Dunia Islam abad 20 ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan. Negara jajahan juga harus di transformasi dan di modernisasi mengikuti kemajuan Eropa, kehidupan finansial dan komersialnya di rasionalisasi dan dimasukkan kedalam sistem Barat, dan setidaknya beberapa orang pribumi harus dibuat akrab dengan ide-ide dan etos modern.
Mereka yang tersisih dari proses modernisasi merasakan pengalaman yang menganggu menyaksikan negara mereka menjadi sangat asing. Mereka diperintah dengan hukum sekuler asing yang tidak mereka pahami. Yang terpenting, penduduk lokal dari semua lapisan masyarakat merasa kecewa dengan kenyataan bahwa mereka tidak bisa lagi menentukan nasib sendiri. Mereka merasa telah kehilangan semua bentuk hubungan dengan akar mereka, dan merasa kehilangan identitas keIslamannya.
Melihat fenomena hal semacam ini, muncullah kemudian pembaharu di dunia Islam. Salah seorang yang pertama kali menyerukan pembaruannya adalah aktivis dari Iran, Jamaluddin Al-Afghani (1839- 1897). Dia melihat bahaya meniru mentah-mentah kehidupan Barat dan meminta warga dunia Islam untuk bersatu melawan ancaman Eropa. Mereka harus membangun budaya ilmu pengetahuan dalam dunia baru dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka harus memupuk tradisi budaya mereka sendiri, artinya Islam. Islam harus merespons kondisi yang telah berubah dan menjadi lebih rasional dan modern. Umat Islam harus menentang penutupan pintu ijtihad dan mempergunakan nalar mereka sendiri, seperti yang dikehendaki Nabi dan Al-Qur’an. Inilah yang mengawali bangkitnya pembaharuan pemikiran Islam pada periode modern.
Secara garis besar, pemikiran Al-Afghani, tentang Pan Islamisme mengandung dua dimensi yakni, spirit untuk melawan kolonialisai Barat di dunia Islam dan spirit untuk melawan tirani pemerintahan. Dalam mewujudkan gagasannya tersebut, selain menganjurkan umat Islam untuk bersatu, dia juga mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, dengan menggali nilai-nilai universalnya (membuka kembali pintu ijtihad). Selain itu, umat Islam juga perlu mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dalam konteks umat Islam seharusnya tidak anti modernitas, melainkan selama hal tersebut tidak bertentangan dengan religius-etis Islam, maka sepatutnya (wajib) dipelajari.
Sekurang-kurangnya, jika melakukan rekonstruksi pemikiran Al-Afghani, kita akan menemukan relevansinya pada persoalan bangsa Indonesia saat ini, seperti perpecahan umat Islam Indonesia yang terbagi dalam berbagai aliran dan organisasi yang, kadangkala menimbulkan perpecahan dan konflik disebabkan oleh fanatik aliran dan golongan yang berlebihan. Selain itu, Indonesia saat ini juga sedang mengalami ancaman disintegrasi. Karena itu, bagaimana kemudian aktualisasi gagasan Al-Afghani dapat diwujudkan dalam bentuk penguatan kembali solidaritas sesama umat Islam, rekonstruksi nalar pemikiran umat Islam dalam menyikapi khazanah Islam klasik (membuka pintu ijtihad), dan bersikap bijak dalam menghadapi modernisasi.
Nalar Pembaharuan Al-Afghani (Pan Islamisme)
Al-Afghani adalah tokoh penting dalam pembaharu Islam. Ide-nya masih tumbuh subur hingga saat ini. Terutama tentang Pan Islamisme, yang menyerukan persatuan umat Islam demi terwujudnya kesejahteraan umat. Pan Islamisme Al-Afghani mengandung dua dimensi: Pertama, sebagai perlawanan atas intervesi dan dominasi Barat dengan, berpegang pada tema-tema ajaran Islam sebagai stimulasinya. Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan yang tidak pro rakyat.
Al-Afghani merupakan salah satu tokoh pertama kali yang menyatakan, harus kembali pada tradisi Muslim dengan cara yang sesuai dari berbagai problem penting yang muncul akibat Barat yang semakin mengusik Timur Tengah di abad ke-19 saat itu. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tidak kritis di satu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap Barat di lain pihak, Al-Afghani menjadi perintis penafsiran ulang Islam yang menekankan kualitas yang diperlukan di dunia modern, seperti penggunaan akal, aktivisme politik, serta kekuatan militer dan politik. Menurutnya, perjuangan yang dihadapi oleh modernisme Islam merupakan kebutuhan untuk menciptakan pengertian solidaritas kelompok dalam rangka memperkuat kosntitusi moral kaum Muslimin.
Sebenarnya inisiator idiologi dalam konteks Pan Islamisme cukup banyak dalam Islam. Namik Kemal, dia lah yang pertama kali menulis pembelaan intelektual modern mengenai persatuan Islam, suatu fase yang di Barat diterjemahkan sebagai Pan-Islamisme. Mungkin, para sarjana Muslim dan Barat jauh lebih mengenal Al-Afghani ketimbang Namik Kemal sebagai perintis utama “Pan-Islamisme”. Alih-alih bukan Al-Afghani yang merintis, malah popularitasnya semakin meningkat setelah kematiannya. Tulisan-tulisan tentang Al-Afghani dalam konteks Pan Islamime mendapat proporsi kajian yang meluas.
Meski demikian, pemikiran Al-Afghani memiliki dimensi nilai universalitas yang tidak terikat dengan ruang dan lokus tertentu. Karena idenya bukan semata konsep kosong, tetapi juga telah mengalami pengujian yang panjang dalam proses dialektika dengan lokus yang beragam, mulai dari Afghanistan, Mesir, India, Iran, Prancis, Inggris, dan lainnya. Kendati demikian, dia digolongkan sebagai pembaharu di Mesir, mengingat pengaruh yang paling besar berdampak di Mesir.
Perjalanannya yang berpindah dari satu tempat ketempat lainya (Setelah diusir dari Mesir, Al-Afghani semakin gencar menyuarakan urgensitas persatuan Islam. Ide-idenya dituangkan dalam majalah Al-Urwa Al-Wutsqa. Artikelnya yang paling fenomenal berjudul Al-Wahda Al-Islamiyah.), telah membentuk pribadinya yang menjunjung nilai toleransi, khususnya terkait perbedaan antara Syi’ah dan Sunni, mengingat dia besar dalam lingkungan Syi’ah, namun dalam residennya yang berpidah-pindah, dia sering menjalin kontak dengan kalangan Sunni. Dia kemudian berambisi untuk menjembatani perbedaan antar dua golongan tersebut. Menurut Al-Afghani, perbedaan antara Syi’ah dan Sunni adalah problem historis yang sudah tidak relevan dalam konteks modernitas. Konflik perbedaan itu hanya merusak solidaritas umat. Oleh karenanya, modus yang dapat mengakomodasi nilai dari keduanya perlu di kedepankan demi terwujudnya persatuan umat Islam.
Ketika melakukan perjalanan di beberapa negara dengan kultur keIslaman, Al-Afghani menemukan fakta penting adanya intervensi Barat yang kuat dalam konstalasi politik negara mereka. Dia kemudian menyuarakan pentingnya upaya revolusi terhadap tirani yang korup dan resistensi atas intervensi Barat. Keduanya dapat diwujudkan jika umat Islam bersatu padu. Jadi secara garis besar, pemikiran politik Al-Afghani tentang Pan-Islamisme mengandung dua dimensi perlawanan. Pertama, upaya mobilisasi umat Islam yang simultan untuk melawan agresi Eropa. Kedua, melawan tirani pemerintahan yang korup.
Tak hanya itu, Pan Islamisme juga bertujuan untuk melepaskan umat Islam dari cengkraman bangsa Barat. Kemajuan umat Islam tidak akan berhasil jika umat Islam masih terpuruk dalam perpecahan. Oleh karena itu, Al-Afghani mengajak umat Islam: pertama, kembali pada Al-Qur’an, menghilangkan fanatisme mazhab, menghilangkan taqlid golongan. Kedua, mengadakan ijtihad terhadap Al-Qur’an. Ketiga, menyesuaikan prinsip Al-Qur’an dengan kondisi kehidupan umat. Keempat, menghilangkan khurafat dan bid’ah. kelima, mengambil peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan Barat yang positif sesuai dengan Islam, serta menciptakan satu pemerintahan Islam yang berhubungan satu dengan yang lainnya.
Walaupun Al-Afghani tidak memiliki program yang jelas atau filsafat yang teratur, dalam dirinya tersimpan sebuah kekuatan yang dapat mendorong orang lain untuk melakukan suatu gerakan. Mulai saat itulah muncul gerakan kebangkitan Islam. Al-Afghani lah yang menjelaskan kebobrokan umat Islam, dan yang menerangkan bahwa dunia Islam (bukan hanya satu bagian saja) sedang terancam. Para pembaharu Islam sebelum dirinya, memberikan penjelasan mengenai sebab kelemahan dunia Islam dari segi agama dan takdir. Sedangkan Al-Afghani menafsirkannya dari sudut tinjauan peradaban. Karena itu, Al-Afghani mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahan, dan mengadopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi, karena dialah yang mengancam Islam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal yang positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.
Sementara itu, tujuan utama gerakannya adalah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam, termasuk Persia yang Syi’ah di bawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Oleh karena itulah, dia menyerukan niatnya ini dengan pena dan lidahnya untuk menyatukan pemikiran Islam. Inilah yang dia sampaikan dari satu negara ke negara yang lain. Dia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Lebih dari itu, Al-Afghani, telah menyadarkan mereka bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah belah.
Dari sini akhirnya kita tahu, bahwa pemikiran Al-Afghani layak kiranya mendapatkan apresiasi positif. Mengingat, pemikiran itu adalah hasil dialektika dengan realitas yang beragam dan tidak terikat dengan lokalitas tertentu. Namun untuk mengaplikasikan pemikirannya, khususnya dalam konteks Indonesia, tidak bisa dilakukan secara literlek tanpa melihat dan membandingkan konteks sosio-historis dengan realitas kekinian. Lahirnya gagasan Al-Afghani tentang Pan Islamisme, berangkat dari kesadaran akan kolonialisasi Barat terhadap negara-negara Islam disatu sisi, dan kondisi umat Islam yang terjebak dalam belenggu keterbelakangan di sisi lainnya. Oleh karena itu, umat Islam haruslah bersatu agar terlepas dari kondisi problematik tersebut. []