Setiap orang adalah pelaksana dari prinsipnya sendiri. Itu artinya, pihak yang paling bertanggung jawab dari pikiran dan perkataan Anda adalah diri Anda sendiri, bukan orang lain. Pun dalam hal menyinta, bukan tugas orang lain untuk menghormati dan menyayangi Anda, tapi tugas Anda sendiri. Inilah prinsip yang selayaknya dipegang teguh setiap manusia.
Setiap manusia menjalani hidup berdasarkan filsafat hidupnya. Sederhananya, setiap orang berpikir, bertutur dan tentu saja berbuat berdasarkan pandangan hidup atau prinsip yang selama ini dianggapnya benar.
Jelas kini bahwa prinsip menentukan cara, tujuan dan kualitas hidup manusia. Dengan demikian, tanpa prinsip, hidup adalah melangkah ke arah hilang arti, disorientasi. Hidup hanya merapatkan damba pada sikap putus asa, binasa—mautun fî hayâtih (mati justru selagi masih hidup).
Demi alasan ini pula, kanjeng Nabi Saw mengajarkan untuk kita tidak gegabah dan menahan diri dalam segala situasi yang memeras hati memanggang ego, kendalinya adalah kesadaran, sadar bahwa ada hak orang lain pada setiap yang kita punya, sadar bahwa orang lain adalah kita, mereka yang kurang beruntung hidupnya adalah tanggung jawab kita.
Adalah dosa besar jika anak-anak kita belajar sampai sarjana sementara anak tetangga putus sekolah dan buta aksara, adalah mendustakan agama kalau anak-cucu kita sakit karena kebanyakan makan, sementara yatim-piatu dan anak-anak tetangga bergelimpangan sakit karena kurang makan, polio, stunting dan busung lapar. Adalah keliru kalau kita berprinsip bahwa, “toh nanti ada orang lain yang menolong, tidak harus saya.”
Nah, prinsip mati justru selagi hidup adalah yang harus diinsyafi setiap hari, bahkan setiap tarikan nafas, artinya hidup sama dengan mati, tidak ada manfaat dan kontribusi apapun bagi kemanusiaan dan kebangsaan agar meningkat menjadi menjadi hayâtun fî hayâtih (hidup bermakna selagi masih hidup), yakni sebisa mungkin hidup ini bermartabat dengan cara memberi manfaat dan terus menebar manfaat, kalau tak bisa, setidaknya tidak menyakiti, menyusahkan orang lain, merepotkan Agama dan Negara.
Sebenarnya tanpa disadari, setiap orang memang terus mencari makna hidupnya, jika tak kunjung mendapati, ia akan mengadopsi makna-makna yang telah ada pada orang tua, pada guru, juga pada orang lain, sebab kebaikan dan keburukan sama-sama membutuhkan keteladanan.
Apakah selesai sampai di sini, Bro? Belum, kurang seru, bukan?
Setelah kita sampai pada level hidup yang berkualitas selagi masih hidup, masih tersisa sebilah tanya yang menusuk ke jantung kesadaran: bagaimana setelah mati? Nah!
Prinsip hidup berikutnya adalah, hayâtun fî mautih (justru hidup dan semakin bermanfaat dan bermartabat setelah jasad mati dan berkalang tanah). Siapakah yang sampai di level ini? Tentu saja para kekasihNya, para Nabi, para wali, para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan. Tengoklah makam para Walisongo, batu nisan mereka menyedot jutaan pengunjung setiap hari nonstop 24 jam, semuanya mengaji, tahlil, istighosah dan berdoa. Tak hanya itu, di makam-makam penuh cahaya itu ada geliat ekonomi, geliat kebudayaan dan harmoni.
Pernahkah kita renungi bahwa mengapa para Wali yang telah meninggal ratusan tahun silam masih bisa membantu perekonomian kita saat ini? Inilah hayatun fi mautih yang mesti kita perjuangkan di sisa umur ini. Caranya? Apa lagi kalau bukan meneladani sang Nabi dan para penerusnya para pewaris beliau, yakni ulama? Beliau telah berpulang hampir 1,5 milenium silam, tetapi warisan ilmu dan keteladanan, akhlak dan perjuangan beliau tetap menjadi penuntun dan suluh bagi umat manusia hinga hari Kiamat nanti. Semoga kita semua beroleh syafaat kanjeng Nabi.
Alfatehah untuk Mbah Moen, beliau wafat ketika hendak tahajud dalam rangkaian ibadah haji. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mendidik. Semoga kita mampu meneladani.