Setelah melakukan penelusuran referensi ke perpustakaan IIUM dan melakukan kunjungan religious ke beberapa tempat pada hari ketiga di Malaysia, kurang lebih jam 23 tadi malam waktu setempat, kami sampai ke rumah sahabat Hasyim Hasbullah, tempat saya dan Ibn Muchlis bermukim selama ini. Karena referensi-referensi yang saya peroleh di perpustakaan IIUM itu sebagai pinjaman sementara melalui sahabati dosen UIN Suka Yogyakarta yang sedang mengambil program doktoral di kampus itu, Lailatis Syarifah, buku-buku itu segera saya baca dan menyaring pikiran-pikiran intinya untuk kemudian digunakan sebagai penguat penelitian saya tentang “Mengapresiasi Kritis Nalar Tafsir al-Qur’an Feminis Muslim”.

Begitu selesai menyaring dan menuangkan ke dalam sebuah catatan kertas, sambil menunggu team sepakbola idola saya bermain, Manchester City melawan Everton, pada jam 04;15 waktu Malaysia, saya manfaatkan membaca buku karya bapak Lukman Hakim Saifuddin yang berjudul “Moderasi Beragama” yang diberikan kepada saya saat mengikuti workshop ToT Moderasi Beragama di UIN Bandung (18-24 Desember 2023). Setelah membacanya, saya memutuskan untuk mereview karya mantan Menteri Agama RI itu karena dua alasan mendasar.

Pertama, otoritas penulisnya. Meminjam teori otoritas yang digunakan Khaled Abou el Fadl, Lukman Hakim Saifuddin bisa dikatakan mempunyai dua otoritas sekaligus terkait dengan karyanya “Moderasi Beragama”, yakni otoritas koersif dan otoritas persuasif. Dia mempunyai otoritas koersif karena buku itu digagas dan ditulis pada saat dia sedang menjabat sebaga Menteri Agama RI (2014-2019) yang karena jabatannya, dia mempunyai otoritas “memaksa” dalam mentransformasikan gagasannya ke dalam sebuah kebijakan yang harus ditaati oleh para bawahannya. Disisi lain, dia mempunyai otoritas persuasif, karena Intelektual Muslim NU yang mendapat penghargaan sebagai pencetus moderasi beragama dari UIN Syahid Jakarta, dan beberapa penghargaan lain sebagai tokoh moderasi beragama itu mempunyai kualitas intelektual yang memadai dalam bidang moderasi beragama dan bisa diikuti siapapun yang sedang mendalami pemikiran keagamaan dan moderasi beragama.

Kedua, sebagai karya yang bersifat filosofis yang mendasari pengarusutamaan gerakan moderasi beragama [108] di Indonesia, nilai filosofisnya bisa disalahpahami oleh mereka yang tidak jernih dan tidak serius membaca buku itu karena gagasannya ditulis dalam bentuk artikel lepas yang kemudian dibungarampaikan ke dalam bentuk buku. Sebab, kendati gagasan intinya sama, secara teknis bisa terjadi pengulang-ulangan bahasan [73;81], sering berganti istilah-istilah kunci, berikut unsur-unsur pemikirannya [48-51; 94-95] dan hal itu bisa membuat pembacanya salah memahami maksud inti gagasannya.

Atas dasar itu, saya bertmaksud merangkai secara ringkas gagasan inti yang bersifat filosofis namun terberai ke berbagai tulisan itu agar nantinya bisa dikembangkan lebih lanjut ke dalam gagasan turunannya. Namun karena tulisan ini sebagai hasil ijtihat kecil saya, yang bisa benar dan bisa salah, para pembaca budiman tidak harus mengikuti tulisan ini. Silahkan para pembaca untuk membacanya sendiri. Tetapi, boleh juga diikuti.

@@@

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, istilah moderasi sudah muncul dalam mitologi Yunani Kuno, dan sudah dikenal dalam tradisi agama-agama yang lahir sebelum Islam, seperti Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu [87]. Di dalam Islam, moderasi beragama bukanlah barang baru sama sekali. Islam sejatinya adalah agama yang moderat. Nabi Muhammad mengatakan “perkara yang paling baik adalah yang berada di tengah-tengah”; al-Qur’an mengatakan “demikianlah kami jadikan kalian semua (umat Islam) sebagai umat yang berada di tengah-tengah (ummatan wasatan)” (al-Baqarah:143), dan al-Qur’an menilai “kamu sekalian (wahai ummat Islam) adalah ummat terbaik (khairu ummah) yang dihadirkan Tuhan kepada umat manusia di dunia ini” (Ali Imran:110).

