"Lā taghdab wa lakal jannah"—jangan marah, maka engkau akan mendapat surga. Hadis ini begitu akrab di telinga umat Islam. Kesannya jelas: agama ingin kita menekan amarah. Tidak meledak-ledak. Tidak main pukul. Tidak membalas dengan kata kasar. Dalam pelbagai pengajian, hadis ini menjadi pengingat untuk tidak terpancing. Bahkan dalam tradisi meditasi Buddhisme, pengendalian emosi negatif seperti marah menjadi kunci menuju kebijaksanaan. Akan tetapi, apakah agama benar-benar melarang marah? Atau barangkali, agama justru memberi ruang bagi amarah yang adil?
Mari kita buka kembali ruang tafsir atas amarah. Tidak dalam semangat menihilkan hadis, melainkan untuk memahami konteks sosial di mana marah tidak selalu dosa, dan justru bisa menjadi bagian dari keimanan dan cinta kepada sesama.
Table of contents [Show]
Marah dalam Tradisi Kultural dan Spiritualitas Indonesia
Bangsa Indonesia dikenal dengan budaya ramah-tamah. Sapa-menyapa adalah norma sosial. Tersenyum dianggap ibadah. Dalam banyak komunitas lokal, marah dianggap "tidak sopan", terutama jika ditujukan kepada yang lebih tua, guru, atau pemimpin. Ungkapan seperti “jangan bikin keributan” atau “sudah, diam saja” menjadi semacam default untuk menghadapi konflik. Namun budaya ini juga menyimpan paradoks: marah dianggap tabu, tapi bisa sangat destruktif ketika meledak.
Dalam keluarga, guru, bahkan institusi keagamaan, marah kerap dilegitimasi sebagai “cara mendidik.” Anak-anak yang dipukul, diteriaki, dipermalukan di depan umum—semuanya dibungkus narasi cinta. Maka banyak generasi tumbuh dengan kebingungan: harus patuh pada ajaran agama agar tidak marah, tapi juga mengalami kekerasan yang dibungkus dengan dalih "sayang".
Di sinilah terjadi pembelokan. Ajaran "jangan marah" direduksi sebagai penekanan total terhadap ekspresi emosi. Padahal, dalam sejarah para nabi, amarah justru muncul sebagai energi spiritual—melawan penindasan dan ketidakadilan.
Agama dan Marah: Energi Etis, Bukan Nafsu Buta
Amarah yang lahir dari ketidakadilan bukanlah dosa. Dalam sirah nabawiyah, Nabi Muhammad SAW pun pernah marah. Ketika melihat Ka'bah dipenuhi berhala, beliau marah. Ketika kaum musyrik menindas orang-orang miskin, beliau marah. Tapi marah beliau bukan karena ego, bukan karena tersinggung. Melainkan karena cinta: cinta pada tauhid, keadilan, dan manusia.
Dalam konteks itu, hadis “jangan marah” bisa dibaca sebagai perintah untuk tidak menjadi budak emosi. Sebab jika amarah dikendarai nafsu, ia menjadi tiran. Tapi jika dituntun iman dan akal, ia menjadi pelindung. Seperti api: bisa membakar, tapi juga bisa menghangatkan. Agama tidak mengekang, tapi mengarahkan.
Ini juga ditegaskan oleh Megan Devine dalam bukunya It’s OK That You’re Not OK (2017): “Amarah adalah cinta yang protektif—untuk diri kita, orang yang kita cintai, atau sesuatu yang hilang. Ia memberi energi untuk menghadapi yang tak tertanggungkan.”
Ramah, Tapi Tidak Lemah: Gen Z dan Gen Alpha Menyikapi Amarah
Generasi muda hari ini tumbuh dalam ekosistem yang paradoks. Di satu sisi, mereka disuapi konten motivasi, self-help, mindfulness, dan ajaran untuk selalu “tenang” dan “ikhlas.” Di sisi lain, mereka hidup dalam realitas yang brutal: politik oligarki, ketimpangan ekonomi, krisis iklim, kekerasan struktural, dan korupsi yang kian terang-terangan.
