Bangil merupakan kecamatan yang memiliki kekayaan khazanah intelektual yang besar. Julukan kota santri juga sangat tepat jika jatuh pada kota kecil ini, karena hampir di setiap sudut perkampungan ada pesantren-pesantren yang cukup besar dan sarat bersejarah. Ulama-ulama yang berada di Bangil juga salah satu bagian dari guru para ulama di Jawa Timur ini. Ke khas an yang lebih dekat lagi adalah varian suku yang ada, di antaranya Arab, Cina, Jawa serta Madura, bahkan ras Arab memiliki semacam perkampungan tersendiri (kampung yang banyak orang Arabnya).
Berbicara tentang pesantren, dalam sejarah Bangil memiliki pesantren yang sangat tua usianya, kurang lebih berusia 300 tahun lebih. Di lihat sisi arsitektur bangunan, pesantren tersebut memang memiliki usia yang sudah tua. Pesantren yang bertempat di kelurahan Gempeng Bangil ini diberi nama Pondok Cangaan. Komplek atau ribat yang ada menggunakan nama asal daerah, yaitu kamar/ribath/komplek Madura, Bangkalan, Jawa. Dilihat dari nama-nama ribath atau komplek yang ada di pondok tersebut, bisa di indikasi, kemungkinan yang nyantri di pondok Cangaan adalah se asia tenggara. Karena penyebutan kata Jawa pada masa Mbah Hasyim Asyari, meliputi Indonesia, bahkan penduduk melayu sekitar nya, yaitu Brunai dan Malaysia.
Pondok Cangaan menyimpan sejarah yang luar biasa. Pendiri pondok tersebut adalah wali Allah yang memiliki julukan Mbah Lowo Ijo (makamnya di Diwet Pogar), dengan nama asli Syekh Jalaluddin atau Syekh Abdul Qodir. Diberi julukan Mbah Lowo Ijo karena saat di kejar-kejar penjajah beliau menjelma menjadi Lowo Ijo. Dalam cerita yang lain disebutkan, julukan Lowo Ijo itu karena saat 10 ke tiga bulan Ramadan beliau melakukan sholat dan munajat di ranting-ranting pohon bahkan dedaunan. (wallahu a’lam).
Santri yang belajar di pondok Cangaan ini juga ulama-ulama besar, bahkan guru dari para kyai, diantaranya adalah Syaikhona Kholil Bangkalan (guru dari Hadrotus Syekh KH Hasyim Asyari/pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama). Saat beliau nyantri di pondok Cangaan, pengasuh nya adalah KH Abdul Lathif, nama yang sama dengan ayahandanya. Ketika nyantri di Cangaan usia Saikhona Kholil masih tujuh tahun, ada yang mengatakan 9 atau 12 tahun. Selain beliau juga ada lagi ulama-ulama besar seperti KH Chasbulloh (ayah dari KH Abdul Wahab Chasbulloh/pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama), juga Hadrotus Syekh Hasyim Asyari melakukan tabarukkan nyantri di Cangaan, bahkan pendiri pondok pesantren Gontor.
Sebagai santri istimewa dan kinasih, Syaikhona Kholil memiliki jejak sejarah serta keberkahan yang masih bisa dirasakan secara riil hingga saat ini. Keberkahan ilmu tentu kita rasakan, karena sanad keilmuan yang turun kepada KH Hasyim Asyari selaku pendiri NU dan juga KH Abdul Wahab chasbulloh masih diterima hingga kini oleh semua santri kalangan Nahdliyyin. Di pondok Cangaan ada peninggalan dari Saikhona Kholil, yaitu kamar beliau saat nyantri, yang sampai saat ini masih dijadikan tempat tabarukan. Juga ada sumur yang digali oleh beliau sendiri, saat Bangil dilanda kemarau panjang, Syaikhona Kholil di utus untuk menggali sumur, yang airnya bisa dinikmati oleh semua santri, bahkan penduduk sekitar Bangil kala itu. Peninggalan yang menakjubkan lagi adalah kenthongan. Sejak masih santri yang bisa dibilang tumbuh remaja Syaikhona Kholil sudah menunjukkan karomahnya. Kenthong yang jika di bunyikan dari pondok Cangaan oleh beliau, suaranya akan sampai terdengar di Bangkalan Madura.
Pondok Cangaan ini memiliki sanad keilmuan yang turun temurun dari muassis terdahulu di bidang ilmu tauhid. Ada referensi kitab yang tertulis tangan serta bermakna Jawa pego di kitab tersebut. kitab tersebut tidak tercetak secara umum, hanya digandakan jika ada yang ingin mengaji kitab tersebut ke salah satu pengasuhnya. Khazanah keilmuan yang sangat jelas sanadnya, dari antar generasi yang ada pondok Cangaan. Sehingga bisa dikatakan jika santri Cangaan memiliki wawasan ilmu tauhid secara spesifik.
Sebagai pondok yang cukup tua, ada ciri khas yang dimiliki yaitu pohon sawo. Pohon Sawo yang ada di pondok Cangaan memiliki cabang tiga dari akarnya. Menurut dzurriyyah-nya, pohon sawo tersebut lambang dari ilmu tauhid itu sendiri (sifat wajib, sifat jaiz, serta sifat muhal Allah). Karena di pondok Cangaan semua santri akan mempelajari kitab tauhid yang dikarang oleh pendirinya, serta di ajarkan secara turun temurun. Pondok Cangaan ini telah melahirkan ulama besar yang barakahnya, karamahnya, ilmunya bisa kita rasakan sampai saat ini. [HW]