki hati jika dakwah Islam muncul di tengah suatu umat yang memiliki posisi penting dalam peradaban, filsafat, dan sejarahnya, seperti Persia, Yunani, atau Romawi. Sebab, betapa banyak orang ragu dan ngawur yang menuding bahwa dakwah Islam adalah matarantai dari peradaban dan pemikiran filsafat yang akhirnya menciptakan satu-satunya peradaban dan hukum yang paripurna. (al-Buthi, Fiqhu as-Sirah an-Nabawiyah, 2020: 45)
Kehendak Allah swt juga telah menetapkan agar Rasul-Nya tunaaksara, dan komunitas tempatnya dilahirkan pun tuna aksara sehingga mukjizat kenabian dan syariat Islam menjadi jelas dalam benak dan tidak mengandung kerancuan. Ini mengandung rahmat yang sangat besar bagi hamba-hamba Allah.
Tidak hanya itu, menurut Syekh al-Buthi Kebijaksanaan Allah swt menetapkan agar bahasa Arab menjadi bahasa dakwah Islam dan alat pertama untuk menerangkan firman Allah swt dan menyampaikannya kepada manusia. Bisa jadi, seandainya kita perhatikan karakteristik bahasa-bahasa di dunia, kemudian kita perbandingkan semuanya, kita akan menemukan bahwa bahasa Arab jauh lebih istimewa daripada bahasa-bahasa lain dengan karakteristik yang mereka banggakan. Jadi, bahasa
Arab lebih pantas menjadi bahasa pertama kaum Muslim di berbagai daerah dan negeri mereka. (al-Buthi, Fiqhu as-Sirah an-Nabawiyah, 2020: 46). []