“Liberating education consists in acts of cognition, not transferals of information.” –
Paulo Freire
“The more people participate in the process of their own education, and the more people participate in defining what kind of production to produce, and for what and why, the more people participate in the development of their selves. The more people become themselves, the better the democracy.” – Paulo Freire
Belakangan ini kita “dikejutkan” dengan pidato Mas Nadiem, Mendikbud tentang Belajar yang Memerdekakan. Salah satu instruksi langsung untuk para guru terhormat dalam rangkaian menyambut Hari Guru Nasional. Apa yang disampaikan itu dimaksudkan sebagai perintah langsung, bukan sebagai kata-kata inspiratif atau retorik. Dengan prinsip kerja, kerja, dan kerja, harapannya setiap guru mulai hari ini harus bergerak dari yang kecil. Siswa sudah mulai rasakan kemerdekaan dalam belajar. Mungkinkah?
Menurut hemat saya, bisa ya dan bisa tidak. Bisa ya, jika kegiatan belajar itu asal belajar, anak bisa membaca apa saja, juga diskusi apa saja yang bisa dilakukan. Hasilnya apa, tentu kita belum tahu pasti, karena yang dilakukannya belum tersiapksn secara baik pada level kelas, apalagi level sekolah. Apa yang diinginkan oleh Mas Menteri itu mestinya bukan masalah yang bersifat pragmatis saja, melainkan juga seharusnya bersifat idealis. Karena itu apa yang diharapkannya harus dikonsep secara utuh, mulai dari pandangan terhadap sosok lulusan yang diharapkan (landasan filosofis, sistem pendidikan, dan model pembelajaran). Apa yang dilemparkan langsung pada tataran operasional, kegiatan kelas.
Untuk menjaga efektivitas pembelajaran, mengapa Mas Menteri tidak menunda pada semester atau Tahun Ajaran mendatang, sambil transisi untuk tuntaskan program semester ini atau tahun ajaran ini dan siapkan Konsep besar yang dikehendaki Kementerian. Jangan sampai Gagasan Mas Menteri yang baik itu menjadi kontra produktif.
Kita rasanya perlu memahami, apa yang dimaksudkan dengan pembelajaran yang memerdekakan? Untuk memahami persoalan ini mari kita fahami tentang learning and schooling. Victor (2014) membedakan antara learning and schooling, bahwa “Learning is about the transformation of children into learners who are inquisitive to the unknown, whereas schooling is institutionalization of children into students who are confirmative to the known.”
Memperhatikan konsep di atas, maka praktek pendidikan sekolah wajib mengakomodasi kedua misi utama itu, yaitu schooling yang diorientasikan untuk mengkonfirmasi ilmu pengetahuan yang harus dijaga. Juga learning yang diorientasikan untuk memberikan kesempatan untuk mengakses dan mengeskplorasi informasi atau pengetahun yang baru. Bagaimana dengan praksis pendidikan nasional kita? Dengan jujur, bahwa sekolah pada prakteknya telah melakukan hal ini. Sejauh yang saya tahu sejak tahun 1984an, telah disosialisasikan pembelajaran Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), tahun 1994an dikenalkan Keterampilan Proses dalam pembelajaran. Apalagi Kurikulum 2013 yang disempurnakan juga sudah memberikan proporsi waktu yang cukup memadai untuk aktivitas siswa. Apa hasilnya, dalam konsep memang relatif sudah luas dikuasai oleh guru, tapi dalam prakteknya masih jauh dari yang diinginkan. Mudah-mudahan suntikan baru Mas Menteri bisa menambah darah segar untuk menjadikan pembelajaran yang memerdekakan sebagai penguatan dan semangat membelajarkan siswa. Siswa mendapat peluang untuk mengeksplorasi potensi dan memiliki kebebasan mengembangkan diri melalui akses dunia digital yang terbuka sesuai dengan bakat dan minatnya.
Berdasarkan kondisi yang ada, perlu kehati-hatian membaca kebijakan Mas Menteri, sehingga apa yang diinginkan kita semua bisa dapat diimplementasikan dengan baik dan dapat tercapai yang bisa memuaskan semua pihak. Bahwa pembelajaran dewasa ini memang harus terus mengalami perubahan dan perbaikan, tidak hanya ingin memenuhi target tahun tertentu yang terus berubah, melainkan menyesuaikan kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang sangat cepat.
Pemanfaatan digital dalam pembelajaran, pada hakekatnya tidak hanya untuk memenuhi schooling driven, melainkan juga friendship driven untuk pengembangan networking, dan utamanya untuk mewujudkan interest-driven yang orientasinya untuk pencarian ilmu pengetahuan yang belum diketahui. Di sinilah pembelajaran yang membebaskan menemui rekevansinya.
Dalam konteks pembelajaran yang membebaskan, pembelaran yang mendorong kreativitas dan kritikalitas perlu ditanamksn dan dikondisikan. Pembelajaran yang menekankan problem solving dan pendekatan ilmiah terus dilanjutkan. Demikian juga keterampilan berpikir kreatif, kritis, divergent dan lateral juga terus dibudayakan. Untuk keberlanjutan semua ini perlu di dukungan dengan kemampuan komunikasi, khususnya penguasaan bahasa asing dan bahasa koding, serta kemampuan metodologi penelitian yang orientasi awalnya mampu membaca hasil riset.
Terlepas dari peluang untuk kemerdekaan belajar, siswa perlu dibekali moralitas yang kuat, sehingga bisa menjadi filter dalam menerima semua ilmu dan informasi. Demikian juga dapat mengendalikan diri ketika mau mensharingkan ide atau gagasan yang memberikan manfaat untuk orang lain. Dalam posisi ini guru memang posisinya lebih pada fasilitif dan guiding, bukan lagi direktif dan instruktif.
Akhirnya bahwa pembelajaran yang membebaskan diharapkan dapat dibangun dengan paradigma pendidikan yang tepat, yang menempatkan posisi siswa sebagai subjek pendidikan. Demikian juga menempatkan pendidik dan sub sistem pendidikan lainnya secara proporsional. Menempatkan siswa subjek seharusnya tidak bersifat mutlak, karena apapun, siswa adalah hamba Allah swt dan warga negara, sehingga orientasi pendidikan yang harus dicapai tidak semata-mata mendewakan keahlian, tapi keahlian harus bisa dimaknai sebagai instrumen utama untuk memenuhi tugas kekhalifahan. Semoga Allah SWT meridloi setiap niat baik dalam memperlakukan siswa secara humanis.