Umar Bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah ke-8 pada masa dinasti Umayyah, ia merupakan imam yang faqih, seorang mujtahid juga seorang hafidz yang sangat taat beribadah kepada Allah SWT. Umar Bin Abdul Aziz dapat dikatakan seorang mujaddid (pembaharu) Islam karena beliau lahir pada awal 100 tahun kedua setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT akan mendatangkan untuk umatku pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang membela agama-Nya” (H.R Abu Dawud), berdasarkan hadits tersebut rasanya tidak keliru jika sebagian ulama menetapkan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu pembaharu dalam Islam.
Ada suatu kisah yang dinarasikan oleh Imam Syathibi dalam kitab al-Muwafaqotnya dan dapat kita jadikan pelajaran berharga bagi kita untuk berdakwah terlebih lagi di era informasi yang serba cepat seperti saat ini, ketika Umar Bin Abdul Aziz mengajarkan anaknya untuk berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam berdakwah.
Tatkala Umar Bin Abdul Aziz baru dilantik menjadi khalifah, anak Umar Bin Abdul Aziz yaitu Abdul Malik segera menghampiri Ayahnya dan bertanya dengan penuh semangat; “Wahai Ayah, sekarang engkau telah menjadi khalifah mengapa engkau tidak langsung segera memberantas korupsi yang merajelela, kemaksiatan dan kerusakan yang sedang dan sudah lama terjadi di masyarakat?
Darah muda putra Umar Bin Abdul Aziz mendidih dan ingin segera memberantas kerusakan, kedzoliman dan kejahatan yang kala itu kerap terjadi di masyarakat. Abdul Malik yang taat beragama itu sangat bersemangat menginginkan Ayahnya yang baru diamanati Allah SWT menjadi pemimpin untuk dengan segera memberantas kedzoliman di tengah masyarakat tanpa memandang resikonya.
Mendengar pertanyaan anaknya yang hendak memberantas kedzaliman seketika, Umar Bin Abdul Aziz dengan arif bijaksana bertutur dengan anaknya dengan santun, “Wahai anakku, jangan tergesa-gesa dalam berdakwah. Tidakkah engkau dapat mengambil pelajaran bahwa Allah SWT mencela minuman khamr sebanyak dua kali terlebih dahulu dan baru mengharamkannya pada peringatannya yang ketiga kalinya”. Aku khawatir membebani masyarakat kebenaran secara tiba-tiba, namun di kemudian hari mereka akan meninggalkannya secara tiba-tiba pula. Aku benar-benar khawatir jika kita langsung mengumandangkan kebenaran ini secara spontan, maka mereka pun akan menolaknya secara spontan pula. Aku sangat takut cara seperti ini justru akan memunculkan fitnah”.
Di kesempatan yang lain Abdul Malik masuk ke rumahnya dengan penuh semangat dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya engkau telah melihat bid’ah tetapi engkau tidak melenyapkannya, sesungguhnya engkau mengetahui sunnah tetapi mengapa engkau tidak menghidupkannya? Apa yang akan engkau katakan pada Tuhanmu di hari akhir kelak jika Dia bertanya kepadamu?
Ayahnya sambil tersenyum simpul dan dengan tenang kembali menjawab dengan santun, penuh kasih sayang dan dengan cara yang arif lagi bijaksana “Wahai anakku, semoga Allah SWT membalasmu dengan kebaikan atas niat baikmu ini. Sesungguhnya kaumku sedang mengikat sesuatu dengan ikatan yang kencang, ketika aku memaksa mereka melepaskannya aku merasa tidak aman jika harus merebutnya dengan keras, karena aku khawatir akan lebih banyak terjadi pertumpahan darah.
Demi Allah, lenyapnya dunia dan seisinya lebih ringan bagiku daripada fitnah dan pertumpahan darah yang disebabkan olehku karena tergesa-gesa dan kecerobohanku dalam memaksa mereka meninggalkan sesuatu dengan segera, Apakah engkau anakku tidak merasa cukup puas dan ridha jika setiap hari Ayahmu ini dapat mematikan satu bid’ah saja dan menghidupkan kembali satu persatu sunnah?”
Dalam konteks Indonesia, metode dakwah Umar Bin Abdul Aziz yang santun dan tidak terburu-buru ini diteladani oleh Wali Sanga. Mereka merupakan tokoh penyiar Islam di tanah jawa dari abad 14-15M. Dalam metode dakwahnya mereka bersikap lembut dan halus kepada masyarakat sekitar, tidak terburu-buru merubah adat dan kebudayaan mereka yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan pada masyarakatnya.
Metode dakwah para Wali Sanga bersifat edukatif-kultural-persuasif. Para Wali Sanga perlahan-lahan mengajak masyarakat kepada Islam, terdapat nilai-nilai sakral dan nilai-nilai kultural dalam gerakannya.
Sebagai contoh Sunan Kalijaga menyadari bahwa masyarakat Jawa menyukai kesenian seperti gamelan, maka Sunan Kalijaga membeli gamelan pada masyarakat sekitar dan seperangkat gamelan yang ia beli itu ia namai Kiai Sekaten yang akan ia pakai sebagai media dakwah untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Demak dan sekitarnya.
Walaupun Umar bin Abdul Aziz maupun Para Wali Sanga kehadirannya sudah tidak ada di alam dunia. Kita tidak perlu gelisah melihat kenyataan ini, gerakan dakwah mereka yang bersifat santun, ramah, toleran, tidak tergesa-gesa dalam menyiarkan agama Islam dan tidak melancarkan praktif-praktif konfrontatif sudah dilanjutkan oleh ulama, kiyai, lembaga dakwah, pesantren, ormas muslim moderat dan media muslim modern yang gerakannya terinspirasi dan termotivasi oleh semangat dakwah Umar bin Abdul Aziz para Wali Sanga dan para ulama moderat lainnya.
Merekalah yang seharusnya menjadi kiblat kita dalam berdakwah, yang memakai metode hikmah (mengajak orang dengan cara yang arif lagi bijaksana), mauizhah hasanah (mengajak orang dengan tutur kata yang lemah lembut dan baik) dan mujadalah (mengajak orang berdisukusi dengan argumentasi yang baik) bukan dengan cara-cara konfrontatif, intoleran, tanpa kompromi maupun yang gencar meneriakan untuk segera dengan cepat-cepat ingin kembali ke Alqur’an dan Sunnah namun justru dengan metode yang tidak sesuai dengan keduanya. Wallahu’alam.