Mbah Minto dan Ucup Klaten, Membawakan Pesan Masyarakat Bisa Lebih Jenaka dan Ringan

Terbahak tanpa henti, itulah respons saya ketika menyaksikan video viral tentang larangan mudik yang diperankan Mbah Minto dan Ucup Klaten (Sofyan). Dua nama ini belakangan memang ramai menghiasi jagad dunia maya.

Mbah Minto dan Ucup viral setelah konten mereka tentang jangan mudik tersiar di berbagai media sosial. Disebarkan oleh para warganet kepada sanak saudara dan kerabat masing-masing. Kakak sepupu dan bude saya termasuk yang membagikan video yang menampilkan acting natural Mbah Minto dan Ucup ke grup keluarga dan status WhatsApp.

Keduanya lantas naik daun. Hingga bisa dibilang termasuk sosok yang patut diapresiasi karena telah berhasil mempengaruhi masyarakat untuk tidak mudik. Karena seperti yang kita tahu, momentum seperti pandemi sekarang ini memang membutuhkan kesadaran agar orang-orang tidak pulang kampung atau melakukan pergerakan massal. Mudik rentan menjadi sarana penularan virus Covid-19.

Atas aksi nyata dari Mbah Minto dan Ucup, keduanya lantas disorot media massa. Dianggap bisa menggiring perilaku masyarakat ke arah positif, yakni menunda mudik. Bahkan, Najwa Shihab sebagai salah satu tuan rumah sebuah acara di televisi mengundang Mbah Minto dan Ucup sebagai bintang tamu.

Melejitnya konten yang diunggah Ucup di akun YouTube Ucup Klaten dan Instagram-nya menjadi bukti bahwa untuk menyosialisasikan suatu kebijakan, harus menggunakan bahasa dan pembawaan yang tepat. Apa yang ditampilkan Ucup dan Mbah Minto merupakan contoh bagi para pemangku kekuasaan bahwa rakyat kecil tidak semuanya memahami bahasa bertele-tele yang kerap para pemimpin gunakan saat mengimbau rakyatnya. Rakyat butuh penyebaran informasi yang lebih mudah dicerna dan kontennya terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Mbah Minto dan Ucup benar-benar berhasil menampilkan realita yang sesungguhnya ketika seorang ibu harus merelakan anaknya tetap bertahan di tanah rantau dan tidak bisa mudik. Di video tersebut dijelaskan bahwa sang anak tidak bisa mudik demi memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Sang ibu lantas mengerti atas alasan tersebut. Ia hanya menasihati agar sang anak tidak melupakan kesehatannya. Begitupula pesan sang anak kepada ibunya yang diperankan Mbah Minto.

Adegan demi adegan tersusun seperti nyata. Karena memang itulah yang bakal dihadapi orangtua dan anak di situasi hari raya Idulfitri tahun 2020. Tidak mudik dan saling bersilaturahim secara virtual. Ada emosi yang berhasil dibangun dari video tersebut. Betapa gurat-gurat kesedihan terpancar di awal video. Mengaduk perasaan penonton yang mungkin juga mengalami kondisi seperti yang ditampilkan Ucup dan Mbah Minto.

Menariknya lagi, Ucup dan Mbah Minto berdialog menggunakan bahasa Jawa. Ini menjadi yang mesti dikulik lebih lanjut. Ucup dan Mbah Minto memahami bahwa pemakaian bahasa daerah akan lebih tepat sasaran dalam menjangkau audiens mereka. Hal ini sesuai dengan tujuan awal video tersebut dibuat, diikutsertakan dalam sebuah kompetisi yang diselenggarakan Polres Klaten. Karena untuk disebarkan di kalangan warga Klaten yang sehari-hari bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, maka video Ucup dan Mbah Minto terasa lebih mudah dicerna oleh warga Klaten. Hingga akhirnya tersebar luas di jagad media sosial.

Dari apa yang dilakukan Ucup dan Mbah Minto, kita jadi memahami bahwa untuk menyampaikan pesan masyarakat tidak melulu kaku. Warga sudah bosan dijejali dengan ketakutan-ketakutan yang terkadang diselipkan dalam instruksi yang disampaikan pemerintah. Pendekatan secara jenaka dan ringan bisa menjadi cara baru yang dipilih untuk komunikasi dengan warga. Warga butuh konten-konten lucu yang mencerahkan, sekalipun topiknya tentang larangan.

