Saya diminta oleh mbak lyna untuk menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan “the 1 st International comference on multidisiplinari studies 2024” (SICOM 2024) yang diadakan oleh kampus STAIMAS Wonogiri pada tanggal 12 Desember 2024 dengan sub tema “AI untuk kesejahteraan sosial dan tantangan kemanusian”. Jika dilihat dari sisi objeknya, tema ini berada di luar bidang keilmuan saya. Teknologi digital pada umumnya digunakan oleh mereka yang masuk ke dalam manusia kategori generasi Milenial dan generasi Z.
Karena itu, saya akan melihat tema ini dari posisi saya sebagai pemikir muslim yang melihat persoalan tidak semata-mata pada aspek kemanfaatan lahiriahnya sebagaimana para pengguna teknologi digital pada umumnya, melainkan dari sisi yang lebih mendalam dan filosofis terutama terkait dengan: bagaimana manusia menciptakan perubahan; dan bagaimana eksistensi manusia di era digital ini.
Secara filosofis dikatakan, “manusia adalah hewan berfikir”. Itu artinya, ada dua kategori hewan, yakni hewan yang tidak berfikir dan hewan yang berfikir. Karena esensi manusia adalah berfikir, maka jika ada manusia yanag tidak berfikir, ia bisa dikatakan sebagai hewan saja. Ketika berfikir, saat itulah manusia menjadi ada, “saya berfikir maka saya ada”, kata Rene Descartes. Tentu saja tidak sekedar ada secara biologis, karena hewan yang tidak berfikir pun ada secara bilogis. Yang dimaksud ada di sini adalah ada secara filosfis, bukan secara biologis.
Orientasi berfikir manusia tentu saja berbeda-beda, tetapi orientasi utamanya adalah menciptakan perubahan, dan karena itulah, al-Qur’an menegaskan bahwa “Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah kehidupannya”. Itu artinya, manusialah yang membuat terjadinya perubahan di dunia ini, baik perubahan yang bersifat evolusioner, revolusioner maupun desktruktif
Perubahan-perubahan itu selalu didahului oleh penemuan manusia, dan selalu diorientasikan untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Dengan ditemukannya alat-alat pertanian, lahirlah revolusi pertanian, dan para petani dengan mudah menggarap sawah dan mendapatkan hasil yang melimpah, sehingga mereka bisa meraih kehidupan yang lebih baik; dengan ditemukannya teknologi industri, lahirlah revolusi industri, dan manusia dengan mudah memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi, sehingga mereka mendapatkan hasil barang yang melimpah, dan sekali lagi mereka bisa menikmati hasilnya; dan dengan ditemukannya teknologi komputer, lahirlah revolusi teknologi, sehingga mereka bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih cepat. Dengan ditemukannya teknologi digital, lahirlah revolusi (desrupsi) digital, dan manusia dengan sangat mudah melakukan pekerjaannya, dan bisa menyongsong masa depan yang lebih baik.
Saat ini, kita hidup di era teknologi digital. Teknologi digital membantu banyak hal dalam hidup manusia, dan manusia seolah tidak bisa lepas dari peran teknologi digital. Teknologi digital pun menjadi kultur, sehingga ia memengaruhi dan mengubah pola hidup masyarakat, termasuk budaya komunikasi, baik komunikasi keseharian maupun komunikasi pemikiran.
Masyarakat tradisional yang belum mengenal dan menguasai teknologi komunikasi modern biasanya menggunakan komunikasi fisik antara manusia. Ketika seseorang yang mempunyai hajat akan mengundang Masyarakat sekitar ke rumahnya, dia mendatangi setiap rumah yang akan diundang dan menyampaikan hajatnya dengan menggunakan bahasa lisan yang lembut dan penuh sopan santun. Ketika seorang Ulama’ hendak menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritualnya kepada Masyarakat, mereka manyampaikannya melalui ceramah-ceramah lisan di atas panggung. Dalam budaya komunikasi itu, Masyarakat yang hidup dalam situasi dan kondisi yang sama, menggunakan pancaindra lisan, mata dan telinga untuk menangkap pesan-pesan moral dan spiritual para penceramah itu.
Ketika masyarakat mulai mengenal dan menguasai teknologi modern seperti kertas, mesin ketik dan mesin cetak, pola komunikasi mengalami perubahan. Mereka tetap hadir secara fisik untuk menyampaikan undangannya kepada Masyarakat sekitar, tetapi dengan hanya mengantarkan surat undangan tanpa harus menyampaikan banyak kata atau basa-basi, karena pihak yang diundang bisa membaca sendiri surat undangannya. Begitu juga ketika seorang pemikir muslim (ulama’) hendak menyampaikan pemikirannya kepada Masyarakat, tidak lagi menggunakan lisan sebagaimana yang pertama. Mereka mulai menggunakan tulisan. Mereka penuangkan pemikirannya ke dalam sebuah tulisan, lalu dicetak dan diterbitkan oleh penerbit menjadi sebuah buku, lalu disebar ke berbagai toko buku yang ada. Di sini, pihak pengundang dan pemikir dengan audiensnya mulai berjarak, baik waktu maupun tempat. Dalam komunikasi ini, jika dua pihak yang pertama menyampaikan pesannya melalui tulisan, audiensnya mengunakan mata dan akalnya untuk memahami pesan tulisan.
Ketika Masyarakat mulai mengenal dan menguasai teknologi digital, pola komunikasi mengalami perubahan lagi. Seseorang yang mempunyai hajat cukup mengirim surat undangannya melalui media sosial seperti pesan WhatsApp, bahkan tidak perlu mengirim satu-satu kepada setiap orang, melainkan melalui WAG. Begitu juga, pemikir muslim (ulama’) tidak perlu lagi mencetak pemikirannya ke dalam bentuk fisik melalui penerbit buku yang membutuhkan waktu agak lama. Mereka bisa langsung mencetaknya melalui computer menjadi buku digital, atau melalui web yang bertebaran di internet. Pada kasus ini, pihak yang mengundang dan pemikir tidak lagi membutuhkan perantara orang untuk menyampikan pesannya kepada seseorang atau masyarakat. Mereka cukup ngeklik, dan ngeshar pesannya itu sambil tidur-tiduran di kamar. Pesan akan sampai tepat waktu, kepada semua orang yang dituju.
Teknologi digital tidak hanya membantu manusia menyampaikan pesannya dengan cepat, tetapi juga membantu proses transaksi ekonomi melalui e-bangking dan e-tol, membantu manusia mencari alamat melalui GPS dan WISE, membantu manusia mencari informasi keilmuan dan agama melalui mesin pencari Google, dan mencari tulisan artikel melalui google scholar. Bahkan, saat ini mulai muncul media baru yang bisa membantu manusia menulis artikel, seperti AI, ChatGBT dan sebagainya. Inilah peran-peran teknologi digital yang sangat membantu pekerjaan manusia menjadi mudah, cepat, dan murah, sehingga bisa mengubah pola hidup manusia menjadi nyaman. Pada aspek ini, teknologi digital perlu diapresiasi.
Akan tetapi, teknologi digital juga perlu dikritisi, karena ia mengalami otonomi relatif dari manusia sebagai pencipta dan penggunanya. Tidak jarang ia digunakan untuk hal-hal yang negatif seperti penyebaran pornografi, judi online, perekrutan teroris, penyebaran hoaks, fitnah dan sebagainya yang bisa merusak moralitas masyarakat, bahkan terpecah belah.
Begitu juga penting dicatat, manusia tidak hanya mencari kenyamanan dalam hidup dengan beragam kemudahan, kecepatan dan kemurahan di dalamnya. Manusia juga mencari dan membutuhkan eksistensi, dan hal itu tidak serta merta diperoleh melalui teknologi digital. Justru teknologi digital yang awalnya diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia bisa berbalik arah melawan dan mengancam manusia. Teknologi digital tidak hanya menghilangkan rasa kemanusiaan manusia, tetapi juga bisa menghilangkan eksistensi manusia sendiri.
Komunikasi antarmanusia yang berjarak jauh memang bisa diatasi dengan menggunakan teknologi digital seperti WhatAps dan Zoom, tetapi di dalam komunikasi itu terasa ada yang hilang, yakni “rasa”. Berbeda dengan komunikasi fisik dimana setiap orang bertemu dan berkumpul dalam satu tempat. Percakapan serius dan candaan yang dilontarkan dengan lisan terasa lebih menyentuh jika disertai ekspresi fisik, dimana mata dan telinga bisa terlibat di dalamnya.
Selain itu, teknologi digital mulai mengambil alih profesi manusia, termasuk berfikir dan menulis. Hal ini bisa terjadi, karena teknologi tidak lagi menjadi sarana yang bisa dikendalikan oleh manusia, tetapi sudah menjadi tujuan itu sendiri. Mengapa? Karena ketika teknologi digital AI sudah bisa berfikir dan menulis sebagaimana layaknya manusia, pada saat ini, manusia tidak lagi mau membaca apalagi berfikir. Cukuplah bagi mereka, AI yang berfikir dan menulis. Yang penting bagi mereka adalah mempunyai pemikiran dan tulisan, kendati pemikiran dan tulisan itu lahir dari teknologi digital. Padahal, akibatnya sangat fatal, yakni hilangnya eksistensi manusia. Jika Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsuf Barat modern mengatakan “saya berfikir, maka saya ada”, maka sekarang di era postmodern berubah menjadi, “teknologi berfikir, maka saya hilang”.
Ketika eksistensi manusia tersingkir dan hilang, kebenaran pun menjadi liar. Kebenaran tidak lagi dimiliki pakar sesuai bidangnya. Kebenaran menjadi milik mereka yang menguasai teknologi digital. Mereka tidak lagi bertanya kepada pakar tentang apapun termasuk tentang agama. Mereka bertanya kepada mbah Google dan AI. Ketika mahasiswa diminta membuat makalah untuk kegiatan diskusi kelas, mereka tidak membaca buku-buku referensi yang disarankan tenaga pengajarnya. Mereka langsung kembali kepada mbah Google dan AI. Ketika berdiskusipun, pihak yang bertanya belum selesai mengajukan pertanyaannya, mereka yang menjadi pemahakalah sudah melihat HP dan menjawab pertanyaan dengan melihat HP-nya, bukan melihat pihak penanya.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar eksistensi manusia dan kebenaran tidak hilang? Haruskah kita menolak kehadiran Teknologi digital demi mempertahankan eksistensi manusia?
Tentu saja tidak. Kita harus menerimanya secara apresiasi-kritis, sembari mengubah mindset kita. Kita harus menyadari bahwa teknologi digital itu adalah buatan manusia, dan karena itu, selain mempunyai kelebihan juga pasti ada kekurangannya, sebagaimana manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kita gunakan teknologi digital itu sebagai alat atau sarana mencapaia tujuan, misalnya untuk menutupi kekurangan manusia dalam hal kerja-kerja teknis yang terlalu rumit, tetapi kita juga harus menghindarkan diri dari teknologi digital untuk menangani hal-hal tertentu yang sejatinya hanya bisa ditangani oleh manusia yang berakal budi, seperti berfikir dan menulis. Manusialah yang sejatinya berfikir dan menulis, bukan mesin karena tulisana itu sejatinya sebagai aktualisasi penulisnya melalui kerja literasi.
Proliman, Ponorogo, 12 Desember 2024.