Kegiatan ToT moderasi beragama yang dilaksanakan di UIN Sunan Gunung Jati Bandung, tanggal 18-24 Desember 2023, benar-benar di luar dugaan sebagian besar para peserta, baik terkait dengan proses kegiatannya yang menyenangkan, maupun isinya yang mencerahkan. Tiga fasilitator yang menemani kelompok satu tempat saya berada di dalamnya, yakni bapak Martin Lukito Sinaga, bapak Efa Ainul Falah dan bapak Salehuddin benar-benar membimbing peserta tentang bagaimana menjadi pelatih moderasi beragama. Mulai penguasaan beberapa materi penting, seperti materi udar asumsi yang menyadarkan kita betapa banyak orang selalu memulai berfikirnya dengan asumsi yang lemah, tidak berdasarkan data dan bahkan tendensius; analisis sosial Gunung Es dan Proses U yang digunakan untuk membedah keberagamaan di masyarakat; sampai bagaimana menguasai forum pelatihan.

Sementara narasumber yang didatangkan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang moderasi beragama, seperti Hasanuddin Ali yang menyampaikan peta keberagamaan di Indonesia, Sahiron Samsuddin yang menyampaikan landasan teologis moderasi beragama, dan Lukman Hakim Saifuddin yang menyampaikan materi inti moderasi beragama, benar-benar menyadarkan kita betapa agama dan beragama itu sebagai dua hal yang berbeda. Agama itu Tunggal karena ia datang dari Tuhan yang Maha Tunggal (Esa), sementara beragama itu beragam karena ia merupakan hasil ekspresi keyakinan, pemahaman dan amaliah manusia yang beragam dalam segala hal.

Menurut Hasanuddin Ali, keragaman masyarakat Indonesia yang kini terbagi menjadi masyarakat generasi X, generasi Mellenial dan generasi Z, berbeda-beda dalam mengekpresikan keberagamaannya di ruang publik. Tentu saja, perbedaan keberagamaan mereka itu tidak hanya disebabkan oleh perbedaan realitas yang menurut tesis Ali realitas mempengaruhi kehidupan beragama. Perbedaan itu menurut Sahiron Samsuddin juga disebabakan oleh perbedaan pendekatan yang digunakan masing-masing orang dalam memahami kitab suci agama yang mengandung ragam makna itu. Bahkan, menurut Laukman Hakim Saifuddin, perbedaan itu juga disebabkan oleh perbedaan sejarah hidup manusia itu sendiri yang mengalami perkembangan terus menerus. Karena itu, wajar jika di antara mereka, ada yang beragama secara radikal, ada yang beragama secara rasional, ada yang beragama secara moderat dan sebagainya.

Keragaman beragama itu tidak menjadi masalah selama mereka menjalankan keberagamaanya secara damai, humanis dan membawa kemaslahatan bagi manusia yang dalam bahasa al-Qur’annya disebut sebagai rahmat bagi sekalian alam. Namun fakta di lapangan saat ini menunjukkan arah sebaliknya, karena munculnya riak-riak kecil yang jika dibiarkan justru akan mengganggu kehidupan bergama, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang ber-Bhinnika Tunggal Ika ini. Riak-riak kecil itu dipertontonkan oleh mereka yang beragama secara radikal yang acapkali menghantam secara serampangan keyakinan pihak lain, paham kebangsaan bahkan bernegara yang merupakan kesepakatan bersama para pendiri negara NKRI ini. Belum lagi jika keberagamaan yang radikal itu dibumbui kepentingan politik praktis sebagaimana terjadi pada pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu.

Baca Juga:  Moderasi Beragama di Era Pandemi

Keragaman keberagamaan sekaligus menguatnya keberagamaan yang radikal ini sejatinya menyadarkan kita betapa pentingnya penguatan moderasi beragama di masyarakat yang multikultur dan multireligius seperti Indonesia ini yang kini siap-siap menyongsong masa depan Indonesia Emas. Mantan Menteri Agama RI (2014-2019), Lukman Hakim Saifuddin adalah salah satu tokoh yang getol memperomosikan pemikiran moderasi beragama di Indonesia yang salah satu tujuannya adalah untuk mengimbangi derasnya gerakan radikalisme beragama yang bisa mengganggu kehhidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Gagasan ini kemudian ditransformasikan secara massif oleh Menteri Agama berikutnya (2020-2024), Yaqut Cholil Qoumas, melalui pendirian Rumah Moderasi Beragama (RMB) di berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri dan Swasta, dan Lembaga Keagamaan yang berada di bawah naungan Kemenag RI, serta memassifkan program wakrshop, FGD dan berbagai pelatihan, penelitian, penulisan buku melalui program Litabdimas, termasuk melalui KPM moderasi beragama.

Tadi malam (malam kamis), tepatnya malam ketiga kita mengikuti ToT moderasi beragama, bapak Lukman Hakim Saifuddin hadir memberikan pencerahan kepada para peserta yang terdiri dari dua kelompok dengan jumla keseluruhan 60 orang itu. Bapak LHS, demikian beliau dipanggil selama ini, menyampaikan secara filosofis pokok-pokok pikiran tentang moderasi beragama, dan apa yang dia sampaikan itu benar-benar menyentakan pemikiran dan kesadaran kita selama ini, setidaknya terkait dua hal.

Pertama, pentingnya membedakan antara moderasi agama dengan moderasi beragama. Pembedaan ini penting. Selain sebaga basis argumentasi moderasi beragama, juga untuk menjawab kritikan orang, “agama kok moderat. Agama ya agama”. Bahkan ada yang menuduh, gagasan ini sebagai pesanan orang-orang luar, zionis, kapitalis dan komunitas yang akan merusak umat Islam di Indonesia.

Penting dicatat dan dipahami dengan tepat, yang moderat itu menurut Lukman Hakim Saifuddin adalah orangnya dalam beragama, bukan agamanya. Agamanya tidak perlu diberi label, kecuali label sebagai agama yang sempurna, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Karena itulah, moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang, bersikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi yang merupakan kesepakatan bersama.

Esensi beragama yang moderat itu kemudian diacukan pada sembilan kata kunci, yakni kemanusiaan, kemaslahatan, keadilan, berimbang, taat konstitusi, kometmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penghormatan atas tradisi, yang itu semua diturunkan dari definisi dan indikator-indikator moderasi beragama. Sembilan kata kunci beragama itu menurut Lukman Hakim Saifuddin merupakan pokok inti dari agama, dan seseorang disebut tidak moderat dalam beragama jika mengabaikan pokok inti agama itu sendiri. Ajaran inti agama itu dimiliki semua agama, baik ardi maupun samawi.

Baca Juga:  Moderatisme Beragama dalam Upaya Membendung Liberalisasi dan Ekstremisme di Indonesia

Tentu saja, kesembilan kata kunci moderasi beragama itu bukan harga mati karena moderasi beragama menurut Lukman Hakim Saifuddin adalah sebuah proses yang tak akan pernah berhenti. Moderasi beragama merupakan cara, jalan yang menempatkan dialog sebagai proses utama dalam memahami agama. Dialog terus menerus itu merupakan tugas para penafsir agama. Pemahaman mereka sejatinya tidak hanya berhenti pada teks kitab suci agama semata, yang membuat pemahaman menjadi tektualis karena melepaskan peran konteks, juga tidak hanya bertumpu pada konteks pembaca, yang membuat pemahaman menjadi dekontekstualisasi karena melepaskan peran teks, melainkan bertumpu pada proses dialog terus menerus antara teks kitab suci dengan pembaca dan masyarakat penggunannya yang senantiasa mengalami proses perubahan.

Apakah seseorang tidak boleh beragam secara radikal? Inilah pokok pikiran kedua, yang disampaikan Lukman Hakim Saifuddin tadi malam. Jawaban atas pertanyaan ini penting agar kita yang hendak moderat dalam beragama tidak lantas menghidari radikal dalam beragama. Kita harus hati-hati memahami maksud radikal ini. Jagan sampai menghidari beragama secara radikal hanya untuk menegaskan bahwa beragama itu harus moderat. Di sinilah, Lukman Hakim Saifuddin membuat pembedaan antara beragama secara personal dengan beragama secara sosial untuk menghindari kesalahkaprahan itu. Yang pertama disebut wilayah internum (internal-personal), yang kedua disebut wilayah eksternum (eksternal-sosial).

Beragama secara internal-personal, yang jika meminjam istilah Abdul Karim Soros disebut sebagai beragama sebagai hak al-lazim, menurut Lukman harus bersifat radikal karena ia berhubungan dengan masing-masing invidu yang beragama. Setiap individu tegasnya harus meyakini agamanya sebagai yang benar bahkan paling benar. Bagaimana mungkin seseorang menjadi beragama secara tulus (samhah) dan menyeluruh (kafah) jika seseorang tidak meyakini kebenaran agamanya secara radikal dengan arti yang sebenarnya dari kata itu. Tetapi karena manusia itu adalah makhluk sosial yang tentu saja selalu berhubungan dengan manusia lain dalam menjalani kehidupannya di dunia ini, di sisi lain, agama itu sendiri mengajarkan tentang kebaikan dan kemaslahatan bersama yang lain, maka ketika mengekpresikan keberagamaannya ke luar (eksternal-sosial), seseorang harus mempertimbangkan pihak lain yang berbeda dengan dirinya. Pada saa itulah, agama masuk ke dalam ruang publik yang menurut Gus Dur menjadi agama kita, dan karena itu, keberagamaan harus moderat.

