Dalam acara Maulidurrasul Saw. yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya pada Ahad, 17 Oktober 2021 Habib Musthofa bin Umar Alaydrus hadir memberikan tausiyah. Beliau menceritakan bahwa guru beliau, Habib Umar Al-Syathiri setiap kali mengajar beliau senantiasa memintakan doa dari para santri-santrinya. Ini menarik untuk digali lebih mendalam. Mengapa beliau Habib Umar Al-Syathiri yang merupakan ulama dengan pengetahuan yang luas malah mohon keberkahan doa dari para santri yang notabene sedang dalam proses belajarnya.
Jamak diketahui bahwa santri identik dengan para pelajar yang menetap di asrama dengan keharusan menaati seluruh aturan yang ada, baik dalam hal ibadah, pendidikan maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Mereka tidak memiliki keterbatasan dalam mengakses dunia luar. Lebih jelasnya, sebagaimana disampaikan oleh Habib Musthofa, santri berpotensi lebih kecil untuk melakukan tindakan maksiat.
Ibarat seorang pembantu. Andai dia tidak pernah memiliki check list hitam ataupun sedikit melakukan kesalahan dalam kinerjanya, kemudian ia mengajukan permintaan kepada majikannya, maka sang majikan tidak segan untuk mengabulkannya. Apalagi jika dalam meminta disertai dengan memelas sebab saking terdesak kebutuhannya. Demikian juga santri dalam berdoa kepada Tuhannya. “Doa mereka mujarab” kata Habib Musthofa yang merupakan pimpinan Majlis Ba’alawy Surabaya.
Di pesantren, para santri menghabiskan kesehariannya. Dua puluh empat jam mereka menjalani pendidikan yang lebih ekstra. Pendidikan yang mereka dapatkan bukan hanya teori yang diajarkan di kelas formal sekolah saja, melainkan di lingkungan hidupnya. Bagaimana cara bersosialisasi dengan orang-orang baru yang tiba-tiba menjadi seperti keluarga. Bagaimana memanaje waktunya untuk mengurus keperluan pribadinya, sekolahnya, ibadahnya maupun organisasinya. Bahkan hingga bagaimana cara memperlakukan sampah di asrama tempat tinggalnya.
Dalam kedokteran dikenal istilah amputasi. Secara kasat mata, keputusan mengamputasi bagian tubuh adalah tindakan yang menyakitkan. Namun hal ini dilakukan untuk kemanfaatan yang lebih besar. Justru orang tua jahatlah yang membiarkan anaknya dalam sakitnya, tanpa mengizinkan si anak untuk diamputasi bagian tubuhnya. Persamaannya dengan pendidikan, keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk memperoleh perubahan ke arah yang lebih baik.
Orang tua harus tega melepas kepergian anaknya di pesantren. Para orang tua seyogianya tidak memanjakan putra putrinya, demi mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus ada usaha yang dilakukan. “Jer Basuki Mawa Bea”, demi kebahagiaan harus ada harga yang dibayarkan. Pun dengan para pengurus dan guru pengajarnya sebagai pengganti orang tua. Mereka bertanggungjawab penuh atas pendidikan dan keseharian santri selama di pesantren.
Ketegaan ini berlaku dalam hal mendidikan anak untuk sholat. Bahkan sampai Rasulullah Saw. memperbolehkan penggunaan ‘kekerasan’. Sebagaimana disabdakannya:
مُرُوا الصَّبِىَّ بِالصَّلاَةِ ابْنَ سَبْعٍ ، وَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ
“Perintahkan anak kalian untuk melaksanakan sholat ketika sudah berusia tujuh tahun, kemudian pukullah apabila ia sudah menginjak usia sepuluh tahun masih tetap meninggalkan sholat”(HR. Baihaqi)
Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam Fath Al-Mu’in karyanya menyebutkan bahwa punishment yang diberikan semacam ini tidak dalam rangka menyakiti, bukan pada wajah dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya. Titik besarnya adalah untuk melahirkan efek jera dan tidak mengulang kesalahannya. Agar kelak ketika dewasa si anak tidak mengentengkan kewajiban sholat dan terbiasa melaksanakannya, sehingga tidak meninggalkannya.
Para santri hidup dalam kesederhanaan dan keprihatinan. Mereka harus menjalani masa mudanya dalam proses ketekunan luar biasa. Mengikuti dan menaati setiap aturan yang telah diberikan gurunya. Dalam hal ini salah seorang imam mazhab fiqh, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata dalam syairnya yang penuh makna:
وَاصْبِرْ عَلَى مُرِّ الْجَفَا مِنْ مُعَلِّمِ # فَإِنَّ رُسُوْبَ الْعِلْمِ فِىْ نَفَرَاتِهِ
وَمَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً # تَجَرَّعْ ذُلَّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ # فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
وَذَا الْفَتَى وَاللهِ بِالْعِلْمِ وَالتَّقَى # إِذَالَمْ يَكُوْنَا لَااعْتِبَارَ لِذَاتِهِ
Bersabarlah atas pahit getirnya didikan guru, karena keberhasilan terperolehnya ilmu adalah berada dalam genggamanya,
Barang siapa tak pernah merasakan payahnya mencari ilmu meski hanya sesaat, ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina sepanjang hayat
Barang siapa menghabiskan masa mudanya tanpa belajar, maka bacakan takbir padanya empat kali saat wafatnya (menyesal selamanya)
Demi Allah Swt., hidupnya seorang pemuda itu harus dibekali ilmu dan taqwa, Apabila kedua bekal itu tidak dimilikinya, maka tak pantas disebut pemuda.
Alkisah, setelah ditinggal di padang gersang, Siti Hajar bersama putranya yang masih bayi mungil bernama Ismail menetap di tengah gurun Makah yang terik tanpa air. Setelah kehabisan bekal dan Ismail kecil menjerit dalam tangisan, Siti Hajar panik. Beliau berlarian ke sana kemari, air yang dicari-cari tapi hanya keringat membasah.
Dari bukit Shafa lalu kembali ke bukit Marwah, beliau berlari demi menuntaskan dahaga putranya. Sudah tahu di Marwa tidak ada air beliau tetap menujunya. Begitu pun di Shafa. Hal ini menunjukkan bahwa sifat perempuan adalah bekerja keras dalam melindungi darah dagingnya. Setelah tujuh kali berlarian penuh peluh berjatuhan, ternyata air yang dicari-cari mengalir dari kedua kaki Nabi Ismail As.
Dari kisah ini kita tahu bahwa Allah Swt. semacam membenarkan lirik lagunya Rhoma Irama “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Yang jelas, Allah Swt. berkehendak atas segala sesuatunya, sementara manusia sebagai hamba hanya dituntut berusaha sekuat tenaga.
Memang tidak ada korelasinya antara berlari-lari dengan mendapatkan air. Tapi di situ melalui Siti Hajar kita sedang diajari tentang pentingnya berusaha. Bisa saja Allah Swt. Yang Maha Kuasa langsung menunjukkan letak di mana sumber air berada, namun Dia hendak melihat seberapa taqwa hamba kepada-Nya. Dari peristiwa yang dialami oleh Siti Hajar ini umat muslim setiap tahunnya menapaktilasinya dalam rangkaian ibadah haji berupa sai. []
Sumber:
Pengajian Ahad Kedua bulan Rabi’ul Awal 1443 H. di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya pada Minggu, 17 Oktober 2021 pukul 09.30 WIB.
Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, (Haidar Abad: Majlis Dairah Al-Ma’arif, 1344 H.), vol. 2, hal. 14.
Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari, Fath Al-Mu’in, (Surabya: Al-Haramain, 2003), 3.