Masyayikh Tarekat (12): Khawaja `Azizan Ali ar-Ramitani (w. 721 H./1321 M.)

Khawaja `Azizan `Ali ar-Ramitani menggantikan Khawaja Mahmud al-Anjir Faghnawi untuk membimbing para murid tarekat. Zaman beliau tarekat Sayyiduna Abu Bakar masih berada di Asia Tengah, tetapi berpindah dari Bukhoro’ ke Khawarizm, Uzbekistan sekarang. Beliau juga termasuk salah satu Khawajagan (the Masters) dalam silsilah Naqsyabandiyah. Biografinya secara pendek ditulis dalam kitab ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa a’lamuham (TNWA, 1987), dan agak panjang dalam al-Hadaiq al-Wardiyah fi Haqo’iqi Ajla’in an-Naqsyabandiyah (HWHAN, 2002).

Khawaja `Azizan `Ali dilahirkan di daerah Ramitan-Bukhara (TNWA, 1987: 115), berjarak dua farsyah dari Bukhara, tetapi tidak disebutkan tanggal lahirnya. Beliau belajar dan menekuni ilmu-ilmu syar`iyyah, dan mengambil tarekat dari imam tarekat di masanya, yaitu Syeh Mahmud al-Anjir Faghnawi. Ketika dididik oleh sang guru, kitab HWHAN menyebutnya sebagai memperoleh maqomat yang tinggi dan pencapaian futuhat yang luar biasa.

Nama aslinya adalah Ali ar-Ramitani, sementara nama `Azizan adalah gelar yang disematkan kepadanya, yang bermakna: guru yang memiliki kemulian tanda dan keagungan keadaan yang dianugerahkan kepadanya; sebagian sumber juga menyebut, karena beliau ahli menenun, yang maksudnya adalah menenun hati. Beliau bermigrasi dari Ramitan ke Baward dan kemudian pindah ke Khawarizm (Uzbekistan), sampai akhir hayatnya.

Beberapa nasehatnya, disebutkan kitab HWHAN demikian:

“Kerjakanlah amal, jangan menghitung-hitungnya…”

“Bersungguh-sungguhlah dengan kehadiran (selalu awas dan ingat kepada Allah) yang kontinyu, apalagi dalam waktu makan dan berbicara.”

“Sesungguhnya Allah ta`ala berfirman “Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuha…,” menunjukkan isyarat dan pemberitahuan kabar: isyarat untuk segera taubat, dan pemberian kabar akan diterimanya taubat.”

“Dalam sabda Kanjeng Nabi Muhammad disebutkan: “Sesungguhnya Alloh melihat hati seorang mukmin setiap hari dan malam 360 kali,” maknanya, “sesungguhnya di dalam hati seorang mukmin itu ada 360 pintu yang tembus, dan setiap dari 360 bagian itu ada akarnya, semua terhubung dengan hati. (Karenanya) Apabila hati diberi atsar dzikir kepada Allah, sekiranya sampai mencapai tingkat yang secara khusus sirr bisa mengenal Allah (dalam sifat, af`al, dan khosho’is asma’-Nya), maka atsar dzikir ini akan beratsar kepada semua bagian (di dalam tubuh, yang disebutnya berjumlah 360), dan setiap bagian akan sibuk untuk mengajak taat. Dan setiap cahaya taat dari setiap bagian di dalam tubuh itu akan menerima pancaran (rahmat), yang itu adalah ibarat penglihatan/pemberian rahmat Allah kepada hati.”

Baca Juga:  Masyayikh Tarekat (17): Khawaja Ya’qub al-Jarkhi

Beliau termasuk khawajagan yang berdizikir dengan jahr. Kitab HWHAN, menyebutkan, ketika ditanya oleh Maulana Saifuddin, salah seorang ulama pada masanya, kenapa engkau men-jahr-kan dzikirmu?” Khawaja Azizan menjawab: “Telah bersepakat ulama, tentang bolehnya dzikir jahr saat nafas terakhir dari hidup, karena ada sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam: “laqqinu mautakum bi syahadatin an la ilaha illallah,” dan menurut para sufi setiap nafas adalah nafas terakhir.” (Irbil-Kurdistan, 2002: 172-173).

Khawaja `Azizan juga pernah ditanya Syeh Badrudin al-Maidani, termasuk sahabat dari Syeh Husnul Bulghari, apa maksud dengan dzikir lisan dan dzikir qalb? Dalam versi dalam TNWA disebutkan hal ini berkaitan dengan pertanyaan kepada beliau tentang ayat udzkurullah dzikran katsiran. Khawaja `Azizan `Ali ar-Ramitani kemudian menjawabnya: “Dzikir lisan bagi sang mubtadi (orang yang baru memulai), dan dzikir bil qalbi bagi muntahi (orang yang telah mencapai haqiqat). Sebab bagi seorang pemula, dzikir kepada Allah itu melalui pembebanan dan pengamalan amal. Adapun bagi seorang muntahi, al-qalbu apabila diberi atsar dzikir, semua bagian-bagian tubuh akan berdzikir, dan kadangkala seseorang perlu men-tahqiq dengan dzikir yang banyak” (TNWA, 1987: 115; HWAN, 2002: 173).

Beliau juga termasuk yang dikenal sebagai murid dari Nabi Khidir, dan ketika ditanya oleh seseorang: “Aku mendengar bahwa Khidir telah mentarbiyahmu, bagaimana ini terjadi?” Khawaja `Azizan menjawab: “Sesungguhnya ketika Allah mencintai mereka, maka Khidir juga mencintai mereka.”

Khawaja `Azizan Ali ar-Ramitani wafat pada tahun 721 H. (1321 M.), dalam umur 130 tahun; akan tetap juga ada yang menyebutkan pada tahun 715 H. (1316 M.). Banyak syeh yang ber-suhbah dengan beliau, terutama di Khawarizm. Beliau memiliki cukup banyak khalifah, di antaranya: Khawaja Muhammad Khurd (anak tertua beliau), Khawaja Ibrahim (anak kedua), Khawaja Muhamamd Hallaj al-Balkhi, Khawaja Muhammad Kulahdudz, Khawaja Muhammad Bawardi, dan Khawaja Muhammad Baba as-Samasi. Dalam silsilah sanad Naqsyabandiyah yang sampai kepada Khawaja Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi, yang disambung silsilahnya adalah Khawaja Muhammad Baba as-Samasi. [HW]

Nur Kholik Ridwan
Intletual Muda NU, Gusdurian Tinggal di Yogyakarta

    Rekomendasi

    istri shalihah 3
    Opini

    Istri Shalihah (3)

    Pandangan para ahli tafsir tersebut dikaitkan dengan sejumlah hadis Nabi Saw. Antara lain ...

    1 Comment

    1. […] angka tahunnya. Beliau belajar ilmu-ilmu aqliyah dan naqliyah, kemudian bersuhbah dan menjadi murid Khawaja Azizan Ali ar-Ramitani, dan menerima bimbingan untuk melakukan disiplin mujahadah dan […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama