Jika kita kembali telisik biografi-biografi pakar bahasa Arab, akan ditemui banyak sekali dari mereka adalah orang-orang Persia (Furs). Sebutlah, Sibawaih, Abu Ali al-Farisi, Abdul Qahir Al-Jurjani, Muhammad ibn Abi Bakr Al-Razi, Imam Az-Zamakhsari, dan lain sebagainya.
Hampir kebanyakan penjaga ilmu-ilmu Islam adalah orang-orang Persia. Di Nahwu ada Sibawaih. Di Balaghah, ada Abdul Qahir al-Jurjani. Di Tafsir, ada Imam Az-Zamakhsari, Fakhruddin al-Razi, Qadhi al-Baidhawi. Di Tasawuf, ada Imam Junaid al-Baghdhadi. Di Mantiq, Ibnu Abdillah al-Katiby, Sa’ad al-Din Mas’ud bin Umar bin Abdullah al-Taftazani. Di Aqidah, ada Adhuddin al-Iji. Belum lagi di ilmu falsafah dan kedokteran, ada Ibnu Sina (Avicenna), Abu Bakar al-Razi. Ali Zainal Abidin, ahlul bait “Keluarga Nabi” yang paling alim dan zahid itu, Ibunya orang Persia, istri Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Tak hanya Imam Junaid al-Baghdhadi, di tasawuf ada juga Imam al-Ghazali. Kita tahu, Hujjatul Islam yaitu al-Ghazali juga lahir di Persia. Siapa yang kenal dengan salah satu filsuf, teolog, dan sufi ini. Sungguh naif rasanya kalau para pelajar dan pemikir Islam tak mengenalnya. Tulisan-tulisannya menyebar kemana-mana, ada Ihya Ulumuddin, Al-Munqid Min Ad-Dhalal dan masih banyak yang lain. Satu buku al-Ghazali yang membuat para filsuf juga tak habis mengkritiknya, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof). Buku ini tentu menuai kontroversi.
Dalam buku itu, al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam. Menurutnya, banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, teruma karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Karna itu, al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), secara tidak langsung kepada Aristoteles, guru mereka. Kekeliruan Filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan. Dari dua puluh itu, tiga persoalan yang dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal tersebut sangat berlawanan dengan pendirian semua kaum muslimin. Pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tak berawal. Kedua, Tuhan tidak mengetahui princian atau hal-hal yang pertikular (juzziyat) yang terjadi di alam. Ketiga, Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat.
Membicarakan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat islam, tentu tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama sang Hujjatul Islam. Orangnya unik, memiliki berbagai hal kemampuan mumpuni dibidang pengetahuan. Karena itu, tak mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof, tak terkecuali sebutan sufi. Banyaknya sebutan yang dialamatkan terhadapnya mencerminkan keilmuannya yang begitu luas. Kita bisa melihat khazanah keilmuan al-Ghazali dari karyanya yang sangat banyak yang masih tersimpan hingga saat ini.
Imam al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali At-Thusi (W 505/1111). Ia adalah seorang Ulama yang hidup pada saat pemikiran keagamaan di dunia Islam sedang mengalami perkembangan dan keberagaman yang pesat. Lahirnya berbagai pemikiran dan gagasan dari al-Ghazali memberi warna dan corak intelektualitas di dunia Islam.
Disatu pihak, ia dikenal sebagai “Hujjatul Islam” dan disanjung-sanjung karena dinilai telah berhasil mempertahankan ajaran islam dari berbagai pengaruh, dengan argumentasi yang jitu dalam menghadapi berbagai golongan filosof yang mendewakan rasio yang banyak dipengaruhi perkembangan filsafat yunani. Di pihak lain, ia menghadapi ajaran kebatinan yang merajarela saat itu, dan mengabaikan ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi.
Disamping dipuja, ia juga dinilai oleh para ahli takwil sebagai biang kemunduran Islam, karena dianggap orang yang anti filsafat. Namun, terlepas dari penilaian yang berbeda-beda, kenyataannya pemikiran al-Ghazali banyak diikuti masyarakat Islam. Karya-karyanya tidak berhenti dibicarakan hingga sekarang, terutama Ihya Ulumuddin yang berisi filsafat etika dan tasawuf, banyak dipelajari oleh umat Muslim maupun Non Muslim . Pemikirannya tidak hanya mencakup ilmu agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan secara umum. Pengaruh pemikiranya tidak hanya mencakup wilayah Timur, tetapi juga di dunia Barat.
Akhirnya, Setelah melakukan perjalanan ilmiahnya, melakukan kritik terhadap berbagai aliran pemikiran Islam saat itu, dan mencari kelebihan dan kelemahan masing-masing aliran, al-Ghazali akhirnya menemukan tambatan hatinya dalam disiplin keilmuan tasawuf. Al-Ghazali menilai, hanya kelompok sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Dia adalah pemilik keadaan, bukan orang-orang yang hanya ahli berkata-kata. Metode yang ditempuh olehnya adalah metode “praksis” dan “teoritis”- amal dan ilmu sekaligus. Ini memberikan bukti bahwa, al-Ghazali tak hanya mengadopsi tasawuf falsafi, tapi juga tasawuf huluqi amali.
Melalui bukunya, Al-Munqid Min Ad-Dhalal, al-Ghazali memberikan pernyataan jelas: Aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa orang-orang sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Prilaku mereka adalah sebaik-baik prilaku. Jalan hidup mereka adalah sebaik-baik jalan hidup. Akhlak mereka adalah sebersih-bersihnya akhlak. Bahkan, jelas al-Ghazali, sekiranya digabungkan antara akal para filsuf, dan ilmu para ulama yang memahami rahasia-rahasia syari’at untuk mengubah dan menggantikan prilaku dan akhlak para sufi dengan yang lebih baik, mereka tidak akan mampu melakukanya.
Akhirnya, kita tahu al-Ghazali memang merupakan sosok yang sangat unik dan menarik. Ini dapat dilihat dari perjalanan hidupnya dalam mencari hakikat kebenaran. Mulai dari tasawuf, kemudian berpindah kepada kalam, filsafat, kembali lagi ke tasawuf, dan di akhir kehidupannya, ia kembali ke Mazhab Salaf. []
Tolong hilangkan kata kata dan diakhir hidupnya kembali ke manhaj salaf, memangnya Imam kapan Ghazali pernah ingkar ?