Hikmah

Ramadan Bulan Penuh Kesunyian

Akhirnya kita kembali tiba di bulan Ramadan tahun ini, kendati ternyata batin saya sendiri merasa masih belum banyak persiapan yang saya lakukan untuk menyambut bulan Ramadan yang agung ini dan jatuh di tengah hari-hari kita sejak hari ini dan selanjutnya—semoga tidak demikian dengan Anda. Seolah-olah rasanya—entah—dalam batin saya pribadi yang paling dalam, sungguh benar-benar belum siap menyiapkan diri bagi keagungan Ramadan yang tiba.

Namun yang namanya waktu terus bergulir kendati kita belum menyiapkan apapun, bulan Ramadan akan ada dan hadir dalam ruang waktu kita tanpa kita mempersiapkan segala sesuatu untuk menjamunya dengan penuh rasa, minimal rasa bahagia. Di luar itu, kita patut bersyukur alhamdulillah, kita sangat bersyukur karena masih bisa dipertemukan dengan bulan Ramadan ini, bulan Ramadan ini begitu indah. Ribuan nikmat Allah dituangkan ke bumi di bulan ini, dan sungguh raga dan jiwa yang bersih nan sunyi dari loba yang akan menikmati nikmat tersebut.

Dari sisi ruang batin, perihal yang paling mengesankan daripada bulan Ramadan sebagaimana yang telah kita alami di masa yang lalu adalah kesunyiannya. Ya, kesunyiannya. Kesunyian pada bulan Ramadan itu begitu indah dalam nuansa batin, begitu syahdu dalam kalbu, bila kita mau dan berkenan disentuhkan atau menyentuh perenungan akan alam semesta ciptaan Allah, kendati tak perlulah kita secara langsung memikirkan Allah. Cukuplah sebagai mukadimah, kita merenungkan tubuh dan batin kita sendiri kaitannya dengan seluruh persoalan yang diciptakan-Nya.

Kesunyian Ramadan adalah kesunyian di mana kita bisa mengurangi banyak hal, terutama mensunyikan keinginan-keinginan yang merugikan badan, dan mengeruhkan batin.

Pertama, persoalan badan. Di antaranya ialah persoalan makan dan seks. Makan membutuhkan tubuh seperti tangan, mulut, pencernaan, perut, demikian juga seks, ia butuh fisik, seperti badan, kepala, tangan, alat kelamin, dan juga tenaga. Ya keduanya adalah persoalan yang butuh tubuh. Di bulan kesunyian Ramadan, keduanya diwajibkan sunyi, kita dapat mengurangi banyak perilaku yang berkaitan dengan tubuh tersebut, dan bergantung juga pada perasaan ingin, rasa ingin, atau yang biasa kita sebut sebagai nafsu. Ulama fikih mengatakan bahwa asal dari makan dan seks tidaklah semerta-merta sunnah, karena seandainya Rasulullah SAW tidak makan dan tidak menikah, kita tidak akan mendapatkan kesunnahan, kesunnahan dari membaca doa-doanya, kesunnahan dari bagaimana makan bisa menyehatkan diri supaya kuat di dalam melakukan ibadah, dan kesunnahan daripada menikah sebagai perilaku yang beradab daripada melalukan hubungan yang meningkahi binatang.

Baca Juga:  Ramadan Bulan Ampunan

Ramadan telah tiba, wahai, kekasih. Kita harus menjaga kondisi badan dari yang diinginkan berahi, dan mengalihkannya kepada persoalan tubuh yang dapat mendekatkan diri kepada Ilahi.

Kedua, Ramadan sebagai bulan yang penuh kesunyian. Ia adalah sebuah dunia yang tersendiri dan sunyi dari keriuhan. Bagi seorang penyair, bulan Ramadan adalah bulan yang sunyi saat kita bisa menyatukan dengan intimnya kesunyian untuk melihat diri kita dengan batin kita yang telah dirapuhkan oleh segala bentuk kelaliman diri selama ini, dan juga untuk melihat sesuatu yang berada di luar diri kita. Itulah hal penting di dalam bulan Ramadan.

Ada banyak perihal penting lain terutama bagaimana kita dapat menyempurnakan ibadah kita yang dari awal biasanya bolong mengingat Allah, dari yang dari awal kurang khusyuk saat bersujud kepada-Nya, dan dari yang dari awal merasa masih belum maksimal dalam melakukan ritual syariat, thariqat, hingga yang benar-benar pada puncaknya sebuah tujuan ibadah. Kita dapat menyatukan diri lewat ibadah dalam penuh kekhusyukan Ramadan yang penuh kesunyian ini.

Begitu juga bagaimana kita harus banyak belajar kepada kesunyian Ramadan. Tradisi belajar yang efektif memanglah berada dalam kesunyian, bukan? Belajar tidak akan mungkin efesien dengan melakukannya di tengah keramaian, kecuali konsepnya musyawarah. Belajar kepada kesunyian tentu saja belajar dalam keheningan diri dalam Ramadan dengan memandang ilmu pengetahuan dalam permenungan demi permenungan. Oleh karena itu, Ramadan juga mengajak kita untuk belajar memaknai setiap apa yang kita baca, apa yang kita dengar, apa yang telah kita ketahui, dan apa yang telah kita pahami, untuk mengolah kembali semua hal tersebut menjadi lebih bermakna dan mencapai kearifannya. Maka, hakekat daripada makna kesunyiannya adalah menghidupkan rasa untuk menguatkan jasmani dan meneguhkan rohani.

Baca Juga:  Balagh Ramadan Online, yang Ada dan yang Tiada

Hari ini kita mulai berpuasa Ramadan 1441 H. Selamat datang kesunyian jiwa dan raga di dalam diri kita masing-masing yang hanya kita masing-masing dan Allah saja yang tahu. [HW]

Raedu Basha
Penulis Buku “Hadrah Kiai”, Penyair tinggal di Madura.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Hikmah