Ketika masih belajar ngaji di musholla Khairul Ulum, dan belajar ilmu di Sekolah Dasar (SD) dan Madrsah Ibtida’iyah (MI) di desa Cangkreng, kecamatan Lenteng, kabupaten Sumenep, saya lebih sering mendengar nama sekolah MTs daripada nama SMP. Saya juga menduga, MTs itu hanya ada di pondok pesantren, dan dugaan seperti itu hampir terjadi pada anak-anak desa Cangkreng seumuran saya. Setiap anak-anak yang lulus Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah pun kebanyakan melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren. Mereka biasanya masuk lagi ke Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtida’iyah yang ada di pondok, baru setelah itu boleh masuk MTs di Pondok pesantren tersebut.

Di pondok pesantren, yang jumlahnya ratusan untuk kabupaten Sumenep, siswa yang sekaligus santri itu diajarkan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, karena pesantren yang awalnya dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional dan hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama mulai mengalami modernisasi dengan mendirikan sekolah-sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA, yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum. Modernisasi pesantren pun tidak hanya memberi kesempatan pada orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke perguruan tinggi agama, seperti STAIN, IAIN dan UIN, tetapi juga ke perguruan tinggi umum, seperti UGM, UI, UNAIR dsb. Pesantren Annuqayah yang berada di desa Guluk-Guluk Sumenep, tempat saya nyantri dulu (1988-1992) adalah contoh pondok pesantren yang mengalami modernisasi itu.

Jawa Timur merupakan daerah yang mempunyai banyak pondok pesantren. Selain karena sumbangan besar dari Sunan Ampel, salah seorang wali dari Sembilan Wali yang terkenal di pulau Jawa Khususnya, yang menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, popularitas Jawa Timur sebagai lumbung pondok pesantren juga karena kehadiran K. Khalil, dari kabupaten Bangkalan Madura. Beliau mempunyai beberapa murid yang mengarsiteki pondok-pondok pesantren besar di Jawa, seperti KH. As’at Samsul Arifin, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Samsuri, KH.Tamim Irsyad, dan masih banyak lagi yang tidak perlu disebutkan di sini.

Tiga Kyai yang disebut terakhir berada di Kabupaten Jombang, sehingga kabupaten yang banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional ini pun menjadi salah satu kabupaten yang terkenal sebagai kota santri. Di kabupaten Jombang terdapat beberapa pondok pesantren, ada yang kecil juga ada yang besar. Pondok pesantren yang kecil cukup banyak yang tak perlu disebutkan di sini, sedang pondok pesantren besar bisa disebutkan beberapa saja, yakni pesantren Tebuireng (1899) yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari, pesantren Mambaul Ma’arif (1917) yang didirikan KH. Bisri Samsuri, dan pesantren Darul Ulum (1885) yang didirikan KH. Tamim Irsyad. Pendiri dua pesantren yang pertama dikenal sebagai aktifis sekaligus pendiri organisasi keislaman terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama’ (NU), sedang pendiri pesantren yang ketiga dikenal dengan sebagai sufi dan pendiri toriqah. Dengan demikian, selain sebagai pusat berdirinya NU dan lahirnya pondok pesantren, Jombang juga dikenal sebagai pusat toriqah.

Di pesantren Darul Ulum terdapat beberapa kyai pengasuh. Pondok pesantren asuhannya diberi nama asrama. Di dalamnya ada sekitar 31 asrama, salah satunya adalah asrama Hidayatul Qur’an (HQ) yang didirikan dan diasuh oleh KH. Afifuddin Dimyati, putra KH. A. Dimyati Romli. Walupun baru didirikan pada tahun 2005, sekarang sudah mempunyai seribuan santri putra dan putri. Lokasinya berada di lingkungan Pondok pesantren Darul Ulum. Tepatnya, berada di tengah-tengah kampus Universitas Darul Ulum. Sebelah baratnya terdapat lapangan sepakbola, sehingga nyaman sebagai tempat parkir mobil para wali santri yang menjenguk putra-putrinya.

Sebagai asrama baru yang luas dan agak berjarak dengan asrama lainnya (terutama asrama pusat), asrama HQ cukup bagus penataannya. Posisi bangunan, ruang kosong dan ruang hijaunya tertata rapi dan strategis. Masjid berada di bagian paling depan asrama, tepatnya sebelah barat dalem pengasuh. Di depan mesjid dan dalem pengasuh terdapat halaman yang luas, dan di sebelah selatan halaman terdapat panggung yang biasa digunakan untuk acara-acara besar. Ruang santri putra dan putri mengelilingi dalem pengasuh, seolah menjadi pagar yang memagari lingkungan pondok pesantren. Di sebelah timur halaman, di sebelah selatan ruang santri putri dan sebelah barat atau depan santri putra, terdapat ruang hijau yang ditanami pohon jati, yang menambah asrinya lingkungan pondok pesantren HQ. Di bawah pepohonan jati terdapat beberapaa kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati, dan menariknya lagi, terdapat beberapa gazebo, yang bisa ditempati para wali santri yang sedang menyambangi putra-putrinya.

Baca Juga:  Perjalanan Singkat Almarhum Kiai Muhammad Qoyim Ya’qub

Di Asrama inilah, putri kedua saya, Nayla Rusydiyah Hasin, nyantri untuk belajar ilmu agama. Putri kedua saya yang lahir saat saya melakukan penelitian disertasi di Mesir pada tahun 2007 ini memutuskan sendiri untuk melanjutkan studinya ke pondok pesantren. Keputusan nyantri di pondok ini lahir dari Ayla sendiri, dan kesadaran itu muncul karena saya terbiasa menceritakan kepada anak-anak tentang betapa pentingnya pondok pesantren, terutama bagi anak-anak yang mau menjadi anak yang baik, solehah sekaligus pinter. Setelah mencari-cari informasi ke sana kemari, tentusaja semua pondok pesantren itu baik kecuali yang tidak baik, dipilihlah pondok pesantren Darul Ulum. Dari sekian asrama yang ada di dalamnya, dipilihlah asrama Hidayatul Qur’an yang diasuh gus Awis. Masuk pada tahun 2020, dan saat ini adalah tahun ketiga (2023). Tanggal 4 juni kemarin, dia mengikuti acara wisuda, tanda sudah tiga tahun dia berada di pondok pesantren Hidayatul Qur’an.

Melanjutkan studi ke pondok pesantren pada masa pandemi (2020) tentu saja tidak begitu berkesan. Kalau di Madura, seorang anak yang akan nyantri di pondok pesantren, biasanya diantar oleh keluarga, lalu nyabis atau sowan ke pak Kyai. Seorang anak yang bertahun-tahun hidup bersama kelarga, tiba-tiba harus dipisah dan hidup bersama dengan anak-anak lain yang tidak dikenalnya tentusaja menyulitkan. Saat itulah, perpisahan antara orang tua dengan anak dihiasi dengan tangisan, dan justru saat itulah, kesan itu muncul.

Kondisi ini tidak dialami putri saya, Ayla. Karena saat nyantri ke HQ, Ayla hanya diantar saya dan istri, juga tidak sowan ke pengasuh, lantaran adanya social distancing untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada para santri maupun pengasuh. Perpisahan tanpa tangis dengan putri sebagaimana biasanya para santri baru tidak terjadi. Nayla dingin-dingin saja ketika kita tinggal di depan pintu gerbang HQ. Senyumnya hambar dan kendati terlihat tenang, saya yakin hatinya resah. Ternyata benar. Di bulan pertama, dia menunjukkan gejala ketidakerasanannya. Namun pelan tapi pasti, dia merasa kerasan dan nyaman di sana. Selain karena pola pengasuhan pengasuh, juga karena keadaan asramanya yang luas, nyaman dan asri.

Apa yang diperoleh di pesantren? Tentusaja banyak, dan tidak perlu disebutkan di sini. Semua orang sudah tahu manfaat pondok pesantren yang oleh Gus Dur disebut subkultur kebudayaan itu. Saya hanya akan merefleksi beberapa perkembangan putri saya itu yang menurut saya penting menjadi perhatian agar perkembangannya bisa kita pantau.

Ayla, begitu dia dipanggil di rumah, mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan kakaknya dan adik-adiknya. Badannya tinggi, dan sikapnya tenang. Ketika semuanya (6 orang) berkumpul di rumah, terutama saat liburan, masing-masing berebut kesempatan untuk bercerita tentang pengalamannya. Putri tertua, mbak Asa, kalau bercerita selalu disampaikan secara rasional, bahkan terkadang lebih meyakinkan daripada peristiwanya sendiri. Oci, putri yang ketiga selalu bisa meringkas cerita, dan ringkasannya seolah mewakili semuanya. Semetara itu, kalau Ayla menceritakan suatu peristiwa, ceritanya detail dan panjang. Banyak unsur yang terkadang tidak begitu penting dalam suatu cerita oral untuk diceritakan tetapi tetap dia ceritakan, sehingga kita yang mendergarkannya harus sabar menunggu.