Baca Juga:  Membaca Relasi Agama dan Negara: Sebuah Apresiasi

Moderasi beragama juga telah lama diperbincangkan dan diamalkan, terutama dalam aliran Ahulussunah wa al-Jama’ah yang di NU terkenal dengan tiga pilar utama: pemikiran (fikroh), gerakan (harkah) dan perbuatan (amaliah) [85]. Begitu juga, ia sudah ada di dalam Konstitusi Indonesia, dan menjadi perbincangan hangat di kalangan intelektual muslim Indonesia sejak tahun 1970-an sampai 1980-an [155-156]. Yang baru menurut Lukman adalah termanya [2], dan juga pengenalannya ke ruang publik sebagai sebuah gerakan, yakni pada tahun 2016 ketika dia menjabat sebagai Menteri Agama RI. Baru setelah itu, disusun sebuah buku berjudul “moderasi beragama” yang kemudian dilakukan uji publik [99-109], lalu dimasukkaan ke dalam RPJMN 2020-2024 dan secara massif ditransformasikan melalui Lembaga Pendidikan keagamaan seperti STAIN, IAIN dan UIN, melalui Rumah Moderasi, LPPM dan sebagainya.

Dalam membangun gagasannya, Lukman membedakan moderasi agama dengan moderasi beragama. Esensi agama menurutnya adalah memanusiakan manusia, sehingga persoalan keagamaan sejatinya diselesaikan dengan cara yang manusiawi [4]. Diantara cara yang manusiawi itu adalah cara yang moderat yang dalam konteks beragama disebut moderasi beragama. Moderasi beragama menurut Lukman adalah esensi agama [11]. Akan tetapi, tidak setiap orang beragama secara moderat. Ada seseorang yang beragama secara ekstrim konservatif dan ada yang beragama secara ekstrim liberal [17-19; 75]. Menurutnya, beragama secara moderat hadir untuk mencari titik temu secara manusiawi di antara dua kelompok yang ekstrim itu [19, 75, 79].

Sejalan dengan itu, moderat dalam beragama dinilai sebagai sebuah “keniscayaan” bagi individu yang hendak beragama secara damai dan mencerahkan, dan menjadi sebuah “kebutuhan” bagi masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia demi terciptanya kerukunan intra dan antarumat beragama [11]. Kendati kerukunan hidup antar intra dan antarumat beragama itu terjamin keberadaannya di Indonesia di bawah payung empat pilar berbagsa dan bernegara: NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinnika Tunggal Ika, potensi konflik atasnama agama itu bersifat laten karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Memang bukan agamanya yang membuat konflik, karena agama pada dasarnya mengajarkan kedamaian. Orang beragamanya itulah yang bisa membuat konflik atasnama agama.

Konflik itu disebabkan oleh banyak faktor, salahsatunya adalah penafsiran atau pemahaman atas kitab suci agama. Sebab, pemahaman seseorang atas kitab suci agama terkadang terlalu ke pojok pinggir karena berorientasi pada teks sehingga lahir kelompok beragama yang ekstrim konservatif yang cenderung meluapkan emosinya dalam beragama; dan terkadang terlalu ke pojok lainnya yang mengutamakan akal dan konteks, sehingga lahir kelompok beragama yang ekstrim liberal yang terkadang mengabaikan kesucian agamanya dan menomorduakan ajaraan agamanya [10, 18-19].

Jika muncul pertanyaan, apa urgensi moderasi beragama diterapkan jika masih ada kelompok ekstrim yang selalu menciptakan konflik atasnama agama kendati moderasi beragama sudah massif digerakkan? Untuk menjawab pertanyaan yang bernada meragukan itu, Lukman mencontohkan betapa sering dibacakannya khutbah Jum’at kendati orang-orang sudah mengetahui dan mendengarkan khotbah tentang wasiat takwa itu setiap hari jum’at. Tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang dengan maksud untuk menyadarkan mereka agar tidak rusak hanya karena salah memahami dan menggunakan agama. Karena itu, menurut Lukman, moderasi beragama menjadi urgen digerakkan dan diarusutamakan karena agama sejatinya hadir untuk menjaga jiwa, bahwa keselamatan manusia adalah prioritas; selalu ada potensi penafsiran yang berbeda atas kitab suci agama lantaran perbedaan konteks yang terus berubah; dan kini muncul kelompok yang hendak merusak kehidupan berbangsa dengan men-thaghut-kan Negara berikut Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasarnya, kemudian hendak menggantinya dengan ideologi dan bentuk negara lain [56-62].

Baca Juga:  Implementasi Moderasi Islam di Dunia Pendidikan terhadap Generasi Z

Namun demikian, sebagai sesuatu yang baru diperkenalkan, moderasi beragama sering disalahpahami, dan para pelopornya mendapat tuduhan sebagai pesanan orang-orang luar yang hendak merusak umat Islam Indonesia. Untuk memberikan pemahaman sekaligus menjawab tuduhan-tuduhan itu, Lukman memberi definisi sederhana atas konsep moderasi beragama, yakni “ikhtiyar beragama yang tidak berlebihan, sehingga tidak melampaui batas”. Pengertian sederhana itu didasarkan pada asumsi bahwa selalu terjadi penafsiran yang bukan hanya berbeda, tetapi juga berseberangan di kalangan penafsir kitab suci agama, yakni penafsiran yang berorientasi pada teks semata, sembari melupakan kontek; dan penafsiran yang terlalu mengutamakan akal pikiran, sembari mengabaikan teks [9-10]. Maka pengertian sederhana tentang moderasi beragama itu bersifat interpretatif, bukan konseptual.

Setelah itu, Lukman memberikan definisi yang lebih luas yang bersifat konseptual tentang moderasi beragama, yakni “cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama, yaitu yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatana bersama”.

Definisi yang luas ini didasarkan pada argumen bahwa dalam beragama terdapat pihak lain yang harus menjadi pertimbangan kita dalam mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Manusia adalah makhluk beragama sekaligus makhluk sosial. Kendati manusia sebagai seorang hamba dekat dengan Tuhan, dia tetap membutuhkan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan ketika hendak meninggalkan dunia ini menuju liang kubur. Dan agama, sebagai ajaran Tuhan yang bertujuan memanusiakan manusia, mengajarkan bagaimana membangun hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan lingkungan sekitarnya dan antara sesama manusia. Di situlah, moderasi beragama sebagai esensi agama menurut Lukman menjadi kebutuhan dalam bermasyarakat [10].

Definisi itu tentu saja bersifat umum, dan dibutuhkan penjelasan lebih teknis agar bisa dipahami maksudnya. Lukman memberikan penjelasan atas beberapa istilah kunci atau frase di dalam definisi yang luas itu.

Pertama, frase “dalam kehidupan bersama”. Maksudnya, penguatan cara pandang, sikap dan praktik moderasi beragama itu manyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan individu. Moderasi beragama tidak mengintervensi kehidupan pribadi. Kedua, frase “mengejawantahkan esensi ajaran agama” dimaksudkan bahwa beragama harus bersifat substantif yang selalu mengedepankan esensi daripada ritual atau simbol. Ketiga, frase, “yang melindungi martabat kemanusiaan” menegaskan bahwa moderasi beragama dibangun di atas kesadaran bahwa esensi agama adalah menjaga martabat kemanusiaan. Keempat, frase” membangun kemaslahatan umum” menandakan bahwa praktik beragama harus berorientasi pada kemaslahatan umum, bukan invidu. Nilai-nilai di atas harus selalu berlandaskan pada frase kelima, yakni prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi”. Atas prinsip yang terakhir itu, maka beragama tidak boleh melanggar ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara, dan Undang-Undang Dasar [68-70].

Esensi beragama yang moderat itu kemudian diacukan pada sembilan kata kunci, yakni kemanusiaan, kemaslahatan, keadilan, berimbang, taat konstitusi, kometmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penghormatan atas tradisi, yang itu semua diturunkan dari definisi dan indikator-indikator moderasi beragama. Sembilan kata kunci beragama itu menurut Lukman merupakan pokok inti dari agama, dan seseorang disebut tidak moderat dalam beragama jika mengabaikan pokok inti agama itu sendiri. Ajaran inti agama itu dimiliki semua agama, baik ardi maupun samawi.

Baca Juga:  Pentingnya Penerapan Nilai Moderasi Beragama Bagi Generasi Milenial di Era Digital

Tentu saja, kesembilan kata kunci moderasi beragama itu bukan harga mati karena moderasi beragama menurut Lukman adalah sebuah proses yang tak akan pernah berhenti [5]. Moderasi beragama merupakan cara, jalan yang menempatkan dialog sebagai proses utama dalam memahami agama. Dialog terus menerus itu merupakan tugas para penafsir agama. Pemahaman mereka sejatinya tidak hanya berhenti pada teks kitab suci agama semata, yang membuat pemahaman menjadi tektualis karena melepaskan peran konteks, juga tidak hanya bertumpu pada konteks pembaca, yang membuat pemahaman menjadi dekontekstualisasi karena melepaskan peran teks, melainkan bertumpu pada proses dialog terus menerus antara teks kitab suci dengan pembaca dan masyarakat penggunannya yang senantiasa mengalami proses perubahan.

Karena itulah, menurut moderasi beragama, kebebasan beragama itu terjamin di dalam konstitussi negara, tetapi kebebasannya itu harus dibatasi. Yang harus terlibat dalam memberikan aturan batasan itu adalah negara. Akan tetapi, keterlibatan negara juga terbatas. Menurut Lukman, ada tiga wilayah kebenaran agama yang menurut moderasi beragama, negara boleh dan tidak boleh terlibat:

Pertama, kebenaran yang bersifat universal, yang diakui oleh semua agama, seperti tentang perlindungan harkat, derajat dan martabat kemnusiaan, penegakan keadilan, persamaan di depan hukum, penegakan hak asasi manusia, dan membangun kemaslahatan bersama; kedua, kebenaran yang hanya diyakini oleh satu penganut agama tertenu saja, seperti Islam melarang minuman yang memabukkan, berjudi, keharusan membayar zakat; dan kebenaran yang bersifat partikular, yang bukan hanya tidak diakui oleh penganut agama lain, tetapi di kalangan penganut satu agama saja tidak semuanya mengakuinya, seperti tentang tahlilan, maulidan dan sebagainya. Menurut Lukman, negara “harus” hadir melindungi kebenaran yang pertama; negara “dapat ikut” terlibat dalam pengaturan kebenaran kategori kedua; dan negara “tidak boleh ikut” mengatur kebenaran kategori ketiga [31, 48, 93]. Negara yang harus hadir itu diwakili oleh Kementerian Agama RI.

Keterlibatan Kementerian Agama sebagai wakil negara bisa mengambil bentuk kebijakan, bisa mengambul bentuk pengarusutamaan moderasi beragama dan bisa melalui kepeloporan moderasi beragama. Namun penting dicatat, moderasi beragama tidak bisa diharapkan kehadirannya untuk menyelesaikan setiap peristiwa konflik yang terjadi, melainkan fokus pada konflik yang berlatarbelakang agama saja. Moderasi beragama memiliki beberapa dimensi, dan pada dimensi-dimensi inilah, moderasi beragama dilibatkan: dimensi eksternum, yakni penggunaan moderasi beragama dalam hal kehidupan bersama, bukan dalam kehidupan individu. Ia juga bisa memberikan solusi ketika digunakan untuk menyelesaikan konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan non moderasi beragama. Bisa juga dijadikan instrumen kekuatan hukum, dan bisa direplikasi untuk menyelesaikan kasus lain yang serupa.

Lukman lantas memberikan beberapa contoh bagaimana menyelesaikan persoalan keagamaan yang bersiat eksternum tadi dengan menggunakan moderasi beragama, seperti persoalan status agama Baha’i, konflik Syi’ah di Kabupaten Sampang, Gerakan ISIS, peristiwa Tilikara, pembakaran Greja di Aceh Singkil, muatan buku ajar, ujaran kebencian atasnama agama, dan sebagainya [111-153]. Beberapa contoh itu bisa digunakan sebagai metode bagaimana menyelesaikan kasus-kasus yang serupa di tempat lain dengan menggunakan moderasi beragama.

@@@

Tulisan sederhana ini dipersembahkan buat guru dan fasilitator hebat kami, bapak Martin Lukito Sinaga. Selamat hari natal dan tahun baru

Selangor Malaysia, 28 Desember 2023

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini