Peran Muhammadiyah terhadap Perkembangan Pendidikan di Indonesia
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

Warna-warni pelangi Indonesia tidak terlepas dari sebuah organisasis yang bernama Muhammadiyah. Gerakan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1330 dan bertepatan dengan tahun 1912 berdampak besar bagi perkembangan sejarah negara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dahlan tentang bacaan Al-Qur’an dan latar belakang sosial Kauman saat itu, landasan gerakan Muhammadiyah membawa perubahan besar bagi Indonesia dan dunia. Sejarawan Taufik Abdullah menekankan pada beberapa pertemuan persiapan untuk Konferensi muktamar 1 Abad di Yogyakarta bahwa kontribusi besar Muhammaddiyah untuk negara ini datang dalam bentuk “gerakan untuk mencerdaskan kehidupan negara”.

Dilihat secara umum cikal bakal lahirnya Muhammadiyah berawal dari kekhawatiran sosial, agama dan moral. Kekhawatiran semacam ini disebabkan oleh kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan masyarakat. Kekhawatiran beragama muncul karena mereka melihat bahwa praktik keagamaan yang mekanis, penuh dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat, sehingga praktik tersebut belum dianggap masyarakat sebagai perilaku positif dan sosial. Kekhawatiran moral disebabkan oleh kaburnya garis antara baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Dilihat dari banyak faktor, menurut perspektif historis dan ideologis M. Kamal Pasha dan A. Adaby Darban dalam bukunya “Muhammadiyah” sebagai gerakan Islam, latar belakang berdirinya Perhimpunan Muhammadiyah secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 faktor, yaitu:

  1. Faktor Internal/Pribadi KH Ahmad Dahlan (subyektif)

Faktor subjektif yang mendominasi, bahkan dapat dianggap sebagai penentu utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, adalah pendalaman dan penelitian KH. A. Dahlan terhadap Quran secara kritis saat memahami QS. Ali Imron : 104, artinya :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yangma›rufdanmencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imron: 104)

Ayat ini sangat menginspirasi KH. A. Dahlan sehingga tergerak untuk mendirikan perkumpulan atau persyarikatan yang terorganisir dengan baik, yang tugas khidmatnya mengemban misi dakwah amar makruf nahi munkar di masyarakat luas.

  1. Faktor Eksternal (obyektif)
  2. Ketidaksesuaian amalan Islam dengan Al-Qur’an dan Sunnah
  3. Tidak ada lembaga pendidikan Islam yang memfasilitasi
  4. Kelemahan kepemimpinan Islam
  5. Gerakan dakwah agama lain ke masyarakat Indonesia semakin meningkat
  6. Pengaruh gerakan kebangkitan dunia Islam
  7. Masuknya bangsa kolonial, terutama bangsa Belanda ke Indonesia
Baca Juga:  G20: Pusat Kebangkitan Industri Halal Indonesia-Tiongkok
Biografi Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan

Ketika K.H. Ahmad Dahlan masih muda, namanya adalah Muhammad Darwis. Lahir di desa Kauman sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta pada tahun 1868. Beliau berasal dari keluarga Muslim yang taat. Ayah dan kakek ibunya adalah pegawai masjid (penghulu), salah satu dari 12 penghulu di Keraton Yogyakarta. Ayahnya bernama Abu Bakar, seorang ulama dan khotib di Masjid Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim yang merupakan penghulu Kesultanan. Muhammad Darwis adalah keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah satu Wali Songo yang terkenal.

Pendidikan beliau dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masjid, dan kemudian ke Mekkah. Pada tahun 1883 saat menginjak usia 15 tahun, beliau melakukan ibadah haji pertamanya dan tinggal di Tanah Suci selama sekitar 5 tahun sambil mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti Alquran, teologi, astronomi, dan hukum agama (fiqh), termasuk studi Islam karya Muhammad Abduh. Gurunya yang terkenal adalah Syekh Ahmad Khatib, yang juga guru KH. Hasyim Asy’ari. Pada usia 20 tahun (yaitu pada tahun 1888), ia kembali ke desa dan mengubah namanya dari Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan, kemudian diangkat sebagai Khotib Amin di Kesultanan Yogyakarta.

Muhammadiyah Dan Pendidikan Di Indonesia

Bagi Muhammadiyah, pendidikan sangatlah penting, karena melalui bidang inilah pemahaman tentang ajaran Islam dapat diturunkan dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika rencana nyata pertama Muhammadiyah adalah untuk mendorong pendidikan. Dalam bidang ini, setidaknya ada dua aspek yang menjadi objek pembenahan, yakni ide dan teknik pengajaran. Dari sudut pandang pertama, KH. Ahmad Dahlan berharap cita-cita pendidikan Islam adalah menumbuhkembangkan umat Islam yang baik, bertaqwa, berwawasan luas, memahami persoalan keilmuan sekuler dan mau memperjuangkan kemajuan sosial.

Baca Juga:  Hubungan Tradisi Keilmuan Pesantren NU di Indonesia dan Al-Azhar Mesir

Aspek kedua reformasi terkait dengan metode pengajaran. Dengan menyerap unsur-unsur halus dari sistem pendidikan Barat dan sistem pendidikan tradisional, Muhammadiyah berhasil mendirikan sistem pendidikannya sendiri, seperti sekolah model di Barat, akan tetapi diberikan materi pembelajaran mengenai agama Islam di dalamnya. Dalam pelaksanaannya, proses pembelajaran sudah tidak dilaksanakan di masjid atau mushola, tetapi di bangunan khusus dengan fasilitas meja, kursi, dan papan tulis.

Muhammadiyah memiliki sejarah panjang di negeri ini. Menurut data Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010: XII), filantropi pendidikan Muhammadiyah pada tahun 2000 sangat sukses. Jumlah Sekolah Dasar (SD)/MI 2896, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MT 1.713, Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 929, Pondok Pesantren 55 dan Universitas Muhammadiyah 132. Keberhasilan ini telah meningkat selama dekade terakhir. Tahun 2010 jenjang Sekolah Dasar (SD) mencapai 2604, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1.722, Sekolah Menengah Atas (SMA) 965, Pondok Pesantren 67, dan Universitas Muhammadiyah 151. Bahkan database Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan peningkatan pada tahun 2010 hingga saat ini mencapai 2.604 Sekolah Dasar (SD)/MI, 1.772 Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MT, 1.143 Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA, 67 Pesantren, 172 Universitas Muhammadiyah. Secara kuantitatif, pencapaian ini sangat membanggakan. Melihat data di atas, ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Muhammadiyah dan peluang bagi basis eksekutif Muhammadiyah. []

Sumber:

Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai Dr. Hj. St. Nurhayati, M.Hum, Dr. H. Mahsyar Idris, M.Ag, Muhammad Al-Qadri Burga, M.Pd.

Muhammadiyah Dan Pendidikan Di Indonesia Nuryana, Zalik

Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan Agus Miswanto, S.Ag., MA M. Zuhron Arofi, M.Pd.I

Zenita Arsya
Mahasisiwi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini