Salah satu tuduhan negatif yang tujukan terhadap Islam, terutama dari kalangan Barat (Orientalis) adalah bahwa Islam adalah agama yang cenderung membenarkan tindakan kekerasan. Tuduhan tersebut memang cukup beralasan. Salah satunya adalah karena di dalam Islam terdapat ajaran atau doktrin yang jika tidak dikaji secara mendalam, menimbulkan kesan adanya pembolehan tindak kekerasan. Misalnya nash al-Qur’an surah an-Nisa; (4): 34 yang membolehkan suami memukul istri yang berbuat nusyuz terdahapnya. Namun apakah benar demikian yang dimaksud? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini, nash Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4): 34 perlu ditelaah secara kritis, mendalam dan komprehensif.
Untuk memahami secara utuh apa yang akan menjadi pembahasan kita pada kali ini akan lebih baik jika melihat bagaimana para ulama mendefinisikan nusyuz itu sendiri. Nusyuz secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata nasyaza yang berarti “meninggi atau menonjol”. Dalam pemakaiannya kemudian arti kata al-Nusyuz ini kemudain berkembang menjadi al-Ishyaan yang berarti durhaka dan tidak patuh. Sedangkan secara terminologis, nusyuz memiliki beberapa pengertian diantaranya menurut fukaha Hanafiyah adalah“ketidak senangan yang terjadi antara suami istri”. Fuqaha Malikiyah memberikan pengertian nusyuz sebagai “permusuhan yang terjadi antara suami istri”. Menurut ulama Syafi’iyah, nusyuz adalah perselisihan yang terjadi antara suami istri. Sementara Ulama Hambaliyah medefinisikannya dengan ketidaksenangan dari pihak istri maupun suami disertai pergaulannya yang tidak harmonis.
Reinterpretasi ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Nusyuz
Berkaitan dengan nuzyuz, Allah SWT. dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ (4): 34 mengatakan:
“…Wanita wanita yang kami khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatinya, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Mahas Besar”.
Terkait Pembolehan pemukulan dalam ayat ini, dapat dipahami berdasarkan peritiwa khusus yang menyebabkan turunnya ayat tersebut (asbabun nuzul mikro). Yaitu ayat tersebut turun setelah adanya laki laki yang melukai istrinya dan kemudian saudarnya mengadukan kepada Rasulullah SAW. sehingga beliau memerinyahkan qisas. Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa ada seorang laki-laki menampar istrinya, dan Rasulullah memerintahkan untuk qisas, sehingga turun ayat tersebut.
Lafadz Wadribuhunna yang artinya “dan pukullah mereka”. Ini merupakan tahapan ketiga, Dimana al-Qur’an menyuruh suami memukul istrinya. Sampai disini pertanyaannya adalah bagaimana bentuk atau kriteria pukulan tersebut, dan apakah kata perintah (al-Amru) wadrubuhunna/ dan pukullah mereka mengndung makna atau pemahaman “keharusan atau wajib” untuk dilakukan ?
Ibn Abbas r.a., Said bin Jabir, al Sya’bi dan lainnya (dari kalangan sahabat dan tabi’in) menafsirkan bahwa pukulan terhadap istri yang nusyuz adalah pukulan yang tidak keras (dharban ghaira mubarrih ai ghairu sya’in). dharban ghaira mubarrih menurut Ibnu Abbas dan Atha’ adalah pukulan yang tidak membuat luka, tidak mematahkan tulang atau pukulan dengn siwak. Sedangkan Hassan al Bashri dan para fuqaha, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir, menafsirkannya dengan pukulan yang tidak memebrikan bekas (ghairu muatsir). Lalu kemudian menukilkan sebuah riwayat hadits yang senada dengan hadits berikut:
“Takutlah kalian kepada perempuan karena kamu sekalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan dihalalkan bagimu kehormatannya (menggaulinya) dengan kalimah Allah, dan bagimu agar istri-istrimu tidak melakukan jima’ dengan laki laki lain yang tidak kamu sukai diranjangmu, maka pukullah istri-istrimu itu dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka, dan istri-istrimu berhak atas rizki dan pakaian yang baik”.
Berdasarkan hadist ini, maka pemukulan boleh jika istri berbuat zina yang keji. Dalam Tafsir al Mizan berkaitan dengan QS. Annisa (4): 34 tentang larangan menahan, mempersempit gerak langkah dan mengekang. Larangan tersebut diberi pengeculaian yaitu jika mereka berbuat fahisyah mubayyinah. Term fashiyah biasanya dalam al-Qur’an digunakan untuk menyebut perbutan zina, sementara mubayyinah dari kata bayyana, sama dengan kata abana, tabayyana yang cenderung berarti pembuktian, sehingga perbuatn keji yang dimaksud adalah perbuatan zina yang terbukti. Ini artinya batasan nusyuz istri terhadap suaminya adalah jika istri tersebut terbukti berbuat zina.
Ringkasnya pukulan yang dimaksud adalah ayat tentang istri yang nusyuz bukanlah pukulan yang penuh emosi, dendam dan tenpa ketentuan (sesuka hati). Dalam kitab tafsirnya, Prof. Quraish Syihab mengatakan bahwa kata dharaba memilki banyak arti dan tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti dan melakukan tindakan kasar. Karena itu perintah pada ayat ini juga dipahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasulullah SAW bahwa yang dimaksud adalah memukul yang tidak menyakitkan. Dengan kata lain perintah pemukulan dalam ayat ini bukanlah berarti sebuah keharusan dan wajib akan tetapi hanya sebuah kebolehan dan itupun dengan keadaan dharurat. Dalam tafsirnaya, Al Azhar Hamka menyebutkan : “ada keizinan memukul kalau sudah sangat perlu, tetapi orang yang berbudi tinggi akan berupaya memukul dapat dielakkan”. Isyarat bahwa izin pemukulan terhadap istri yang nusyuz hanya dalam keadaan terpaksa juga terdapat dalam riwayat hadits yang dikutip dari al Alusi, dalam Tafsirnya :
Dari Ummi Kaltsum bin Abu bakar al Shiddiq r.a. berkata, bahwa para suami dilrang memukul perempuan (istri)nya. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah SAW. dan Rasulpun bersabda : “Orang paling baik diantara kamu niscaya tidak akan pernah memukul istrinya”
Berdasarkan penafsiran-penasfiran di atas dan adanya hadits nabi yang mengecam suami yang memukul istrinya, maka secara substansi kebolehan memukul istri sebenarnya bukanlah sesuatu yang direkomenadiskan oleh al-Qur’an untuk dilakukan, melainkan sedapat mungkin dielakkan. Nabi SAW pun dalam sejarah hidupnya tidak pernah memukul istrinya. Karena itu secara tegas Imam al Syafi’I dan al Razi mengatakan: “meninggalkan pemukulan adalah lebih afdhal” addharbu mubah watarkuhu afdhal atau dengan ungkapan wal aula tarkh al darb. Dan jika melihat dari asbabun nuzul ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa ayat ini memang turun dalam konteks rumah tangga, dan pemukulan pada saat itu untuk membatalkan keputusan Rasulullah tentang qisas. Namun pemukulan dalam hal ini hendaknya dimaknai untuk memberikan pelajaran, bukan untuk menyakiti istri.
Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa konsep nusyuz dalam Islam tidak melegalkan kekerasan terhadap istri. Pemukulan terhadap istri yang nusyuz yang terdapat dalam al Qur’an QS. An Nisa (40) : 34 hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk memberi pelajaran, bukan untuk menyakiti bahkan berbuat kekerasan, karena pemukulan tersebut tidak boleh melukai. Sementara tindakan suami yang memukul istri hingga luka atau kekerasan suami terhadap istri dapat dinyatakan dikatakan sebagai nusyuz suami terhadap istri.
Konsep nusyuz suami yang dirumuskan para ulama terdahulu sebagai ketidaktaatan istri terhadap suami yang meliputi keluar rumah tanpa izin dsb. Perlu ditinjau kembali. Bahkan berdasarkan hadits yang memperbolehkan suami memukul istrinya yang berbuat zina, juga ayat yang memperbolehkan suami mempersulit istrinya (QS. Al Baqarah (2): 22), dapat dirumuskan bahwa perbutan nusyuz istri terhadap suami sehingga suami diperbolehkan memukulnya adalah ketika istri berbuat fahisyah mubayyinah (terbukti melakukan perbutan yang keji) yaitu zina. []