Pengantar novel DUR (diary ungu rumaysha)

DUR adalah jenis novel slice of life. Jadi menceritakan perjalanan hidup dan pendewasaan pemikiran tokoh utamanya. Rum. Sejak masa SMA sampai dia terpaksa menjadi badal.pengantin bagi almarhumah kakaknya.

Rum ini bukan lulusan pesantren, tidak pernah mondok, ngajinya masih ala kadarnya, penampilan juga gak nyantri2 banget. Ketika SMA, Rum sudah kadung saling suka dengan sahabat sekaligus rival dalam hal prestasi bernama Alfaraby.

Alfaraby, adalah pemuda jangkung, dengan wajah rupawan keturunan Tionghoa. Murid baru pindahan dari Jogja. Dia sangat cerdas. Sejak hari pertama masuk, ia sudah berhasil meruntuhkan dominasi nilai terbaik yang biasanya dipegang Rum. Alfaraby menulis essay berjudul Legenda Laba-Laba Tsur (hlm. 15). Esai mengenai filum Arthopoda dipadu apik dengan kisah kenabian. Sejak hari itu, Rum memiliki perhatian khusus dengan sahabat barunya itu.

Nama Alfaraby sendiri, adalah nama rubahan setelah ayah si Alfaraby ini naik haji.

Rum dan Al adalah dua orang jenius yang saling bersaing di seluruh mata pelajaran. Mereka berbagi diskusi dan saling meminjamkan buku untuk memperkaya referensi. Dua orang yang sama-sama mencintai perpustakaan.

Karena keduanya terlihat dekat, tak jarang Rum menerima cemoohan hanya karena dirinya anak seorang dalang dengan ekonomi pas-pasan. Sementara Al, adalah anak konglomerat. Setiap kali Rum dicemooh, ia ingat nasehat bapaknya, dinukil dari tembang Mijil: Wani ngalah. Luhur wekasane. Siapa yang berani mengalah untuk menghindari pertikaian, maka akan mulia di akhirnya.

Namun, saat cemoohan itu memuncak, Rum yang dinilai tidak selevel, alih-alih menggebrak meja atau berteriak marah, ia malah mencoba memberi tebakan pada Sherly Cs.

Seperti pertanyaan: Jelaskan peran senyawa dikromat terkait dengan proses penyamakan kulit?

Geng sherly saling pandang. Mereka kalah oleh pengetahuan. Bergeming lalu berlalu (hlm. 50)

Di penghujung SMA, jelang kelulusan, Alfaraby akhirnya berterus-terang mengenai rasa tertariknya pada sang sahabat. Ia memberi sebuah diary ungu yang di dalamnya berisi bunga anggrek jenis dendrobium Faciverum kering lalu menuliskan kata: Ich liebe dich. Wo aini. Ek het jou life. I love you. Aku tresno sliramu. (hlm. 78)

Usai pernyataan cinta, Al semakin sering memberikan ucapan manis untuk Rum. Banyak gombalan yang dia lontarkan karena memang Al tipe pemuda periang. Contohnya:

“Rum apa perbedaan kamu dengan rumus Helmhotz?”

“Kalau rumus susah masuk pikiran, kalau kamu susah dikeluarkan dari pikiran.” (hlm. 93)

Ketika Rum didera galau apakah akan menerima cinta Al dan hendak berkonsultasi dengan Salma kakaknya, Rum, malah mendapat informasi yang sangat menghancurkan hatinya.

Salma bilang, bahwa Bune tidak suka Alfaraby karena dia keturunan non muslim. Heterogenitas keyakinan dalam keluarga Al membuat Bune yang masih memegang prinsip patriarki tak melihat sisi baik pemuda itu.

Rum tak sanggup berterusterang pada sang kakak, apalagi pada Bunenya. Ia memendam sendiri dukalaranya. Ia ingat ajaran almarhum Bapak, bahwa Ibu adalah cakratresna bagi anak-anaknya. Pusaka keramat yang tak boleh dikecewakan. Pusaka itu serupa busur Gandiwa bagi Arjuna. Kontawijaya bagi adipati Karna. Jamus kalimasada bagi Puntadewa dan bak panah Ardhadeli bagi Srikandi (hlm. 106)

Benarlah, Rum akhirnya memutuskan tak menerima cinta pertamanya itu. Ia memilih menjauh sejauh-jauhnya. Pergi saat sedang sayang-sayangnya.

2 tahun kemudian.