Pemilihan bahasan dan diksi juga menjadi daya tarik dari video yang digarap Ucup. Ia dan Mbah Minto meramu kata-kata yang memang kerap dipakai para audiens-nya. Ini menandakan, konten dibuat berdasarkan riset mendalam. Secara tidak sadar, Ucup dan Mbah Minto sukses berempati kepada para audiens-nya. Harapannya, para pejabat juga bisa meniru apa yang dilakukan Ucup dan Mbah Minto.

Karena sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu mengeluarkan video kampanye sosial yang niatnya memperingatkan masyarakat untuk tidak mudik. Terlihat dari unggahan video berdurasi 55 detik di akun Twitter resmi Kementerian Ketenagakerjaan @KemnakerRI, sejumlah pejabat tinggi berganti-gantian menyanyikan lagu yang lirik intinya hanya dua kalimat. Selebihnya diulang dan dilantunkan dalam bahasa Jawa.

Berikut lirik lengkap dari jingle yang sempat diperdebatkan warganet:

Jangan mudik, jangan mudik dulu, enggak mudik tetap asyik, orak mudik ora mudik disik, ora mudik tetap asyik, jangan mudik, jangan mudik dulu, orang mudik tetap asyik.

Memang rasanya ada yang janggal jika mendengarkan dan menyaksikan iklan layanan masyarakat tersebut, yang dibawakan para pejabat seperti Menkominfo Johnny G. Plate, Menlu Retno Marsudi, Menhub Budi Karya Samadi, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menpora Zainudin Amali, dan Menaker Ida Fauziyah. Para pejabat kenapa malah menampakkan muka bahagia, dengan senyum yang tersungging. Padahal, para warga harus menghadapi situasi yang serba sulit di tengah pandemi.

Mudik bagi sebagian orang menjadi peristiwa sakral yang begitu mereka upayakan untuk dilakukan. Karena tidak semua orang bisa leluasa bertemu sanak keluarganya yang tinggal berjauhan. Dengan mudiklah, mereka akhirnya bisa bersua. Sekali dalam setahun. Tentu banyak pertimbangan kenapa mudik tak sekadar tradisi, karena di dalamnya ada kerinduan, perjuangan, dan segala usaha. Rindu berjumpa orang terkasih. Perjuangan untuk menabung berhari-hari dan rela menyisihkan dana agar bisa mudik.

Lalu dari mana asalnya tidak mudik jadi asyik? Apalagi untuk orang-orang yang terjebak di tanah rantau tapi dalam kondisi mengenaskan. Sendirian, dalam situasi ekonomi terhimpit akibat gaji dipangkas atau bahkan diberhentikan dampak pandemi.

Mungkin para pejabat masih bisa sedikit bernapas lega karena mereka tidak harus hidup dalam belenggu kecemasan bahwa esok hari akan diusir dari kosan atau kontrakan. Sementara banyak warga di luaran sana yang harus memutar otak untuk membayar biaya sewa tempat tinggal di tanah rantau.

Sehingga lebih disarankan bagi para pejabat ke depannya, jika ingin bikin konten sebaiknya lebih mengutamakan empati. Riset lebih mendalam supaya konten yang dibuat bisa mengena di hati masyarakat. Bukan malah menyakiti hati masyarakat yang tengah dirundung kebingungan dan duka.

Saya tidak mengesampingkan tentang mudik sebagai upaya pencegahan infeksi virus Corona. Saya mendukung penuh larangan mudik tersebut. Namun, saya menyoroti soal konten yang ramai-ramai disenandungkan para pejabat dengan muka riang gembira dan latar belakang ruang yang sarat kemewahan. Banyak hati rakyat yang hancur ketika iklan layanan masyarakat ini muncul. Semoga bisa jadi pembelajaran bagi para konten kreator. Mengutamakan empati, bukan mengumbar sensasi. [HW]

Shela Kusumaningtyas
Penulis Buku Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah, Penulis di Media Massa.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini