Semarak ngaji online di tengah pandemi Covid-19 menuai beragam perspektif dari pengamat. Tulisan dari KH. Imam Jazuli, L.c., M.A yang dimuat laman http://tribunnews.com dengan judul Trend Ngaji Online dan Ambyarnya Kharisma Kiai NU, Sudah Saatnya Move On! (30/4) mendapatkan tanggapan serius dari Ahmad Ali Adhim pada laman online http://mojok.co yang diberi tajuk Mengapa Ngaji Online Kiai Sepi, padahal Jumlah Santri Tidak Sedikit? Jika penulis pertama melontarkan hipotesa tentang pudarnya kharisma Kiai dan Gus pondok pesantren ketika masuk dalam pusaran dakwah daring, maka penulis kedua memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, aura kharismatik Kiai atau Gus tidak hanya diukur dari jumlah followers atau sedikit banyaknya penonton yang berpartisipasi dalam pengajian digital. Toh, mereka bukan objek tontonan macam pesohor. Tapi, figur teladan yang patut diikuti laku tirakat dan spirit dakwahnya.
Tulisan simpel ini ingin memperkaya perdebatan wacana dari dua penulis sebelumnya tentang fenomena ngaji online. Sepuluh sampai lima tahun terakhir, kita memang sulit menemukan figur ulama NU di kanal-kanal media sosial. Pada umumnya, mereka enggan mengudara secara virtual. Kiai dan ustaz lebih nyaman bergumul dengan para santri di ruang domestik, pesantren. Sekiranya ada yang melebarkan sayap, arenanya masih sangat terbatas karena cara yang ditempuh tetap saja bersifat konvensional; mengharuskan tatap muka langsung dengan jamaahnya. Sehingga, dahaga ilmu keagamaan kalangan religious surfers, sebutan bagi warganet yang sengaja memanfaatkan alat teknologi informasi untuk mencari pengetahuan agama, baru bisa diobati oleh ragam bentuk fasilitas dakwah yang ditawarkan oleh ulama-ulama baru. Yaitu kelompok agamawan yang mata rantai keilmuannya berasal dari luar pesantren. Lebih tepatnya bersumber dari media mainstream yang lebih mudah diakses, seperti buku-buku terjemahan, halakah pengajian tematik, televisi, dan internet (Kailani, 2019).
Namun, seiring bilangan warsa berganti, ruang kontestasi keagamaan di dunia maya kian dinamis dengan munculnya fenomena ngaji daring. Wajah-wajah lama dari kelompok agamawan baru tak lagi mendominasi. Kita bisa dengan leluasa mengakses saluran online yang diinisiasi oleh jaringan pesantren yang berafiliasi kepada organisasi NU. Bahkan, masuknya bulan Ramadan yang secara kebetulan beriringan dengan meluasnya wabah pandemi, Covid-19, seakan-akan menjadi momentum kebangkitan kiai-kiai NU, baik sepuh maupun muda dalam meramaikan khazanah pesantren virtual.
Perebutan Ruang Otoritas Keagamaan
Saya mengamini tesis yang dilontarkan Najib Kailani dan Sunarwoto bahwa bangunan otoritas ulama tradisional tidak seutuhnya ambruk akibat maraknya sosok ustad baru yang tampil di media massa (Najib Kailani & Sunarwoto, 2019). Malahan semakin ke sini, struktur piramidanya kian terbalik. Akselerasi teknologi informasi berbasis media sosial menumbuhkan kesadaran baru bagi kalangan ulama tradisional yang selama ini pengaruhnya tersisih. Secara kuantitatif, surve terbaru dari Alvara Research Center menjadi bukti konkret. Dengan mengambil 710 responden pada Minggu ke-2 bulan Mei 2020, Alvara menempatkan Gus Baha sedikit di bawah Ustaz Abdul Somad (hanya terpaut 2,9%). Kemudian disusul Gus Mus, Aa Gym, dan Muhammad Quraish Shihab. Dari kelima tokoh tersebut, setidaknya figur Gus Baha dan Gus Mus adalah representasi dominasi ulama tradisional yang paling sering ditonton atau didengar ceramahnya oleh warganet. Belum lagi ditambah persona kiai beken lain seperti Gus Yusuf Chudlori, Pesantren Tegalrejo Magelang, KH. Said Aqil Siradj, dan Gus Ulil (Ulil Abshar Abdalla) yang belum tampak di radar Alvara, tapi punya penggemar fanatik tersendiri. Melalui akun Facebook dan Channel Youtube, secara umum mereka tetap mempertahankan metode khas pesantren dalam menyampaikan tablignya.
Gayung bersambut. Semarak Ngaji daring yang telah dicontohkan ulama kharismatik di atas, kemudian diikuti oleh alumnus pesantren tradisional yang bermukim di pelbagai pelosok daerah. Orientasinya ialah memadati kanal media sosial dengan konten dakwah populis nan moderat. Di samping ngalap berkah, ada semacam niatan untuk melambungkan popularitas Kiai Kampung. Karakter medsos yang accessible, bisa kita putar ulang kapanpun dan dimanapun, membuat tabarukan online ini lebih fleksibel sesuai kebutuhan dan kemampuan kita. Asalkan kuota internet mencukupi tentunya.
Alternatif Baru
Serupa dengan ciri umum tradisi pesantren, ngaji daring masih menempatkan kiai dalam posisi sentral. Kecanggihan alat teknologi tak ubahnya merupakan perangkat elementer yang bersifat sekunder. Fenomena ini sekilas meruntuhkan teori lama tentang lima rukun peradaban pesantren. Dalam disertasi doktoralnya di The Australian National University (ANU), Zamakhsari Dhofier pada tahun 1982 dengan mantap mensyaratkan lima komponen utama pesantren, meliputi pondok, masjid, kitab kuning, santri, dan kiai (Dhofier, 2011). Dua komponen pertama dalam ngaji daring boleh hilang. Sebagai gantinya, perlu ditambahkan rukun baru, yaitu ponsel pintar dan kuota internet.
Meski demikian, sekali lagi, belum ada yang mampu mengalihkan peran kiai. Power dan otoritasnya mutlak. Sebab, hanya kiai yang dapat mengeksplorasi khazanah kitab kuning secara komprehensif. Membedah kata demi kata dengan paradigma kematangan dan keluasan wawasan. Kiai tidak wajib melek teknologi. Pada sebagian kasus ngaji daring, persoalan perangkat teknologi dan tetekbengek-nya telah diurus oleh asisten yang bertindak sebagai admin. Bisa jadi, admin ini ialah istri kiai atau santri seniornya yang selalu setia mendampingi kemanapun ia “mengudara”.
Bagi warganet, ngaji daring adalah opsi nyantri di era modern. Sudah menjadi maklum, setiap memasuki bulan puasa, media arus utama seperti televisi selalu menyajikan agenda hiburan. Mulai dari tontonan yang mengandung unsur komedi, talk-reality show, infotainment, sampai program religi. Sebagai konsumen, mau tidak mau kita “dipaksa” menyaksikan. Apalagi, sebelum kita mengenal medsos, praktis tidak banyak menu lain yang jadi alternatif. Sekarang berbeda. ngaji daring bak oase penyembuh kepenatan di tengah penampakan monoton televangelisme, sejenis festival kesalehan individual di media massa melalui wacana keagamaan Islami populer, Misalnya hijrah, produk halal, perbankan Islam, bisnis properti Islami, wisata Islami, dan kuliner yang juga Islami. [HW]