Baca Juga:  Bangkitkan Negeri dengan Santri

Namun kebiasaan cerita Ayla itu ternyata membawa pengaruh positif ketika dia menuangkan ceritanya dalam bentuk tulisan. Detail ceritanya yang kita anggap tidak penting dalam cerita oral ternyata menjadi penting dalam alur cerita tulisan. Hal itu bisa terlihat dari beberapa tulisan cerita pendeknya (cerpen), baik yang sudah terbit di media online, maupun yang belum. Di dalamnya, dia menceritakan detail-detail peristiwa, dan hal itu justru membuat alur ceritanya menjadi jelas dan menarik.

Setiap kali pulang ke rumah untuk liburan pondok, saya sesekali memberikan ujian kepada Ayla untuk praktik membaca kitab kuning. Ini sengaja saya lakukan karena pesantren pada hakikatnya sebagai lumbung kajian kitab kuning yang kini disebut turas, kendati tidak semua pondok pesantren mempunyai tradisi itu. Hasilnya cukup lumayan untuk anak setingkat MTs, baik dari sisi teoritis (penguasaan ilmu alatnya) maupun praktiknya (dalam membaca teks Arab). Kok bisa? Karena, sebagaimana pondok pesantren taradisional umumnya, di pondok pesantren HQ juga diajarkan ilmu alat dan praktik membaca kitab kuning. Begitu juga kemampuan Ayla dalam membaca al-Qur’an semakin baik. Bahkan, beberapa bulan yang lalu, terutama waktu liburan puasa romadan, Ayla sudah hafal dua juz, walaupun hafalan al-Qur’an tidak menjadi prioritasnya nyantri di pondok Hidayatul Qur’an, suatu pembelajaran yang menjadi salah satu takhassus di dalamnya.

Kemampuan yang dimiliki putri saya itu tentusaja dimiliki oleh semua santri yang ada di pondok Hidayatul Qur’an. Kemampuan santri yang hampir merata itu nampaknya wajar mengingat kedua pengasuhnya mempunyai kemampuan yang sama, baik dalam hafalan al-Qur’an, maupun dalam menuangkan pemikirannya ke dalam sebuah tulisan.

Gus Awis, panggilan akrab KH. Afifuddin Dimyati, mempunyai beberapa karya tulis dalam bidang bahasa dan tafsir. Kendati bidang formal keahliannya di Universitas Sunan Ampel Surabaya tempat beliau mengabdi adalah bidang linguistik, kebanyakan karya kyai yang intelek ini berbicara tentang Ulum al-Qur’an dan tafsir. Kok bisa? Karena, beliau menempuh studinya sejalur atau kalau bahasa sekarang ya disebut linier. Di mulai dari nyantri di pondok pesantren, melanjutkan ke MTs Plus Darul Ulum, MAPK Jember, lalu ke Mesir dan Sudan dua negara yang menjadi pusat studi Islam dunia. Bahkan, beberapa karya tafsirnya terbit di Mesir, suatu tradisi literasi ulama’ Nusantara klasik yang langka, namun Gus Awis mampu meneruskannya.

Sementara itu, bu Nyai Hj. Laily Nafis, putri KH. Sufyan Tsauri dan Nyai Hj. Mubadiah Hasyim, pengasuh pondok pesantren Miftahul Ulum, Kaliwates Jember, yang dipersuntingnya saat gus Awis masih studi di MAPK Jember, mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan sang suami. Selain menempuh Pendidikan di beberapa pondok pesantren, seperti pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk Sumenep, beliau juga menempuh studinya di perguruan Tinggi Islam (Darul Ulum) sampai program Magister (UIN Sunan Ampel Surabaya). Saat ini, beliau mempunyai satu karya tulis yang tidak hanya berisi pemikiran Islam yang rasional, tetapi juga nasehat-nasehat spiritual yang menyejukkan yang membuat perasaan keimanan siapapun yang membacanya semakin mantab dan tenang. Hal itu tambah menarik karena pesan-pesannya yang disampaikan di dalam karyanya yang berjudul, Ciptakan Surga di Hatimu, menggunakan bahasa yang ringan, sistimatis dan logis. Tidak hanya para akademisi yang bisa menikmati karyanya sebagaimana layaknya karya pemikiran, para siswa yang santri pun bisa memahami dan menikmatinya.

Pada kegiatan wisuda kemarin, 4 juni 2023, Gus Awis menyampaikan sambutannya sebagai pengasuh. Beliau berbicara tentang asal usul nama Hidayatul Qur’an (HQ), pertamakali menerima santri pada tahun 2005, serta pesan-pesan moral dan akademik kepada para walisantri dan para wisudawan (santri yang hafal al-Qur’an 30 juz, yang hafal emriti dan akhirussanah). Beliau menyampaikan, betapa nama Hidayatul al-Qur’an yang disingkat HQ itu memberikan barokah lantaran nama yang dipilihnya yang merupakan hasil konsultasinya dengan kyai Mufid Mas’ud, gurunya di pondok pesantren Pandanaran Selman Yogyakarta tempatnya mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an, dan bapak beliau, KH. A. Dimyati Romli, benar-benar mengantarkannya menjadi salah satu pondok pesantren yang banyak diminati masyarakat. Didirikan pada tahun 2005, pondok pesantren ini sudah memiliki seribuan santri. Itupun karena jumlahnya yang diterima dibatasi, mungkin karena keterbatasan kamar. Masyarakat yang hendak memondokkan anaknya di sana biasanya mendaftar satu tahun sebelumnya.

Baca Juga:  Perjalanan Singkat Almarhum Kiai Muhammad Qoyim Ya’qub

Beliau juga menyampaikan pesan-pesan moral kepada para walisantri dan wisudawan. Dengan kemampuannya dalam bidang tafsir, ditambah hafal al-Qur’an, gus Awis menyampaikan pesan-pesan moral dan akademiknya secara sistimatis dan logis, dan menggunakan al-Qur’an, sehingga membuat para hadirin serius menyimaknya. Dengan mengambil intisari pesan dari kisah-kisah Luqman, Ya’qub, Yusuf dan Ibrahim di dalam al-Qur’an, beliau berpesan agar orang tua tidak memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya untuk memasuki dan memilih pendididikan lanjutannya, lantaran masing-masing anak mempunyai karakter dan kecenderungan yang berbeda. Anak itu lahir dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga seorang anak tidak boleh dididik apalagi dipaksa memasuki program studi yang hanya sesuai keinginan orang tuanya. Beri kesempatan anak memilih, sehingga mereka bisa bertanggungjawab atas pilihannya.

Pesan yang sama juga disampaikan untuk para wisudawan yang sudah menghafal 30 juz. Beliau berpesan agar santri yang hafal al-Qur’an tidak membuatnya berbangga diri secara berlebihan, dan tidak berhenti hanya pada hafalan. Dua hal ini bisa berbahaya jika tidak disertai dengan pemahaman atas al-Qur’an melalui tafsirnya. Beliau tidak mau santrinya hafal al-Qur’an, tetapi menjadi “teroris”. Abdurahman Ibnu Muljam, seorang pembunuh Ali bin Abi Thalib, konon hafal al-Qur’an, tetapi karena tidak memahami pesan-pesan al-Qur’an dengan baik, dengan entengnya dia membunuh Ali bin Abi Thalib, seorang saudara, sahabat nabi Muhammad, anak muda yang pertamakali masuk Islam, dan seorang khalifah al-Risyidah yang terjamin masuk surga.

Pesan beliau ini saya kira penting lantaran sekarang banyak pondok pesantren yang menyediakan hafalan al-Qur’an tetapi tidak mengajarkan bagaimana memahaminya, sehingga lahir kebanggaan diri yang berlebihan dan pada akhirnya menjadi “teroris”. Mungkin memang ada beberapa orang yang secara ikhlas mendirikan lembaga untuk membantu anak-anak menghafal al-Qur’an, tetapi juga perlu diwaspadai bahwa ada kelompok yang sengaja memperalat pendirian lembaga tahfiz al-Qur’an sebagai sarana penggemblengan teroris. Karena itu, mereka yang hafal al-Qur’an sebagian maupun 30 juz sebaiknya juga memahami al-Qur’an agar kitab suci umat Islam ini benar-benar bisa memberinya petunjuk ke jalan yang benar.

Karena itulah, pesantren Hidayatul Qur’an yang ada di bagian Timur pesantren Darul Ulum ini menjadi pesantren atau asrama yang pantas bagi putra-putri kita yang mengharapkan anak-anaknya menjadi anak saleh yang hafal al-Qur’an, bisa membaca kitab kuning (turas), sekaligus mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu umum karena di sekitarnya, ada beberapa lembaga pendidikan modern yang menyediakan ilmu-ilmu umum, baik MTs, SMP, MA, SMA maupun Perguruan Tinggi.

Terimakasih gus Awis dan Neng Nafis atas bimbingannya selama ini, terutama untuk putri saya, Nayla Rusydiyah Hasin. Semoga sehat selalu, dan para santri HQ menjadi anak yang soleh-solehah. Amin

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah