Saat itu baru dua hari saya mondok di PP. Darun Najaa, Jalen, Mlarak, Ponorogo. Sepulang dari sekolah di MA al-Islam, Joresan, saya melewati pematang sawah menuju pondok.
Waktu itu ada seorang yang menggunakan caping, berpakaian sederhana ala petani, sedang menjual talas kepada petani lain. Keduanya duduk santai di pinggir sawah. Di sampingnya ada sepeda kumbang, alias sepeda unta. Sekilas saya mendengar obrolan transaksi jual beli talas dengan nilai tak seberapa itu.
Seusai shalat ashar di masjid pondok pesantren darun najaa, saya kaget menjumpai imam shalat yang tiada lain adalah petani yang menjual talas beberapa jam sebelumnya. Ya, beliau adalah Kiai Baidlowi alias Mbah Dlowi, salah satu pengasuh pesantren Darun Najaa, selain KH. Ma’ruf Mursyidi, adik iparnya.
Dua guru saya tersebut terkenal alim dan zahid. Mbah Dlowi petani, demikian pula dengan Mbah Ma’ruf. Keduanya mengajarkan kepada kami tentang prinsip hidup. Mengajar dan bekerja sama sama bernilai ibadah. Tidak perlu memisahkan keduanya. Juga tidak perlu gengsi menjalani pekerjaan. Posisi “kiai” adalah prestise sosial. Kadangkala dalam posisi ini, seseorang merasa gengsi, tinggi hati, dan pilah pilih pekerjaan.
Selain Mbah Dlowi dan Mbah Ma’ruf, guru saya yang lain, Kiai Sirojuddin alias Mbah Siroj, yang mengajar di MA al-Islam, Joresan, Mlarak Ponorogo, juga tak kalah khumul (menjauhi popularitas). Beliau alim, tapi seolah menyembunyikan identitasnya dalam pakaian keseharian yang sangat, sekali lagi, sangat sederhana. Kemampuannya di bidang tafsir dan kajian bahasa Arab saya kira masih melekat di benak beberapa alumni Joresan, sungguhpun Mbah Siroj sudah wafat beberapa tahun silam. Juga (alm.) Mbah Hasuna Arifin yang pakar di bidang nahwu, (alm.) Mbah Kiai Masykuri Ilyas (Joresan) yang pakar tafsir dan Ushul Fiqh, Kiai Asmu’i (Gandu) ahli falak; Kiai Wahib Syafaat (Gandu) pakar balaghah dan mantiq; (alm.) KH. Nurul Hamdi (Joresan), ahli tafsir dan fiqh; Kiai Syahid (Siwalan), jagoan ushul fiqh dan sharaf; Ustadz Syafrudin Rusydi (Gandu) ahli hadits dan faraidl; (alm.) Ustadz Pamuji, ahli balaghah; juga Ustadz Ali Fikri (Gandu), jago mantiq dan arudl.
Selama belajar dari orang-orang mulia di atas, saya melihat kitab akhlak berjalan: orang-orang alim yang tidak merasa gengsi dengan berbagai pekerjaannya. Mayoritas petani, sebagian pedagang. Dan, dalam keseharian beliau-beliau berpakaian sederhana, tapi rapi. Toh, kesederhanaan yang tidak membuat muruah/Marwah beliau luntur di hadapan para santri.
**
Bagi saya, Dhawuh Mbah Moen ini memang relevan. Pekerjaan tetaplah bagian dari ikhtiar mencukupi kebutuhan keluarga, tanpa harus menggadaikan ayat Allah dengan harga murah.
Dalam riwayat orang saleh, banyak di antara beliau-beliau yang dikenal namanya berkat profesinya. Misalnya, Imam Abubakar al-Qaffal As-Kabir salah satu juru bicara madzhab Syafi’i paling top. Al-Qaffal, julukannya, karena masa mudanya yang berprofesi sebagai tukang kunci atau bikin gembok. Ulama lain ada juga yang tidak dikenal dengan nama bapaknya atau leluhurnya, juga tidak dikenal dengan nama daerah asalnya, melainkan profesinya. Misalnya an-Najjar alias tukang kayu, az-Zajjaj (tukang cermin), al-Jasysyay (tukang cat), al-Mawardi (penjual air mawar), juga profesi ayahnya, sepeti al-Ghazzali (pemintal benang), dan sebagainya.
Para anggota Walisongo juga memiliki pekerjaan yang dijadikan sebagai sarana dakwah. Misalnya Maulana Malik Ibrahim, yang konon, berjualan bantal keliling sembari mendakwahkan ajaran Islam juga berprofesi sebagai dokter (tabib).
Para ulama muassis NU juga kondang dengan pilihan pekerjaannya. Mayoritas petani pemilik lahan yang didistribusikan penggarapannya kepada warga maupun khadim-nya. Kiai Hasyim Asy’ari petani, Kiai Wahab Hasbullah petani dan pedagang, Kiai Bisri juga petani. Tidak ada dari manusia-manusia mulia ini yang hanya duduk ongkang-ongkang berharap rejeki turun dari langit. Semua memiliki pekerjaan!
Rezeki itu wilayah prerogratifnya Allah, tapi cara meraih rezeki itu sudah wilayah kita. Karena itu, Rasulullah senantiasa menganjurkan umatnya agar makan dari hasil jerih payahnya sendiri.
Pernah ada seorang pria mengemis. Lalu Rasulullah menanyainya. Apa yang engkau punya? Hanya baju dan mangkuk, jawab pengemis itu. Bawalah kesini, perintah beliau. Lalu dua benda itu beliau lelang di hadapan para sahabat. Laku 2 dirham. Pergilah ke pasar, 1 dirham buat beli makan untuk keluargamu, 1 dirham sisanya buat beli mata kapak. Perintah beliau.
Mata kapak disodorkan kepada Rasulullah. Tangan mulia beliau memasangkannya dengan gagangnya. Dikembalikan kepada pemiliknya, lalu, pergilah engkau mencari kayu bakar dengan kapak ini, juallah hasilnya. Kata beliau. Instruksi dijalankan, dan sepuluh hari berikutnya pengemis sudah bekerja. Dia mengikuti keluarganya dengan mencari kayu bakar. Dari peminta menjadi pekerja. Ini etos kerja ala Kanjeng Nabi.
Tak heran jika beliau sangat menghargai kerja keras dan kemandirian ekonomi, “Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak.”
Mohon doanya untuk Mbah Yai Baidlowi, guru yang saya sebut di awal tulisan ini, yang pagi tadi kapundut. Semoga Allah menjadikan khidmah keilmuan Mbah Yai Baidlowi sebagai amal jariyah, mengampuni dosa beliau, dan senantiasa menganugerahkan Rahmat dan maghfirah-Nya….lahul fatihah. [BA]