Pertanyaannya: bagaimana bisa kita tetap tenang ketika hak dirampas? Bagaimana mungkin kita hanya diam ketika kekuasaan seenaknya merancang masa depan generasi muda tanpa partisipasi mereka?
Dalam kasus revisi UU TNI misalnya, kemarahan yang disuarakan masyarakat sipil, aktivis, dan jurnalis bukanlah bentuk kebencian. Tapi cinta yang besar pada demokrasi. Marah karena cinta pada keadilan. Seperti Pandji Pragiwaksono yang dengan berani mengecam pernyataan “orang tidak dikenal” oleh pejabat publik—itu bukan sekadar konten, tapi ekspresi dari jiwa yang tidak rela suara rakyat dianggap angin lalu.
Ini adalah bentuk marah yang tercerahkan. Amarah yang matang. Bukan marah karena ego, tapi karena nilai-nilai dilanggar. Dan generasi muda butuh ruang aman untuk menyuarakan amarah ini.
Kematangan Emosional dan Spiritualitas: Agama Tidak Bertentangan dengan Aksi
Dalam Islam Syiah, ekspresi amarah terhadap ketidakadilan juga dibingkai dalam spiritualitas. Ritual iltizam (memukul dada) di bulan Muharram bukan sekadar ekspresi duka, tapi juga amarah yang membela nilai-nilai kemanusiaan. Aksi fisik ini menjadi terapi kolektif atas luka sejarah: tragedi Karbala. Marah karena cinta pada Husein dan kebenaran yang dia perjuangkan.
Lalu, dalam sejarah Islam, kita mengenal Daud yang melempar Jalut, Ibrahim yang menghancurkan berhala, Musa yang melempar Taurat karena murka melihat umatnya menyembah sapi emas. Semua digerakkan oleh energi marah yang tidak liar, tapi diarahkan untuk membela hak dan prinsip.
Maka menjadi religius bukan berarti menumpuk sabar tanpa ekspresi. Menjadi religius berarti cakap menyikapi amarah, memberinya tempat, dan menggunakannya sebagai bahan bakar perubahan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan senyum, dan tidak semua marah harus dicap dosa.
Orang Indonesia: Ramah, Beriman, Tapi Siap Melawan
Dalam akar budaya kita, rakyat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang terbuka, guyub, dan hangat. Namun kita juga punya sejarah perlawanan. Lihat saja perlawanan rakyat Aceh, petani Banten, atau pemberontakan sosial seperti perlawanan Diponegoro. Semua lahir dari amarah kolektif yang berakar pada nilai keimanan dan keadilan.
Ramah bukan berarti tunduk. Tersenyum bukan berarti menyerah. Dan diam bukan berarti tak punya nyali.
Generasi Indonesia hari ini perlu dididik untuk tidak hanya sabar dan “nrimo ing pandum.” Tapi juga kritis, berani, dan mampu mengekspresikan marah dengan cara yang konstruktif dan etis. Ini bukan tentang menjadi kasar, tapi tentang menjadi dewasa dalam menyuarakan keresahan.
Karena itu, kita perlu membingkai ulang ajaran agama, terutama kepada Gen Z dan Gen Alpha, bahwa spiritualitas tidak mengebiri emosi. Bahwa iman bukan berarti bungkam. Justru iman memberi dasar kuat untuk melawan ketidakadilan dengan cara yang bijak dan berani.
Penutup: Marah adalah Cinta yang Melindungi
Jangan takut marah. Tapi juga jangan membiarkan amarah menguasai. Marah bisa menjadi jalan menuju surga jika ia lahir dari iman, dijalankan dengan etika, dan ditujukan untuk membela yang benar. Agama, budaya, dan sejarah kita tidak bertentangan dengan itu.
“Lā taghdab wa lakal jannah”—bukan berarti padamkan amarah, tapi arahkan agar tak membakar dunia, melainkan menerangi jalan menuju keadilan. []