Islam sejatinya adalah agama yang moderat, di sini saya berbeda dengan Lukman Hakim Saifuddin, dan manusia sejatinya juga beragama secara moderat. Dikatakan demikian, karena Islam adalah agama manusia sebagai makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Moderatisme Islam sebagai agama itu bisa dilihat dari pernyataan Nabi Muhammad “perkara yang paling baik adalah yang berada di tengah-tengah”; pernyataan al-Qur’an “demikianlah kami jadikan kalian semua (umat Islam) sebagai umat yang berada di tengah-tengah (ummatan wasatan)” (al-Baqarah:143), dan al-Qur’an sendiri menilai “kamu sekalian (wahai ummat Islam) adalah ummat terbaik (khairu ummah) yang dihadirkan Tuhan kepada umat manusia di dunia ini” (Ali Imran:110).

Baca Juga:  Moderatisme Beragama dalam Upaya Membendung Liberalisasi dan Ekstremisme di Indonesia

Islam dikatakan sebagai agama yang moderat dan menuntut penganutnya untuk beragama secara moderat bukan hanya dalam arti ajarannya yang melarang ekstrim kanan (tafrit) dan ekstrim kiri (ifrat), tetapi juga wataknya yang bersifat teoritis, dialogis dan praksis. Ketiga watak Islam itu saling berhubungan. Di antara watak teoritis Islam adalah ajarannya yang bersifat universal. Islam berbicara tentang manusia dan kemanusiaan secara universal tanpa melihat agamanya, etnisnya, jenis kelaminnya dan warna kulitnya. Islam yang berwatak universal ini tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ia mengatasi ruang dan waktu. Ia hadir untuk membela siapapun yang hidup dalam ruang waktu yang berbeda. Gus Dur menyebutnya sebagai universalisme Islam.

Watak kedua dari Islam adalah dialogis. Sejak awal kehadirannya, Islam yang bersumber pada al-Qur’an yang menurut Abdul Karim Soros berdimensi Ilahi-basyari itu mempunyai dua unsur asasi, yakni unsur yang tetap dan unsur yang berubah. Unsur yang tetap adalah dimensi ilahinya yang sakral, universal (diantaranya adalah sembilan kata kunci yang ada dalam moderasi beragama) dan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sedang unsur yang berubah adalah dimensi basyarinya yang partikular, profan dan terikat oleh ruang dan waktu. Yang bersifat dialogis adalah dimensi basyarinya. Sementara dimensi ilahinya sejatinya dijadikan pijakan prinsipil dalam mendialokkan dimensi basyariah Islam dengan budaya atau peradaban manusia, baik secara apresiatif, kritis maupun dan terutama produktif. Bukan purifikatif.

Di antara dialog apresiatifnya adalah ketika al-Qur’an menggunakan unsur-unsur peradaban lokal Arab di awal kehadirannya, misalnya bahasa arab lokal yang digunakan al-Qur’an, budaya dan kisah-kisah lokal yang ditampilkan al-Qur’an. Semuanya berasal dari peradaban Arab. Di antara dialog kritisnya adalah ketika al-Qur’an mengkritik moralitas masyarakat Arab yang tidak manusiawi, seperti tentang perbudakan dan perempuan. Sedang di antara dialog produktifnya adalah ketika al-Qur’an berdialog dengan peradaban Arab yang melahirkan disiplin keilmuan Islam berupa fikih dan kalam; ketika berdialog dengan peradaban Persia yang melahirkan disiplin keilmuan tasawuf; dan ketika berdialog dengan peadaban falsafah Yunani yang melahirkan disiplin keilmuan filsafat Islam.

Begitu juga sejatinya Islam berdialog secara apresiatif, kritis dan produktif dengan ke konteks Indonesiaan yang multietnis dan multireligius yang nantinya lahir Islam Nusantara yang berwatak radikal-moderat. Sebagai pribadi, seseorang arus beragama secara radikal, tetapi sebagai makhluk sosial, kita harus beragama secara moderat.

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini