Santri

Bagaimana Televisi Menggambar Pesantren?

(Foto: alfatahmaos.com)

Meski tak lama, percayalah bahwa saya pernah “tinggal” di pondok pesantren. Masa-masa itu menjadi salah satu sekuel paling bermakna dalam hidup saya. Seperti apa saya sekarang ini, pesantren mengambil peranan paling banyak. Meski pernah tinggal di pesantren saya merasa bahwa pemahaman saya tentang agama terbilang cetek, saya bahkan tak tau-menau bagaimana cara membaca kitab kuning yang gundul itu. Saya tak bermaksud merendah, tapi memang ini kenyataanya. Saya juga tak hafal banyak hadist dan ayat Al-Qur’an sebagaimana Ustadz-Ustadzah di tipi. Tapi soal bagaimana menjadi manusia, saya memperoleh banyak hal dari pesantren.

Perkara gonta-gonti pondok pesantren mungkin sayalah juaranya. Setidaknya ada 6 pesantren yang pernah menjadi destinasi nyantri saya. Waktu itu saya agak labil (sekarang makin akut), Saya gampang sekali loncat dari pondok satu ke pondok yang lain karena alasan-alasan sederhana, karena mbak-mbak pondoknya kurang cantik misalnya.*eh…. Meski begitu saya tak setuju jika ada anak gadis yang mengatakan bahwa saya bukan tipe cowok setia. Saya bisa bertahan di satu hati dalam kurun waktu sangat lama asal jangan buru-buru diajak nikah, saya belum siap. #lupakan

Dengan pengalaman tersebut, saya cukup expert untuk diajak berbincang tentang kehidupan pesantren. Saya “gemes” dengan beberapa sinetron atau FTV yang mengambil setting tempat di pesantren, saya juga kurang “Sreg” dengan bagaimana para Sutradara dalam menokohkan figur Ustadz atau Kiai dalam sinetron tersebut. Pesantren tentu saja bukan kumpulan orang suci tanpa dosa, Kiai juga bukan figur manusia sempurna dan paling bijaksana, mereka tetap saja manusia biasa. Tapi, Pesantren dan Kiai yang pernah saya kenal dan temui, jauh dari apa yang divisualisasikan di sinetron-sinetron.

Baca Juga:  Urgensi Ngaji Virtual ala Pesantren sebagai Deradikalisasi

Sinetron-sinetron yang berlabel atau mengambil setting tempat di pesantren, didominasi pada cerita perebutan 2 orang santri atau lebih, terhadap cinta seorang santri putri. Dan tentu saja seputar Perkelahian, persekongkolan, intrik dan hal-hal tidak beradab lainya yang menjadi ciri khas sinetron Indonesia. Tak ada tayangan seputar kajian ilmu-ilmu agama yang sebenarnya merupakan ruh pesantren, hanya ada satu dua kali adegan orang bersorban yang berkata-kata bijak, kutip ayat Al-Qur’an atau hadist tapi dengan pemaknaan se-enak udelnya, hasil meminta fatwa dari mbah Google.

Saya khawatir jika masyarakat akhirnya berprasangka bahwa “Islam” itu sebagaimana yang mereka lihat di Tipi. Karena begitulah cara masyarakat di Era Digital ini belajar. Berpikir bahwa mendalami agama cukup lewat artikel-artikel di Internet, atau tayangan televise berlabel “Berita Islam Kekinian”. Meminjam istilah Mas Iqbal AD, bahwa masyarakat di era ini kehilangan ketelatenan dan kedisplinan dalam belajar. Akibatnya, kejernihan hilang. Kita jadi makhluk yang serba terburu, lupa dengan ‘tumakninah’. Lebih banyak bicara daripada menyimak, lebih banyak menulis daripada membaca. Lebih senang memperlajari Islam dari internet dari pada repot mondok bertahun-tahun.

Khabibur Rohman
Santri pondok Romadhon.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Santri