Tersebutlah seorang lelaki berusia matang bernama Salim Abdullah Asysyatiri yang biasa dipanggil Gus Asy.  Ia putra bungsu dari kiai Husen pendiri Darul Quran. Semasa kecil, hidup mereka sangat pas-pasan. Namun, mereka adalah keluarga yang senang dengan ilmu. Bunyai, ibu Gus Asy, adalah pendongeng terbaik untuk anak-anaknya. Dengan berbekal buku hasil uang arisan, Beliau lihai bercerita tentang Colosseum di Roma, tembok besar cina, hingga pendirian Borobodur oleh Raja Samaratungga keturunan Syailendra (hlm. 118)

Baca Juga:  Mertua Rumaysha vs Mertua Alina

Sementara sang abah, beliau senang membelikan koran bekas agar ketiga anak mereka, neng solichah, neng aminah, dan gus Asy tetap bisa menambah wawasan. Keluarga itu begitu demokratis meski seluruhnya adalah hafid hafidhoh. (hlm. 122)

Usia Gus Asy sudah 29 tahun ketika akhirnya ia menemukan gadis yang ia sukai. Namanya Salma. Salah seorang santri sekaligus Ustadzah di Darul Quran. Ia tertarik karena pernah melihat Salma berjalan minggir menghindari gambar kubah di sajadah dalam masjid. Waktu itu pengurus dan pengasuh sedang rapat Haul. Setelah ditelusuri, Salma melalukan karena ia sedang mencoba mengaplikasikan surat Al hajj 32:

Wa man yuaddzim sya’aairollahi fainnaha min taqwal quluub (hlm. 128)

Dalam rangkaian perjalanan ke Turki dan selanjutnya umroh, Gus Asy mendapatkan firasat kurang baik terutama ketika Abah ibunya bertemu dengan Syekh Ahmad di Blue Mosque (hlm. 143).

Tak dinyana, ketika Gus Asy sedang menuju Roudhoh, sebuah berita datang menghempas harapannya. Salma meninggal dalam sebuah insiden kecelakaan!

Sepulangnya dari umroh, kedua keluarga bertemu. Bune, menyampaikan bahwa sebelum meninggal, Salma menyampaikan wasiat bahwa adiknya, si Rumaysha, diminta menjadi badal pengantin. Itupun jika gus Asy sekeluarga setuju.

Tak disangka, Kiai dan bunyai Husen setuju. Gus Asy yang sedang di puncak nestapa, tak sanggup mengecewakan Abah Ibunya lantaran usianya sudah tak lagi muda. Ia tak ingin Abah Ibunya menunggu lagi. Apalagi Abah ibunya sangat akrab dengan Ki dalang dan Bune sejak dari lama. Jauh sebelum ia menyukai Salma.

Dengan tekad bulat, Gus Asy berkata:

“Malam ini adalah malam terakhirku sebagai lajang. Esok aku akan melangsungkan akad nikah dengan adiknya Salma. Segalanya akan berbeda mulai hari itu. Aku harus siap memiliki satu tanggungjawab baru sebagai suami. Aku ingin meniru Rasulullah yang tidak pernah menduakan Sayidah Khadijah binti Khuwaylid dengan perempuan lain.

“Aku ingin sekali seperti Rasulullah yang tak segan mengusap air mata Sayidah Shafiyyah binti Huyay saat menangis ketika naik unta yang lambat berjalan. Aku ingin punya panggilan kesayangan sebagaimana Rasul memanggil Khumayra pada Sayidah Aisyah binti Abu bakar. Ingin jadi suami yang bisa membela marwah istri sebagaimana Baginda pada sayidah Zainab saat digunjing penduduk Makkah.” (hlm. 159)

Ketika hari pernikahan yang kontroversi itu tiba, Rum yang masih 19 tahun, mengalami pergolakan batin luar biasa. Satu sisi ia sangat menghormati Bune. Ia satu-satunya keluarga terdekat Bune setelah Bapak dan kakaknya meninggal. Satu sisi dia bertarung dengan idealismenya bahwa di LSM yang ia geluti, pernikahan usia muda itu kurang populer dan cenderung dihindari.

Ketika ia mendapati Gus Asy masih banyak melamun, bahkan lupa nama lengkap Rum, Rum makin terluka. Ia dinasehati Bunenya, “Sinauo ngolah roso. Sedih, seneng, itu gumantung dari dalam diri.” (hlm. 184)

Namun, Rum belum berdamai dengan dirinya, ia mengabaikan semua akun sosmednya, demi agar pernikahannya tak terekspose. “Gak kebayang malunya. Dulu aku biasa berorasi menolak ephoria pernikahan dini yang asal naksir langsung menikah, namun sekarang takdir malah menjeratku dalam kubangan harapan yang tak pasti”. (hlm. 190)

Baca Juga:  Belajar Tawasut dari Sebuah Novel

“Dalam pikiranku, perjodohan itu absurd. Sudah tidak relevan dengan zaman. Jika saling mengenal bertahun-tahun saja orang bisa cerai, apalagi tidak saling kenal? Zaman sudah berubah!” (hlm. 191)

Satu hal yang membuat Rum meredam emosi adalah pesan bapaknya, Ki dalang, “Urip kudu Urup. Hidup itu harus memberi nyala manfaat untuk orang lain.” (hlm. 193)

Sementara Gus Asy sendiri, dia juga berjuang untuk bersikap baik sebagai suami. Namun, Gus Asy juga menyadari Rum berbeda sangat dengan Salma yang begitu cantik, lembut, dan hafidzoh. Rum hitam manis, bergigi kelinci, dan sedikit serampangan. Ketika Gus Asy bilang pada Nyai Husen bahwa Rum kalah cantik dengan Salma, Bunyai segera menasehati: “Ojo mburu kidang mlayu. Jangan mengejar sesuatu yang mustahil..” (hlm. 209)

Demi menuntaskan rasa galau, Rum pun sering berdiskusi dengan Bune. Beliau menasehati bahwa suami istri harus manunggal. Bahwa kunci urip tentrem itu cuma 4. Sumeh (banyak tersenyum), sumeleh (tawakkal), sareh (tidak grusa grusu, mau berproses) dan ora jireh (tidak penakut,pantang menyerah).

Hari berlalu, Gus Asy dan Rum menghabiskan banyak waktu dengan berdiskusi, termasuk ketika Gus Asy minta pada Rum untuk mengunjungi makam Salma pagi dan sore demi segera move on. Gus Asy sendiri rela makan nasi goreng ebi padahal dia sangat alergi udang, demi menyenangkan Rum. Keduanya saling mengalah, meski cinta belum bersemi.

Rum melihat akhlak baik suaminya, membalikkan sandal Bune, mau membantu di dapur, juga mau mendengarkan cerita Rum soal perjalanan hidup manusia menurut filosofi Tembang Maskumambang.

Janin lahir disebut mijil. Orang pada mendoakan, berbahagia atas kelahirannya. Setelah mijil tembangnya Kinanti, yakni masa kanak-kanak. Setelah itu tembang Sinom, masa remaja, berlanjut Tembang Asmorodono, tembang Gambuh, ….” (hlm. 302-303).

Termasuk ketika Rum meminta Gus Asy merahasiakan pernikahan mereka sekembalinya keduanya ke kampus. Rum minta waktu sebulan untuk menjelaskan soal pernikahannya pada LSM, juga pada The Queens sahabat baiknya.

Ketika ektase jiwa dua manusia usai dituntaskan, dengan kalimat sederhana Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna (hlm. 308), Gus Asy dan Rum telah menyempurnakan pernikahan.

Gus Asy, yang mengetahui jurusan kuliah Rum adalah Biologi, sempat menghubungi nyai Husen dan mengusulkan agar Rum pindah kampus dekat Darul Quran, dan pindah jurusan agama. Tapi apa kata bunyai?

“Cari istri apa cari sanggan? Ibu nggak pernah milih menantu cuma buat menopang pondok. Itu namanya tidak tulus!” (hlm. 312).

Setelah beberapa hari tinggal di rumah Rum, gantian acara ngunduh mantu di Darul Quran. Bukan acara besar-besaran, karena sebagian saudara Kiai Husen belum legowo dengan pernikahan badal. Rum mengalami kesulitan saat beradaptasi. Ia mengaji saja masih belum lanyah. Beruntung, kedua mertuanya tidak mempermasalahkan karena sudah tahu sejak awal.

Maka Gus Asy lah yang pelan-pelan mengajari Rum tiap malam. Dengan kecerdasannya, Rum sangat mudah menerima ilmu. Ia bahkan mulai memantaskan dandanannya dengan tidak lagi memakai celana jins ketat.

Kakak ipar pertamanya, Neng licha, bahkan pengagum bapak Rum sejak kecil. Neng licha lihai bercerita kenapa nadzom alfiyah ibnu malik jumlahnya ada 1002 bait (hlm. 380), berdiskusi soal ajaran Molimo Sunan Ampel. Emoh main, ngombe, madat, maling, madon (hlm. 382).

Baca Juga:  Lathifah: Kisah Perempuan yang Tabah Menerima Takdir dalam Novel “Cincin Kalabendu”

Setelah hari berlalu dan Rum sudah mendekati masa kuliah, ia bersiap untuk berjumpa dengan sahabatnya, Geng The Queens yang terdiri dari lima orang. Isyana dan Fatimah (food vlogger), Suci (pimred majalah MIPA), dan Shima (jago foto).

Ketika Rum dan Gus Asy makan malam di sebuah restoran Taman Indie, tanpa sengaja mereka berpapasan dengan Isyana, Shima, dan Suci. Ketiganya bahagia sekaligus gemas karena Rum lama sekali tak memberi kabar.

Yang mengherankan, teman-temannya kenal Gus Asy. Mereka memanggilnya Pak Salim (hlm. 410-411). Rum yang belum siap mengakui siapa Pak Salim akhirnya harus menghadapi kenyataan bahwa Isyana ternyata jatuh cinta pada Pak Salim yang notabene adalah Gus Asy.

Rum tentu dibakar cemburu. Gus Asy sudah meminta Rum segera mengakhiri perjanjian soal menyembunyikan identitas pernikahan mereka (hlm. 430). Rum berpikir keras dan memutuskan akan segera berterus-terang.

Di lain sisi, Alfaraby yang masih mencintai Rum dan tak tahu menahu bahwa Rum sudah menikah, mengirim surat, juga DM di Instagram Rum. Ia bahkan sudah menyiapkan cincin untuk meminta Rum jadi tunangannya dengan bantuan Fani sang Asisten.

Usai acara penghargaan juara LKTI, Rum dan teman-temannya menuju Fangfang resto. Rencananya Rum akan mengungkap rahasianya dengan Gus Asy sambil menunggu suaminya itu selesai rapat dekanat.

Tak dinyana, Alfaraby lah yang lebih dulu datang. Dengan gitar, ia menyanyikan lagu Bukti dari Virgoun. Semua orang menyoraki, dan mendukung Rum menerima Al. Tepat saat Al mengangsurkan cincin, dari arah belakang, Gus Asy tiba. Ia menyaksikan istrinya dirayu oleh pemuda lain yang tampangnya jauh lebih perlente.

Rum, dengan terisak-isak menjelaskan segalanya. Hari itu, sahabatnya, Isyana merasa dibohongi dan malu sekali karena mencintai suami orang. Isyana marah. Begitupun Alfaraby, ia sangat kecewa. Apalagi Gus Asy. Ia merasa sudah banyak mengalah demi perjanjian yang dibuat Rum. Perjanjian yang menyengsarakan banyak orang

Tak lama kemudian, Rum limbung. Ia pingsan. Dan meski sakit hati masih menjerat Gus Asy, ia tulus merawat Rum. The Queen’s pun menjenguk ke RS untuk men-support. Rum memohon maaf pada semuanya karena kebohongannya telah menyusahkan sahabat dan suaminya.

Malam itu, akhirnya Rum dengan penuh keyakinan mengubah seluruh status di medsosnya dari lajang ke menikah. Ia mengganti fotonya dengan foto pernikahan.

Dan di akhir, kedua insan itu sedang duduk di balkon hotel lantai 15. Menyesap kopi berdua. Tanpa sungkan, Rum menangkupkan kedua tangan lalu berteriak, “I LOVE YOU!

“Suara itu lantas menerobos udara, menggasak angin yang berhembus, menggaung di antara gedung tinggi, mungkin juga membuat orang yang di bawah keheranan mencari sumber suara.”

“Gus Asy menggeret pinggangku dengan dua lengannya. Membawaku duduk bersamanya sambil tertawa-tawa. Tawa yang kucintai selamanya. Tawa yang kuperjuangkan dengan segenap jiwa.” (hlm. 486)

Lebih lengkapnya akan dibahas tuntas dan mendetail pada Webinar Launching dan Bedah Buku D.U.R (Diary Ungu Rumaysha) Sabtu, 11 Juli 2020 oleh penulis dan para pembedah. Link pendaftaran klik disini. [HW]

Nisaul Kamila
Penulis Novel DUR (Diary Ungu Rumaysha) dan Founder Halaqoh Bisnis Online

    Rekomendasi

    karya agung madura
    Kitab

    Karya Agung Madura

    Madura menghasilkan ulama hebat. Selain Syaikhana Kholil Bangkalan Madura, lahir ulama-ulama dengan produktivitas ...

    2 Comments

    1. […] saya berjanji untuk me-review novel tulisan dinda Nisaul Kamilah, pengarang Novel DUR (Diary Ungu Rumaysha). Kalau pakai alasan sibuk, tentu tak akan ada yang percaya dengan apologi pionir kaum rebahan ini. […]

    2. […] best seller karya kalangan pesantren yang digandrungi banyak pembaca, terutama ibu-ibu. Lihatlah novel DUR (Diary Ungu Ramaysha) karya Nisaul Kamilah. Kabarnya novel yang lahir dari tangan dingin alumnus […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini