Opini

Menggeser Batas Perkawinan Beda Agama: Jejak Apresiatif Perjanjian-Perjanjian Nabi Muhammad dengan Kelompok Kristen

Hasil riset Prof. John Andrew Morrow dalam bukunya The Covenants of the Prophet Muhammad with the Christians of the World menunjukkan fakta menarik seputar regulasi perkawinan beda agama antara Muslim laki-laki dan perempuan Ahl al-Kitab. Rasulullah terlihat sedemikan progresif dalam perjanjian-perjanjian tersebut, nyaris berbeda pandangan dengan sikap kebanyakan umat Islam, termasuk yang ada di Indonesia.

Sampai detik ini sikap organisasi besar Islam di Indonesia terkait perkawinan beda agama (PBA) tetap kukuh menolak. Orang Islam dilarang kawin dengan non-muslim termasuk Ahl al-Kitab. Mereka meyakini sikap tersebut didasarkan pada kebenaran Quranik dan, oleh karenanya, dipaksakan berlaku secara formal di Indonesia. Sikap ini pada banyak aspek tidak hanya merugikan masyarakat Islam namun juga terasa bertentangan dengan sikap Rasulullah dalam temuan Morrow.

Temuan-Temuan

Dalam karya singkat yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Trikartikaningsih Byas dengan judul Enam “Perjanjian Nabi Muhammad”, saya menemukan sikap Rasulullah yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Dalam perjanjiannya denga Biarawan Gunung Sinai tahun kedua hijriyah sekitar 622/623 M, Morrow mencatat sikap Rasulullah sebagai berikut:

“… Jika seorang perempuan Kristen memasuki rumah tangga Muslim, dia harus diterima dengan baik, dan diberi kesempatan berdoa di gerejanya; tidak akan ada perselisihan antara dia dan pria yang mencintai agama istrinya. Siapapun yang menentang perjanjian Allah dan bertindak melawannya adalah seorang pemberontak terhadap perjanjian-Nya dan Rasul-Nya. Mereka [Kristen] harus dibantu dalam pemeliharaan bangunan keagamaan dan tempat tinggal mereka; sehingga mereka terbantu dalam keimanan mereka dan kesetiaan mereka terjaga. Perjanjian ini dibuat dalam tulisan tangan ‘Ali bin Abi Thalib, semoga damai dan berkah Allah beserta-Nya, di Masjid Nabawi pada tanggal tiga Muharram tahun kedua Hijrah Nabi.”

Morrow mencatat perjanjian ini ditulis di Masjid Nabawi dengan menyertakan banyak saksi. Meraka adalah ‘Ali bin Abi Thalib; Abu Bakar bin Abi Quhafah, ‘Umar bin Khattab;

‘Utsman bin ‘Affan; Abu Darda’; Abu Hurairah; ‘Abdullah bin Ma’sud, ‘Abbas bin ‘Abdul Muttalib, Harits bin Tsabit, ‘Abdul ‘Azim bin Hasan, Fudayl bin ‘Abbas; al-Zubair bin ‘Awwam, Talhah bin ‘Abdullah, Sa‘ad bin Muadz, Sa‘ad bin ‘Ubadah; Tsabit bin Nafis, Zaid bin Tsabit, Abu Hanifah bin ‘Ubayyah, Hasyim bin ‘Ubayyah, Mu‘azhzham bin Qurayshi, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dan ‘Amr bin Yasin.

Perjanjian dengan Komunitas Kristen Persia

Dua tahun kemudian, tepatnya “pada Hari Senin setelah empat bulan pertama Tahun Keempat Hijrah” Rasulullah Muhammad saw membuat perjanjian lagi dengan masyarakat Kristen di Persia. Dalam naskah yang tidak menyebut saksi-saksi yang hadir, sebagaimana perjanjian dengan Biarawan Gunung Sinai, Rasulullah mencatat secara tegas poin penting terkait sikap ideal Muslim laki-laki terkait relasi asmara dengan perempuan Kristen Persia.

“Kaum Muslim tidak boleh menikahi perempuan dan gadis Kristen secara paksa, tetapi harus dengan persetujuan dari penguasa mereka. Namun, jika mereka [perempuan] dengan pilihan sendiri bergabung atau menikah dengan umat Islam baik secara permanen atau sewaktu, maka mereka harus diizinkan sebagai bentuk penghormatan atas hak perempuan yang memiliki kebebasan untuk menikahi siapapun yang mereka cintai dan pilih. Dan jika seorang perempuan Kristen menikahi seorang Muslim, maka dia harus diizinkan untuk tetap dalam agama Kristen, pergi ke gereja tanpa rintangan, dan tinggal dalam ketenangan sesuai agama dan hukumnya. Tidak boleh ada kendala baginya untuk berkomunikasi dengan penasihat spiritualnya; dan janganlah dia dipaksa meninggalkan agama dan hukumnya. Siapa pun yang mengabaikan perintah dalam Kontrak ini, orang tersebut tercatat telah meninggalkan Allah, dan akan dihukumi bersalah di hadapan Nabi karena membatalkan isi Perjanjian Nabi Allah. Orang-orang seperti ini termasuk dalam golongan orang berdosa di hadapan Allah.”

Perjanjian dengan Kristen Najran

Jaminan kemerdekaan beragama bagi perempuan Kristen yang menikah dengan Muslim laki-laki juga tertuang dalam perjanjian antara Rasulullah dan kelompok Kristen Najran. Perjanjian ini dibuat tahun kedelapan, sekitar tahun 630 Masehi. Juru tulis perjanjian ini adalah Mua’wiyah bin Abi Sufyan.

” …. Penganut Kristen tidak boleh dibuat menderita, dengan semena-mena, dalam urusan pernikahan yang tidak mereka inginkan. Muslim tidak boleh menikahi gadis Kristen melawan kehendak orang tua mereka, dan dia tidak boleh menindas pihak keluarga jika mereka menolak tawaran pertunangan dan pernikahannya. Pernikahan [antara Muslim dan Kristen] tidak boleh terjadi tanpa keinginan dan kesepakatan atau tanpa persetujuan dan kehendak mereka. Jika seorang Muslim mengambil perempuan Kristen sebagai istri, dia harus menghormati keyakinan Kristen istrinya. Dia harus memberi istri kebebasan mendengarkan ulamanya sekehendaknya, dan untuk mengikuti jalan agamanya sendiri. Barang siapa mengabaikan perintah ini dan memaksa istri menentang agamanya dalam aspek apapun maka dia telah merusak aliansi Allah dan melakukan pemberontakan terbuka terhadap pakta RasulNya dan Allah akan menghitungnya sebagai penipu. …. [Perjanjian] Ini tidak boleh dilanggar atau diubah sampai waktu Kebangkitan, Insya’ Allah.”

Baca Juga:  Menikah itu Memahami Tanda

Dokumen perjanjian ini dibuat oleh Rasulullah dan disaksikan para Sahabat. Mereka adalah ‘Atiq bin Abi Quhafa, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abu Darda’, Abu Hurairah, dan ‘Abdullah bin Mas‘ud. Sahabat lain yang juga menjadi saksi, antara lain: Abbas bin ‘Abdul Muttalib, Fadl bin Abbas, Zubair bin ‘Awwam, Talhah bin ‘Ubaydullah, Sa‘ad bin Muadz, Sa‘ad bin ‘Ubadah, Thumama bin Qays, Zaid bin Tsabit dan anaknya ‘Abdullah; Hurqus bin Zuhayr, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, ‘Umar bin Mazh‘un Ammar. Mus‘ab bin al-Zubair bin Jubair, Abu ‘Aliyyah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Hudhayfa, Ka‘b bin Malik, Hasan bin Tsabit, serta Ja‘far bin Abi Thalib.

Perjanjian Rasulullah dengan Komunitas Kristen Dunia (Bukit Carmel)

Rasulullah kabarnya juga pernah membuat perjanjian dengan komunitas Kristen dunia. Perjanjian ini dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-‘Ahd wa al-shurut allati sharataha Muhammad rasul Allah li ahi al-millah al-nasraniyyah. Naskah perjanjian ini, menurut Morrow, tidak terdapat dalam literatur Islam pada umumnya. Namun demikian, reproduksi terjemahannya tersebar luas di wilayah imperium Utsmani dan Eropa awal abad 17. Dalam investigasinya, Morrow meyakini naskah ini pertama ditemukan di Biara Gunung Karmel di dekat Libanon Palestina dan dibawa ke Eropa oleh Pacifique Scalinger (w. 1648), seorang romo (pater) dari Ordo Capuchin.

“Penganut Kristen tidak boleh dibuat menderita, secara semena-mena, dalam hal pernikahan yang tidak mereka inginkan. Muslim tidak boleh menikahi gadis Kristen melawan kehendak orang tua mereka, dan tidak boleh menindas pihak keluarga jika mereka menolak tawaran pertunangan dan pernikahannya. Pernikahan [antara Muslim dan perempuan Kristen] tidak boleh terjadi tanpa keinginan dan kesepakatan mereka atau tanpa persetujuan dan kehendak mereka. Jika seorang Muslim mengambil seorang perempuan Kristen sebagai istri, dia harus menghormati keyakinan Kristen istrinya. Dia akan memberi istri kebebasan untuk mendengarkan petinggi agama sesukanya dan mengikuti jalan agamanya sendiri, dan dia tidak akan memaksa istri untuk meninggalkan [agama] nya. Barang siapa mengabaikan perintah ini dan memaksa istri untuk menentang agamanya dalam aspek apapun maka dia telah merusak aliansi Allah dan telah masuk dalam pemberontakan terbuka terhadap pakta RasulNya, dan Allah akan menghitungnya sebagai penipu.”

Dokumen ini diklaim disaksikan oleh banyak Sahabat Nabi, yakni: Abu Bakr Siddiq, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Mu‘awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Darda’, Abu Dzar, dan Abu Hurairah. Selain mereka, terdapat Sahabat ‘Abdullah bin Mas‘ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Hamzah bin Abdul Muttalib, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zayd, Harfus bin Zayd, al-

Zubair bin ‘Awwam, Sa‘ad bin Muadz, Thabit bin Qays, Usamah bin Zaid dan ‘Utsman bin Mat‘un. Juga menjadi saksi: ‘Abdullah bin ‘Amr al-‘Ash, Abu Rabi‘ah, Hassan bin Tsabit, Ja‘far bin Abi Thalib, Bin Abbas, Talhah bin ‘Abdullah, Sa‘ad bin ‘Ubadah, Zaid bin Arqam, Sahl bin Bayda’, Dawud bin Jubair, Abu ‘Aliyyah, Abu Ahrifah, Bin ‘Usayr, Hasyim bin ‘Asiyyah, Zaid bin Arqam, ‘Umar bin Yamin, Ka‘b bin Malik, dan Ka‘b bin Ka‘b.

Versi Naskah Kairo dari pernjanjian di atas juga memuat hal serupa:

“Gadis-gadis Kristen tidak boleh dibuat menderita, dengan semena-mena, dalam hal pernikahan yang tidak mereka inginkan. Muslim tidak boleh menikahi gadis Kristen melawan kehendak orang tua mereka dan tidak boleh menindas keluarga mereka jika mereka menolak tawaran pertunangan dan pernikahan darinya. Pernikahan [antara Muslim dan perempuan Kristen] tidak boleh terjadi tanpa keinginan dan kesepakatan mereka atau tanpa persetujuan dan kehendak mereka. Jika seorang Muslim mengambil seorang perempuan Kristen sebagai istri, dia harus menghormati keyakinan Kristen istrinya. Dia akan memberi istri kebebasan untuk mendengarkan petinggi [agama]nya sekehendaknya dan untuk mengikuti jalan agamanya sendiri. Barang siapa menentang perintah ini dengan memaksa istri untuk bertindak menentang agamanya, dia telah merusak aliansi Allah dan merusak janji Rasul-Nya, dan dia akan kami masukkan dalam golongan penipu.”

Baca Juga:  Membangun Pernikahan tanpa Kekerasan

Perjanjian Rasulullah dengan Komunitas Kristen Assyiria

Menurut Morrow, mengutip temuan George David Malech, penulis buku History of the Syirian Nation and the old Evangelical-Apostolic Church of the East, perjanjian ini dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan komunitas Kristen Assyiria (Kristen Timur di Nazareth). Dalam kisahnya, Nabi Muhammad meminta komunitas tersebut masuk Islam. Namun demikian, setelah pemimpin komunitas tersebut, Said ketua suku Nazaret dan Uskup Jahb Alahab bersedia membayar pajak, Nabi Muhammad memberikan perlindungan dan kebebasan bagi komunitas tersebut menjalankan agamanya. Perlindungan tersebut, menurut Morrow, lantas diwujudkan dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian yang cukup panjang, disinggung pula seputar klausul perkawinan beda agama.

“Muslim tidak boleh memaksa perempuan Kristen untuk menerima Islam, tetapi jika mereka sendiri ingin menerimanya, Muslim harus bersikap baik kepada mereka. Jika seorang perempuan Kristen menikah dengan seorang Muslim dan tidak ingin memeluk Islam, dia memiliki kebebasan untuk beribadah di gerejanya dan menurut kepercayaan agamanya, dan suaminya tidak boleh memperlakukannya dengan tidak baik akibat agamanya. Jika ada yang mendurhakai perintah ini, dia mendurhakai Allah dan nabiNya dan [dianggap] bersalah melakukan pelanggaran besar.”

Perjanjian ini ditulis Mu‘awiyyah bin Abi Sufyan, sesuai ucapan Rasulullah pada Hari Senin di akhir bulan keempat dalam tahun keempat Hijriyah di kota Madinah. (p.35). Saksi-saksi atas perjanjian ini, tertulis; Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu‘awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Darda’, Abu Dzar, Abu Barah, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Hamzah bin Muttalib, Fadl bin ‘Abbas, Zubair ‘Awwam, Thalhah bin ‘Abdullah, Sa‘ad bin Muadz, Sa‘ad bin ‘Ubadah, Thabit bin Qays, dan Yazid bin Tsabit. Selain itu, ada juga ‘Abdullah bin Yazid, Sahl bin Sufya [atau Sifah], ‘Utsman bin Mat‘un, Dawud bin Jibah, Abu al-‘Aliyyah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Qadhi, Abu Hudayfah, Bin ‘Asir, Ibn Rabi‘ah, ‘Ammar bin Yasir, Hasyim bin ‘Asiyyah, Hassan bin Tsabit, Ka’b bin Ka’b, Ka’b bin Malik, dan Ja’far bin Abi Thalib.

Di balik QS. 5:5

Sikap benderang Rasulullah dalam menjamin kemerdekaan beragama/berkeyakinan perempuan Ahl al-Kitab dalam perkawinan dengan seorang Muslim memantik pemikiran tersendiri, yakni menyangkut kebolehan PBA dalam al-Quran (QS. 5:5) yang hanya bisa terjadi antara muslim laki-laki dan perempuan Ahl al-Kitab tidak berlaku sebaliknya. Saya sendiri sering mempertanyakan hal ini.

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka.(Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahi nya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. 5:5)

Terhadap ayat di atas, setidaknya terdapat dua penafsiran kenapa hanya laki-laki Muslim yang boleh mengawini perempuan Ahl al-Kitab tidak berlaku sebaliknya. Pertama, penafsiran berwatak kolonialisme, yakni interpretasi penundukan agar perempuan bisa dikonversi agamanya menjadi seorang Muslimah. Salah satu pengusung tafsir ini adalah Maulana Wahiduddin Khan. Ia memandang sentralitas posisi suami dalam rumah tangga. Pandangan patriarkhi Khan senyatanya telah menyeretnya pada pemikiran bahwa perempuan merupakan makhluk lemah, termasuk dalam aspek beragama. Itu sebabnya, ia menambahkan, dengan teladan berislam yang baik, seorang suami bisa memengaruhi istrinya untuk berpindah agama. kedua, penafsiran yang bersifat protektif.

Kedua, penafsiran yang diusung Yusuf Qaradawi kebalikan atas Khan. Qaradawi tidak menampik sentralitas serta dominasi peran dan fungsi suami dalam rumah tangga. Alih-alih menggunakan sentralitas dan dominasi tersebut untuk mengkonversi agama istri, Qaradawi berpandangan dua hal tersebut justru harus digunakan suami untuk melindungi kebebasan beragama/berkeyakinan istri. Baginya, Islam hadir belakangan dan merekognisi (mengakui) Yahudi dan Kristen sebagai agama suci dari Tuhan. Kehadiran sosok Musa maupun Yesus beserta kitab sucinya harus dipercayai dan menjadi pokok keimanan orang Islam. Al-Quran mengafirmasi hal tersebut. Rekognisi seperti ini terhadap diri Muhammad maupun Al-Quran secara teologis tidak ada dalam Yahudi maupun Kristen. Ketiadaan rekognisi ini tak pelak akan berimplikasi bagi keberadaan Islam yang dipandang “sebelah mata” karena dianggap tidak sekudus Kristen dan Yahudi maupun agama samawi lainnya.

Baca Juga:  Etika Perkawinan: Telaah Kritis terhadap Keluarga di Serial Layangan Putus

Atas dasar inilah, Qaradawi berpandangan; bagaimana mungkin perempuan Islam bisa hidup tenang, beribadah sesuai agamanya, jika suaminya, pemilik sentralitas dan dominasi dalam rumah tangga, memiliki pandangan tidak inklusif atas agama istrinya?

Qaradawi terlihat sedemikian serius menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan perempuan Islam saat menikah sebagaimana ia menjamin kebebasan yang sama manakala perempuan ahl-Kitab kawin dengan pria muslim. Sikap Rasulullah terhadap PBA yang termaktub dalam kovenan-kovenan di atas nampaknya selaras dengan pandangan Qaradawi. Jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dalam rumah tangga merupakan hal krusial yang berkontribusi terhadap kebahagian dan kelanggengan sebuah perkawinan.

Jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan isu sentral dalam Islam. Jaminan ini mendapat justifikasi sangat benderang QS. 2:256. Dalam ayat tersebut, sebagaimana pendapat As-Suddi dalam Tafsir al-Qurthubi, Nabi mengutip ayat tersebut agar Abu Hushain merelakan dua anaknya masuk Kristen dan mengikuti pedagang Kristen menuju Syam. Lebih jauh, Nabi juga dikabarkan tidak keberatan salah satu putrinya, Zaynab, mempertahankan perkawinannya meski suaminya, al-Rabi’, beragama selain Islam. Keputusan nabi atas Zaynab sangat mungkin dikarenakan al-Rabi’ memberikan kebebasan beragama/berkeyakinan terhadap istrinya.

Akhirnya, berpijak berpijak pada penalaran substansi tindakan dan sikap Rasulullah sebagaimana termaktub dalam kovenan-kovenan di atas, penulis memberanikan diri mengajukan hipotesis terkait keberadaan PBA antara perempuan Islam dan laki-laki non-Islam (Ahl al-Kitab); sepanjang keduanya bisa saling memberikan jaminan dan dukungan kebebasan kebebasan beragama/berkeyakinan maka hal demikian ini dibolehkan.

—–

Daftar Pustaka

Aan Anshori. “Perkawinan Beda Agama; Tiga Kelompok Islam Dan Cerita Para Putri Nabi Muhammad.” to live is to share. Accessed January 6, 2025. https://www.aananshori.my.id/2022/03/perkawinan-beda-agama-tiga-kelompok.html.

Al-Qaradawi, Yusuf. The Lawful and the Prohibited in Islam. 2nd ed. Cairo Egypt: Al-Falah Foundation, 2001.

Farooq, Ayesha, and Muhammad Sultan Shah. “Interfaith Marriages: In The Light of Islamic and Sociological Perspectives.” Al-Qanṭara 9, no. 1 (2023): 219–40.

“Fatwa by Dr. Abou El Fadl: On Christian Men Marrying Muslim Women (UPDATED),” April 5, 2017. https://web.archive.org/web/20170405091715/http://scholarofthehouse.org/oninma.html.

Jahangir, Junaid. “Muslim Women Can Marry Outside The Faith.” HuffPost, March 21, 2017. https://www.huffpost.com/entry/muslim-women-can-marry-outside-the-faith_b_6108750fe4b0497e670275ab.

John Andrew Morrow. Perjanjian Nabi Muhammad dengan Penganut Kristen Dunia. Translated by Trikartikaningsih Byas, 2020. http://archive.org/details/Perjanjian-Nabi-Muhammad-dengan-Penganut-Kristen-Dunia.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran. Al-Qur’an Dan Terjemahannya (Edisi Penyempurnaan 2019). Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2019.

Lecker, Michael. “Amr Ibn Ḥazm Al-Anṣārī and Qurʾān 2,256:“No Compulsion Is There in Religion.” Oriens 35, no. 1 (1996): 57–64.

Leeman, Alex B. “Interfaith Marriage in Islam: An Examination of the Legal Theory behind the Traditional and Reformist Positions.” Ind. LJ 84 (2009): 743.

Mahkamah Konstitusi. “Putusan MKRI 24/PUU-XX/2022.” Mahkamah Konstitusi Republlik Indonesia, n.d. https://s.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8844_1675141891.pdf.

Morrow, John Andrew. The Covenants of the Prophet Muhammad with the Christians of the World. Angelico Press, Sophia Perennis, 2013.

Qurthubi, Imam Al. “Tafsir Al-Qurthubi Jilid 3.” Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Sairin, Weinata, and Joseph Marcus Pattiasina. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen: Himpunan Telaah Tentang Perkawinan Di Lingkungan Persekutuan Gereja-Gereja Di Indonesia. BPK Gunung Mulia, 1994.

The Covenants of the Prophet Foundation. “Enam Perjanjian Nabi Muhammad,” August 9, 2024. https://covenantsoftheprophet.org/enam-perjanjian-nabi-muhammad/.

“تفسير القرطبي | 2:256 |

الباحث القرآني.” Accessed January 6, 2025. https://tafsir.app/qurtubi/2/256.

*Tulisan Opini ini secara keseluruhan adalah buah pikiran dan tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab redaksi pesantren.id.

*Redaksi mewadahi opini khazanah keilmuan tentang keislaman, kepesantrenan, keindonesiaan, kebangsaan, dan problematika sosial dalam bentuk tulisan yang membangun.

*Tulisan dikirim ke email: pesantrendotid@gmail.com

Aan Anshori
Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) dan Founder Kauman Interreligious Marriage Consultant (KIMCO), aan.anshori@gmail.com

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini