Dalam peran kepemimpinan, sosok istri khalifah selalu menempati posisi sekunder bagi historian, padahal ia menempati posisi strategis untuk mempengaruhi “telinga” penguasa. Dengan kata lain, istri pemimpin, adalah lapis pertama dalam dinamika kepemimpinan itu sendiri. Zubaidah binti Ja’far, namanya mungkin masih samar dan terbalut dalam kabut ketidaktahuan, namun cahayanya bersinar terang, menjadi bintang yang menyinari jagad sejarah Dinasti Abbasiyah.
Dia adalah sosok yang jejaknya terukir di setiap sudut pemerintahan, merajut banyak inovasi yang tak tertandingi pada era kepemimpinan suaminya, Khalifah Harun Ar-Rasyid. Ia berhasil menorehkan sejarah bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan nyata. Salah satu mahakarya yang dilahirkannya adalah ‘Mata Air Zubaidah’, sebuah oase yang tak hanya mengalirkan air kehidupan, tetapi juga menjadi warisan abadi dalam sejarah peradaban Islam.
Pada tahun 766 M, di sebuah kota yang dijuluki “Mutiara di Utara”, Mosul, Irak, lahirlah seorang putri dari pasangan Khalifah Ja’far Al-Mansur, sang penguasa kedua Dinasti Abbasiyah dan Salsabil. Konon, nama Zubaidah bukanlah nama aslinya, melainkan Ummul Aziz. Nama Zubaidah tidak lain adalah panggilannya di waktu kanak-kanak dikarenakan kulitnya yang seputih salju dan karakternya yang lembut bak embun di pagi hari.
Di usianya yang masih belia tepat 15 tahun, Zubaidah dipersatukan dalam sebuah ikatan suci pernikahan dengan seorang khalifah berpengaruh Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun Ar-Rasyid, pada tahun 781 M. Perjalanan hidupnya terus berlanjut hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya di bumi Baghdad pada usia 65 tahun dan dikebumikan di pemakaman Quraisy, meninggalkan jejak sejarah dalam benak setiap jiwa.
Dalam lembaran sejarah yang terukir indah di buku berjudul ‘Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah’ karya K.H. Husein Muhammad, Zubaidah binti Ja’far merupakan sosok wanita cemerlang dengan peran tak ternilai dalam pemerintahan. Sosoknya bagai cahaya purnama yang memandu langkah suaminya dalam menjelajahi lebar cakrawala inovasi demi kemajuan peradaban Islam.
Zubaidah, sosok penghafal Al-Qur’an yang mencintai ilmu pengetahuan terutama di bidang sastra. Di istananya yang megah, ia membuka pintu bagi para sastrawan, termasuk Abu Nawas, sang penyair terkenal yang mengemas candaan dalam untaian-untaian kata dalam kisah 1001 malam. Kecintaan Zubaidah terhadap keindahan sastra terlihat jelas dengan kaligrafi memukau yang menghiasi dinding-dinding kamarnya. Kaligrafi yang berisi puisi-puisi indah yang menyimpan cerita dan hikmah dari hati yang penuh cinta.
Zubaidah mengajukan beragam inovasi guna memajukan peradaban, salah satunya sebuah perpustakaan megah yang kelak dikenal dengan ‘Baitul Hikmah’, sebuah benteng ilmu, oasis pengetahuan dan kultur bagi umat Muslim pada zamannya. Tak berhenti sampai di situ, Zubaidah juga membuka ruang berfikir dan berdialog dengan mendirikan Majelis Mudzakarah, sebuah lembaga di mana para cendekiawan berbincang dan berdiskusi mengenai dilematis keagamaan, saling bertukar fikiran mengenai persoalan spiritual dan sosial.
Kejayaan pemerintahan Harun Ar-Rasyid tak terpisahkan dari jejak sang istri. Inovasi dan gagasan Zubaidah menjadikan masa pemerintahannya penuh dengan kejayaan yang tak terlupakan. Kebijakan-kebijakan yang lahir dari buah pikir Zubaidah, tidak hanya memperkuat kedudukan sang suami di pentas sejarah, melainkan juga memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini menjadikan Zubaidah sebagai sosok primadona di mata rakyat karena senantiasa mendengar derai suara hati mereka dan menghadirkan perhatian atas setiap kebutuhan mereka.
Di balik kehidupan megah di istana, Zubaidah tak terbuai oleh gemerlap harta. Ia tumbuh menjadi sosok dermawan yang tak hentinya menebar kebaikan. Zubaidah berhasil menciptakan mahakarya inovatif pada masanya, yang dikenal dengan ‘Ain Zubaidah’. Saluran air yang membentang sejauh puluhan kilometer, menembus pegunungan dan padang pasir. Mengalir dari Kufah menuju Rafha, kemudian mengalir menuju Fida. Dari Fida, aliran air menyusuri ar-Rabdzah hingga sampai di kota Mekah dan berakhir di Mina setelah melewati Muzdalifah.
Mahakarya ini mulai terbentuk sekitar tahun 791 M. Walaupun memerlukan biaya pembangunan yang mencapai 1.500.000 – 1.700.000 dinar, mahakarya ini lahir sebagai bentuk kepedulian Zubaidah terhadap kesulitan yang melanda jamaah haji dalam mencari air di tengah perjalanan suci mereka sehingga tak lagi diwarnai dengan dahaga di bawah terik matahari. Mahakarya ini menjadi sebuah warisan berharga dalam sejarah peradaban Islam yang lestari di bawah perlindungan pemerintahan setempat.
Sosok Zubaidah ini kembali menegaskan bahwa di balik pemimpin yang hebat ada sosok perempuan yang ikut menggerakkan roda sejarah menuju kemajuan. Ia bukan hanya bersembunyi di balik nama besar, tetapi juga bersinar dalam sejarah. Zubaidah, dengan segala kepintarannya dan dedikasi yang tak tergoyahkan, berhasil mengukir sejarah gemilang di Dinasti Abbasiyah. Ia adalah simbol kekuatan perempuan yang tidak hanya mendukung, tetapi juga menciptakan gagasan yang dapat mengubah jalannya sejarah.
Zubaidah, sosok dalam bayang-bayang kelembutan yang menyimpan jiwa yang cemerlang dan intelektual. Zubaidah bukan hanya sekedar istri, tetapi sosok pejuang yang mengukir sejarah yang akan dikenang sepanjang masa. Dengan ketekunan dan kebijaksanaannya, Zubaidah berhasil menorehkan warna pada lembaran kehidupan dengan menciptakan harmonisasi antara kekuasaan dan kebajikan.
Zubaidah binti Ja’far, berhasil mengukir jejak di bidang kontruksi yang mampu membangun panggung peradaban dengan visi yang cemerlang. Setiap tetes air yang mengalir menggambarkan bentuk dedikasi seorang perempuan yang meski tidak selalu tampak di depan, berperan penting dalam simfoni kejayaan. Sosoknya menjadi pelopor dalam menuntun langkah-langkah penuh mimpi dan harapan untuk masa depan yang lebih gemilang. Zubaidah binti Ja’far, jejaknya akan selalu dikenang sebagai salah satu sosok perempuan tiada tara dalam sejarah peradaban Islam. [RZ]